Senin, 09 November 2009

STRUKTUR SYIIR ARAB-JAWI SEKAR KEDHATON, PROSODI, DAN PEMAKNAAN PRAGMATIKNYA

STRUKTUR SYIIR ARAB-JAWI SEKAR KEDHATON, PROSODI, DAN PEMAKNAAN PRAGMATIKNYA
(Kajian Hermeneutik dan Semiotika Struktural)

Mukhsin Ahmadi *)


ملخص: القصيدة الجاوية "سيكار كاراتون" المكتوبة بالحروف العربية والمعروفة باسم "شعر" شكل من أشكال الشعر الباسانترين بجاواه. له نظامه الخاص في تنظيم الأبيات والعروض والقافية. يتكون كل بيت من سطرين وفي كل سطر عشرة مقاطع، وهي بمثابة الهيكل الشعري الذي يقوم على مبادئ التجانس الصوتي والمجانسة الاستهلالية والقوافي. تتكون قصيدة "سيكار كاراتون" من 327 بيت وتنقسم إلى أربعة أجزاء: تمهيد ومقدمة وباب آداب المعاشرة وباب ما على الزوجة. كتبت القصيدة وطبعت ونشرت ليقرأها الطلبة والطالبات وليتغنوا بها ويتدبروا فيها. تتناول القصيدة موضوع الحياة الزوجية في ضوء تعاليم الإسلام وأخلاقيته وفي بيئة الباسنترين الخاصة. وتحتوي الأبيات الأخيرة على معلومات عن الكاتب وهي بمثابة حرد المتن للقصيدة.

الكلمات الرئيسة: الباسنترين، العروض، المعان السياقية، الرموز البنيوية


Istilah syiir bagi sebuah genre (jenis) sastra tidak asing bagi kita, terutama dalam sastra Arab, karena ia adalah puisi dalam terminologi sastra Indonesia dan sastra Barat. Namun dalam sastra Melayu dan sastra Indonesia istilah itu tidak dikenal karena yang dikenal adalah istilah syair yang disamakan pengertiannya dengan puisi. Padahal dalam bahasa Arab syair adalah penulis puisi yang dalam sastra Indonesia adalah penyair yang dalam sastra Inggris disebut poet. Di kalangan kaum santri Jawa di pedesaan, kata syiir itu diucapkan singir, dan kegiatan membaca naskah syiir disebut singiran.
Dalam fenomena sastra Melayu dan Indonesia Lama terdapat beberapa karya puisi atau syair itu, misalnya : Syair Bidadari, Syair Anggun Cik Tunggal, Syair Ken Tambuhan, Syair Si Pungguk Merindukan Bulan. Dalam hal ini syair adalah bentuk empat baris dengan sajak (rima) akhir sama untuk membawakan cerita. Misalnya dalam syair Yatim Nestapa:
Ada kepada suatu hari,
Putri beradu siang hari,
Maharajapun beradu laki isteri,
Istanapun sunyi tidak terperi.
Bentuk ini tidak sama dengan bentuk empat baris lainnya yang dikenal dengan istilah pantun karena pantun memiliki struktur yang lain pula:
Rama-rama terbang ke bukit,
Terbang ke bukit patah pinggang.
Hilang akal si burung pipit,
Padi masak ditunggui orang.
Dalam sastra Jawa terdapat bentuk parikan serupa pantun Melayu, yang sampai sekarang masih hidup di kalangan rakyat jelata, misalnya dalam syair kidungan teater rakyat ludruk terutama di Jawa Timur (Ahmadi, Mukhsin 1987 : 10) :
Kenek apa sapimu bengah,
bengah maneh wong tak pakani.
Kenek apa atimu susah,
susah maneh mergo kon garahi.
(Kena apa sapimu melenguh,
melenguh memang kuberi makan.
Kena apa hatimu mengeluh,
mengeluh memang sebab kausebabkan.
Sementara itu dalam sastra Melayu lama tersebut terdapat bentuk gurindam yang hanya terdiri dari dua baris tiap baitnya:
Cahari olehmu akan guru,
yang tahu akan tiap seteru.
Bentuk ini memiliki hitungan 10 suku kata tiap baris dan bersajak akhir sama, tetapi tidak konsisten dalam totalitas karya. Misalnya Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Dengan latar belakang tersebut bentuk syiir menjadi tidak asing dalam sastra rakyat, terutama di lingkungan pesantren.
Tulisan ini berbicara tentang syiir Pesantren Jawa sebagai kajian naskah syiir Arab – Jawi berjudul “Sekar Kedhaton” (selanjutnya disingkat SKT) buah pena Abi Muhammad Sholeh Hajawi dari Hajen Juwana Rembang (Jawa Tengah). Pendekatan yang digunakan adalah tafsir hermeneutik dengan analisis semiotika struktural (Jurij Lotman, 1977). Tafsir hermeneutik terhadap totalitas teks SKT menghendaki kajian bagian-bagian dan unsur-unsur untuk memantapkan makna utuh teks SKT sesuai dengan prinsip lingkaran hermeneutik dalam tafsir makna.
Pembahasan dibatasi pada struktur estetik dan makna syiir sebagai tanda, terutama mengenai potensi unsur-unsur bahasa dan sastra Jawa yang memanfaatkan sistem syiir dalam konvensi sastra Arab pada genre tersebut. Tujuan tulisan ini adalah untuk memperkenalkan, menganalisis, dan menafsirkan syiir tersebut sebagai produk sastra Jawa Pesantren yang sangat kental dengan referensi bahasa dan sastra Arab. Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotika struktural yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Analisis semiotika struktural mengurai struktur bentuk dalam fungsi menentukan makna dan melihat sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Dengan kajian ini diharapkan dapat dijelaskan bagaimana potensi kata-kata bahasa dan satra Jawa telah dimanipulasikan secara kreatif dan memadukannya dalam kombinasi fungsional estetik dan komunikatif dengan kata–kata bahasa Arab yang dipungut oleh penulisnya dengan menggunakan pola syiir dari sastra Arab tradisional, dan bagaimana pola tersebut telah membangun estetika dan pengomunikasian makna dan diharapkan memberikan efek yang khusus kepada khalayak bacanya.

BENTUK DAN BAGIAN NASKAH SYIIR SEKAR KEDHATON
Naskah syiir Sekar Kedhaton (SKT) adalah salah satu dari banyak naskah syiir sebagai produk sastra Pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Naskah SKT terdiri atas 327 bait (couplet, strophe) dalam pola struktur yang secara fenomenalogis tertulis dalam ejaan Arab – Jawi yang bila ditransliterasikan ke dalam ejaan bahasa Indonesia dengan huruf Latin sebagai berikut.
323. Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
ikilah syiir iku kang gawe.
(Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
gubahan syiir dia yang merangkai).
324. Ana ing desa Kelaling manggone,
Hajen Juwana kelahirane.
(Ada di desa Kelaling tinggalnya,
Hajen Juwana kelahirannya).
325. Ingsun amuji sarana syukur,
ing Gusti Allah kang sifat Ghofur.
(Saya memuji dengan bersyukur,
Tuhan Allah bersifat Ghofur).
326. Rahmat lan salam muga tetapa,
ing Kanjeng Nabi ingkang mustafa.
(Rahmat dan salam tetap semoga,
pada Baginda Nabi yang mustofa).
327. Lan marang kabeh kulawargane,
lan sahabate sakabehane.
(Dan pada semua keluarganya,
dan sahabatnya kesemuanya).
Sistem ini disebut colophon sebagai penutup naskah yang menginformasikan tentang penulis, waktu dan tempat penulisannya.
Bentuk syiir SKT tersebut keseluruhannya secara konsisten/ajeg mempunyai perhitungan-perhitungan jumlah suku kata dan persamaan bunyi serta irama lagu yang pasti dapat dijelaskan secara obyektif dan fenomenalogis. Uraian mengenai hal ini akan dilakukan kemudian, sesudah dijelaskan bagian-bagian naskah SKT tersebut.
Naskah SKT terdiri atas 4 bagian yang bersifat tematis: bagian pertama merupakan bagian tanpa judul dan hanya didahului dengan lafal basmalah: Bismillahirrahmanirrahim yang terdiri atas 10 bait. Secara transliteratif dua bait awal dari 10 bait tersebut sebagai berikut.
1. Ngawiti ingsun lawan bismillah,
ingsun amuji alhamdulillah.
(Memulai saya dengan bismillah,
saya memuji alhamdulillah)
2. Tambahe rahmat sartane salam,
kelawan akeh sartane dawam.
(Tambahnya rahmat beserta salam,
sebanyak mungkin terus diulang.
Dalam garis besarnya bagian ini menyampaikan judul naskah, tema dan tujuan penulisan.
6. Sekar Kedhaton ingsun ngarani,
ikilah syiir mungguh perlune.
(Sekar Kedhaton saya namai,
tentang perlunya syiir ini).
7. Kango pitutur wong omah-omah,
supaya tentrem sarana genah.
(Untuk nasihat berumahtangga,
supaya tentram dengan enaknya)
8. Dhak tukar padu jalaran weruh,
ing kuwajiban ingkang den tempuh.
(Tidak bertengkar karena tahu,
pada kewajiban yang dituju)
Bagian kedua berjudul Muqaddimah terdiri atas 29 bait, yang dalam garis besarnya menyampaikan pesan kepada kaum lelaki tentang prinsip-prinsip berumah tangga agar menjauhi perbuatan dosa, dan kritik terhadap perilaku orang yang tergoda oleh bujuk rayu setan melakukan perbuatan maksiat.
11. He para lanang kang wus duweni,
hajat wong wadon branta atine.
(Hai para lanang yang telah mempunyai,
hasrat wanita hati birahi).
12. Yen panci sira iku wus kuwat,
nyempurnaake kabehe ragat.
(Bila kamu memang sudah kuasa,
menyempurnakan semua biaya).
13. Sarana ngerti syarat rukune,
wong laki rabi sak sampurnane.
(Dengan mengerti syarat rukunnya,
orang lelaki kawin sempurna).
14. Lan ngerti marang kuwajibane,
wong duwe bojo sakabehane.
(Dan mengerti akan kewajibannya,
orang punya jodoh kesemuanya).
Bagian ketiga berjudul Adabu’lmu’asyarah (Adab Pergaulan) terdiri atas 55 bait berbicara tentang kewajiban kaum lelaki yang sudah beristeri : tata krama dalam pergaulan dengan isteri, mencukupi kebutuhan hidupnya, menjaga akhlak isterinya, dan kewajiban ibadahnya. Antara lain sebagai berikut.
40. Hai para lanang kang wus duweni,
ing bojo sira kudu ngelakoni.
(Hai para lelaki yang mempunyai,
pada isteri kamu menjalani).
41. Tatakramane dadi wong lanang,
supaya wadon atine tenang.
(Tata krama menjadi orang lelaki,
supaya isteri tenang di hati).
49. Becik nyukupi sandhang pangane,
miturut sira pakuwatane.
(Baik mencukupi sandang maknanya,
menurut kamu kemampuannya).
79. Setengah saking kuwajibane,
wong lanang maneh marang bojone.
(Setengah dari kewajibannya,
lelaki lagi pada isteriya).
80. Iku muruki hukum syariat,
supaya bener olehe toat.
(Itu mengajar hukum syariat,
supaya benar dalam bertaat).
Bagian keempat berjudul Ma’ala’lzzaujah (kewajiban wanita) terdiri atas 233 bait berbicara tentang kewajiban dan tatakrama wanita yang telah bersuami; berbakti kepada suami, memilih jalan dan perbuatan yang berpahala agar kelak bisa masuk surga, serta gambaran macam-macam hukuman dan siksa neraka bagi yang melanggar moralitas agama dan pergaulan rumah tangga serta masyarakat.
97. Wajibe wadon kudu ngabekti,
marang lanange ingkang sejati.
(Wajibya wanita harus berbakti,
pada suaminya yang sejati)
103. Wadon kang bagus kelakuhane,
ing shalat lima sarta pasane.
(Wanita yang baik kelakuannya,
pada salat lima dan puasanya)
104. Wulan ramadhan ngreksa ferjine,
sartane bekti guru lakine.
(Bulan ramadhan menjaga farjinya,
serta berbakti pada suaminya)
Jadi secara tematis dan episodik keseluruhan SKT itu dapat dibagankan sebagai berikut.



















STRUKTUR ESTETIK BAHASA SYIIR
Telah dijelaskan di muka bahwa keseluruhan naskah SKT tersusun atas bait-bait, dan semuanya berjumlah 327 bait dengan pola struktur sintaks yang sama: (1) tiap bait terdiri atas 2 (dua) baris, (2) tiap baris kalimat terdiri atas 10 suku kata, (3) hubungan struktur sintaksis antara kedua baris pada umumnya adalah hubungan kalimat kompleks yang saling bergantung, (4) mempunyai sajak akhir yang sama dan aliterasi serta asonansi dalam baris-barisnya (musikalitas bahasa).
Aspek-aspek tersebut merupakan unsur-unsur dan sistem yang akan mengisi jenis pola struktur syiir tertentu yang menjadi pilihan penulisnya.
a. Prosodi Syiir
Di dalam ilmu syiir sastra tradisional Arab ada 16 jenis pola persajakan sebagai nadhom (nyanyian), yang dalam sastra Barat disebut metrum atau prosodi, yang sangat ketat dalam pertimbangan jumlah suku kata dalam tiap baris untuk satu bait dan persajakan atau permainan bunyinya. Dalam hal ini prosodi adalah ilmu atau teknologi bagunan puisi (verse) yang struktur sintaks baitnya terpadu dengan perhitungan jumlah baris, suku kata, dan permainan unsur bunyi (musikalitas: asonansi, aliterasi), serta lagu dan irama (Abrams, 1981: 148).
b. Pola Bentuk Syiir
Salah satu di antara 16 jenis bentuk syiir (nadhom) tersebut disebut bahar wafir dengan aturan guru lagu – guru wilangan (persamaan bunyi dan jumlah suku kata tiap baris), yang dirumuskan dalam pola mafa’ilatun dengan bait dua baris yang berisi sepuluh suku kata tiap baris sebagai kaki sajak. Bentuk keseluruhan syiir SKT tergolong ke dalam pola jenis bahar wafir tersebut dengan rumus struktur prosodi:
1 2 3 4 5 / 1 2 3 4 5 a
1 2 3 4 5 / 1 2 3 4 5 a
97. Wajibe wadon / kudu ngabekti,
maring lanange / ingkang sejati.
(Wajib wanita harus berbakti,
pada suaminya yang sejati)
Pola tersebut digunakan secara konsisten sejak bait pertama sampai bait terakhir SKT :
1. Ngawiti ingsun / lawan bismillah,
Ingsun amuji / alhamdulillah.
(Memulai saya dengan bismillah,
saya memuji alhamdulillah)
327. Lan maring kabeh / kula wargane,
lan shahabate / sakabehane.
(Dan pada semua keluarganya,
Dan sahabatnya semuanya).
Cara membacanya harus ada jedah setiap 5 ketukan suku kata dengan menikmati irama imbangan sajak akhir, asonansi dan aliterasinya.

c. Diksi Syiir
Diksi dalam hal ini adalah terminologi tentang pemilihan dan penataan kosakata dalam baris-baris syiir, yang dalam penciptaan/pembentukan SKT menggunakan pertimbangan : (1) aliterasi dan asonansi dalam tiap baris, (2) denotasi dan konotasi kata, (3) nilai kultural dan religi, (4) berpusat atau mengacu pada tema/topik syiir, (5) nilai rasa sikap atau nada ucapan (sedih, marah, sinis, takut, gembira, cemas, rendah hati, superior dan sebagainya), (6) menciptakan majas metafor dan citraan Jawa Pesantren.
Dalam hal tersebut penulis SKT menggunakan dua sumber nilai dan bahasa: (1) nilai dan bahasa Jawa Pesisiran yang bersifat egaliter non feodalistik, dan (2) nilai dan bahasa Arab yang mengacu pada terminologi hukum syariah pergaulan suami isteri dan ibadah yang berpusat kepada Allah dengan tuntunan Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam hal tersebut ada bait-bait yang keseluruhan diksinya menggunakan kosakata Jawa, dan ada bait-bait yang menggunakan campuran kosakata bahasa Arab dan bahasa Jawa, bergantung pada kepentingan isi dan suasana pesan bait-bait yang bersangkutan. Struktur sintaknya mengatur pengomunikasian sistem nilai tersebut dalam diksi bahasa Jawa yang kental dengan kosakata bahasa Arab.
Hal tersebut dapat dikembalikan pada sifat syiir sebagai secondary modelling system yang berpangkal/bersumber pada primary system, yang dalam hal ini adalah sistem bahasa Jawa (Lotman, 1977). Fungsinya adalah untuk mengantarkan sistem nilai moralitas Islam pesantren berlatar belakang sistem nilai budaya Jawa.
Dengan kata lain, syiir SKT sebagai seni verbal merupakan model sekunder sebagai ciptaan penulisnya yang bertumpu pada sumber bahasa Jawa yang di dalamnya ada sistem nilai budaya Jawa yang dikenai sistem nilai agama Islam dan sistem syiir sastra tradisional Arab. Hubungan-hubungan ini menurut sistem semiotik dapat dibagankan sebagai berikut (Ruqaiya Hasan, 1989: 99).

Sistem semiotik seni verbal (syiir)

c. Verbalisasi a. semiotik
(pengucapan syiir) b. gramatika leksikon sistem semiotik
c. fonologi bahasa Jawa
Pesantren


Berdasarkan bagan ini syiir SKT sebagai seni verbal dapat dikaji dengan konsep (1) bahwa totalitas syiir SKT merupakan artikulasi simbolik untuk mengungkapkan tema tertentu, (2) bahwa syiir SKT merupakan verbalisasi dari sistem semiotik bahasa Jawa melalui rekayasa unsur-unsur semantik, kosakata gramatikal, dan fonologi bahasa Jawa, sehingga tercipta sistem stilistika dan prosodi syiir bahasa Jawa dengan mengadopsi pola syiir Arab tradisional.
Kedudukan kosakata bahasa Arab yang bertebaran pada baris-baris syiir SKT merupakan kata pungut yang tunduk pada sistem tersebut. Misalnya kata syukur dan ghofur dalam bait berikut.
325. Ingsun amuji sarana syukur,
ing Gusti Allah kang sifat Ghofur.
(Saya memuji dengan bersyukur,
pada Tuhan Allah pemberi ampun)
Konteks pengambilan dan pemakaian kata syukur (berterima kasih) dan ghofur (pemberi ampun) secara semiotika struktural tidak terasa asing dan terpencil, melainkan telah berpadu secara kohesif dan koheren dengan unsur-unsur kosakata bahasa Jawa, dalam fungsi mengomunikasikan religiusitas mengakhiri penulisan syiir dengan rendah hati berterima kasih dan minta pengampunan kepada Tuhan. Keterpaduan itu menjadi bertambah kuat karena pemenuhan fungsi resonansi akustik dan fonologis kata syukur dan ghofur, yaitu pengulangan bunyi /ur/ pada akhir baris.


d. Sintaks dan Prosodi
Syiir SKT yang keseluruhannya terdiri dari 327 bait, tiap baitnya terbentuk oleh dua baris dalam kesatuan-kesatuan sintaks sebagai tanda yang membangun makna secara bertahap. Sesuai dengan pendekatan semiotika struktural, dalam kajian ini keseluruhan bait syiir SKT dapat ditempatkan dalam bagan berikut.




dimensi semantik



Syiir SKT
sebagai sistem
tanda
dimensi sintaktik
dimensi pragmatik

Mengikuti bagan tersebut, pemaknaan tiap bait syiir akan mantap bila dilihat dari dimensi sintaktik dan semantik untuk mendapatkan makna pragmatiknya. Struktur sintaktik menentukan kepastian makna, sedangkan dimensi semantik tiap kata, yang mengisi struktur sintaks yang bersangkutan, harus pula memiliki kepastian rujukan (reference) sebagai penanda (signifier) terhadap petanda (signified).
Pemaknaan sintaks secara demikian merupakan prinsip utama dan harus mengabaikan artikulasi prosodi, karena artikulasi prosodi bisa mengacaukan makna sintaks dalam fungsi komunikatifnya. Hal ini bisa dilihat pada kasus bait 205 berikut.
205. Den gerujuk banyu panas cangkeme,
iku siksane wadon maceme.
Cara membaca bait ini untuk mendapatkan makna sintaktisnya dan komunikatifnya harus dilakukan dengan sekat-sekat frasa sebagai berikut.
Den gerujuk / banyu panas / cangkeme,
Iku siksane / wadon / maceme.
(Diguyur / air panas / mulutnya,
itu siksaan / perempuan / macamnya)
Sedangkan pembacaan secara fonologis menurut prosodi syiir adalah,
Den gerujuk banyu / panas cangkeme,
Iku siksane / wadon maceme.
(Diguyur air / panas mulutnya,
itu siksaan / perempuan macamnya)
Dengan demikian pemaknaan syiir tidak selalu sinkron dengan pembacaan menurut pola prosodi syiir dalam jenis bahar wafir tersebut.

UNSUR SASTRA ARAB DALAM SYIIR SKT
Unsur sastra Arab dalam syiir SKT meliputi: (1) orthography, (2) pola prosodi, dan (3) kosakata bahasa Arab.
Ejaan (orthography) yang digunakan untuk menulis syiir SKT adalah huruf Arab – Jawi, yaitu huruf-huruf Arab yang direkayasa untuk melambangkan sistem bunyi bahasa Jawa atau kata-kata bahasa Jawa yang terambil sebagai diksi SKT. Misalnya rekayasa huruf Arab tertentu untuk melambangi bunyi bahasa Jawa: /ng/ : untuk menuliskan ngabekti, /g/ : untuk menuliskan gerujuk, /ny/ : untuk menuliskan banyu, /dh/ : untuk menuliskan gedhe, /th/ : untuk menuliskan kethus.
Di samping itu juga orthography untuk menuliskan kata-kata bahasa Arab yang terambil diperlukan sebagai diksi dalam bait-bait syiir SKT karena memuat konsep yang signifikan dalam kaitan tema/topik syiir.
Sementara itu, terdapat penyamaan lambang orthografis atas bunyi /i/ dan /e/, misalnya pada kata duweni dan dinane untuk gabungan bunyi /ni/ dan /ne/ menggunakan lambang orthografis dengan huruf Arab "ya" yang secara visual sama tetapi secara fonologis berbeda. Dengan demikian terjadi kasus pengelabuan persamaan bunyi secara visual orthografis seperti /wi/ dan /we/ pada bait 321 :
Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
Ikilah syiir iku kang gawe.
(Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
inilah syiir dia merangkai)
karena orthografisnya sama-sama mengunakan huruf Arab : “ya”.
Kosakata dan ungkapan bahasa Arab terdapat dalam beberapa bait atau baris syiir bila diperlukan dalam pemantapan acuan makna, termasuk penggunaan kata ganti nama Allah dan Rasulullah. Dalam hal demikian kosakata atau ungkapan tersebut menjadi inti dan fokus pesannya. Misalnya:
289. Dhak gelem toat ing Gusti Allah,
dhak gelem toat ing Rasulullah.
(Tak mau taat pada Tuhan Allah,
tak mau taat pada Rasulullah)
1. Ngawiti ingsun lawan bismillah,
Ingsun amuji alhamdulillah.
(Memulai saya dengan bismillah,
saya memuji alhamdulillah)
37. Nangudzubillah nuwun pangreksa,
kula dhumateng Dzat ingkang kuasa.
(Na'udzubilah mohon dijaga,
hamba pada Dzat Maha Kuasa).
Dalam sintaktik bahasa Arab sebenarnya kata-kata bismillah, alhamdulillah, dan na'udzubillah menrupakan morfosintaks tersendiri, yang analisisnya harus dilakukan untuk memperoleh kemantapan maknanya:
Bi-ismi-‘llah : dengan nama Allah
Al-hamdu-li’llah : segala puji bagi Allah
Na'udzu-bi-‘llah : kami berlindung kepada Allah.
Proses tersebut harus dilakukan dalam kajian dengan pendekatan semiotika struktural untuk mendapatkan kemantapan makna.
Pada bagian akhir naskah terdapat bait tambahan yang istimewa: pola prosodinya bukan bahar wafir melainkan bahar kamil yang keseluruhannya menggunakan bahasa Arab:
Wain tajid 'aiban fasuddal kholala,
Fajalla man la 'aiba fihi wa kholla.
(Bila anda mempunyai cacat, maka tutuplah cacat itu,
orang yang mulia, adalah orang yang tak ada cacat padanya)
Bentuk tersebut terdiri dari 12 suku kata tiap barisnya dan berakhir dengan bunyi kata yang sama pada akhir baris, yang dalam pola prosodi syiir tradisional Arab tergolong jenis metrum bahar kamil : (mutafa'iluna), bukannya bahar wafir : (mafa'ilatun).
Dengan demikian dua baris terakhir tersebut tidak termasuk dalam sistem metrum prosodi syiir SKT yang berpola bahar wafir. Fungsi kedua baris terakhir ini adalah penyampaian pesan moral dan sikap rendah hati mengenai aib, cacat atau kekurangan untuk mencapai kemuliaan dalam lingkup apapun.

PENUTUP
Syiir Arab – Jawi Sekar Kedhaton merupakan salah satu produk karya sastra Pesatren Jawa dengan pola prosodi yang ketat dalam jenis bahar wafir. Dengan pola ini pembacaan tiap baris dilakukan dengan jedah tiap 5 ketukan suku kata. Isi syiir adalah pesan moral tentang pergaulan suami isteri dalam bermasyarakat dalam iklim religiusitas dan keyakinan agama Islam. Pola prosodi (metrum) syiir yang ketat telah memaksa tersusunnya struktur sintaks yang ketat pula. Diksi syiir merupakan perpaduan pilihan-pilihan kosakata bahasa Jawa dengan sesekali memungut kosakata bahasa Arab yang menjadi acuan niali-nilai pesannya. Dengan demikian syiir Sekar Kedhaton (SKT) merupakan sistem tanda yang memiliki makna penyampaian pesan moral tradisi pesantren Jawa. Sebagai seni verbal ia merupakan sistem model sekunder yang bertumpu pada sistem primer bahasa Jawa ragam pesantren Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms 4th ed. New York: Hoet, Rinehart and Winston.
Ahmadi, Mukhsin. 1987. Aspek Sastra Seni Ludruk. Jakarta: Pusat Bahasa.
Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam, Menuju Modernisasi Ke Arah Millenium Baru. Ciputat: Penerbit Kalimah.
Baryadi, I. Praptomo. 2001. Dasar-Dasar Analisis Wacana Dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondosuli.
Brown, Gillian & Jule, George. 1983. Discourse Analysis. London: Cambridge University Press.
Culler, Jonathan. 1975. Strukturaliast Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.
Ekadjati, Edi S. 2000. Direktori Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Finnegan, Ruth. 1997. Oral Poetry. (Its nature, significance, and sosial context) London, New York, Melbourne: Cambridge University Press.
Hajawi, Abi Muhammad Sholeh. 1952. Syiir Sekar Kedhaton. Menara Kudus.
Hallidy, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotik. London: Edward Arnold Ltd.
Hanneborg, Knut. 1967. The Study Of Literature. Stockholm: Universitetsforlaged.
Hasan, Ruqaiya. 1989. Linguistics, Language, and Verbal Art. New York: Oxford University Press.
Juhl, P. D. 1980. Interpretation. An Essay in the Philosophy of Literary Criticism. New Jersey: Princeton University Press.
Kinneavy, James L. 1971. A Theory of Discourse. New York, London: W.W. Norton & Company.
Lotman, Jurij. 1977. The Structure of The Artistik Text. The University of Michigan: Michigan Slavic Contributions.
Luxemburg, et al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Morse, Janice M. 1994. Critical Issues in Qualitative Research Methods. London: Sage Publications.
Ras, J. J & Robson, S.O. 1991. Variation, Transformation and Meaning (Studies on Indonesian Literatures). Leiden: Kitlu Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Wellek, Rene. 1956. Theory of Literature. New York: A Harvest Book Harcout, Brace & World, INC.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press.

Malang, 14 Mei 2004

Mukhsin Ahmadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar