Senin, 09 November 2009

DEKONSTRUKSI DAN PENERJEMAHAN

DEKONSTRUKSI DAN PENERJEMAHAN
IRHAMNI

ملخص: الديكونستروكسى أمر مهم فى الترجمة لا سيما إذا أراد أحد أن يترجم النصوص المشتملة على المعانى الاجتماعية أو الفلسفية أو التاريخية المعقدة مثل النصوص القديمة البعيدة من المترجم زمنا وحضارة وفكرة. وسيزيد الديكونستروكسى أهمية إذا كانت المعانى غامضة وملبسة بين النصوص وتطورات اللغة ولا علاج للمترجم إلا الرجوع إلى العملية الديكونستروكسية للنصوص شبه النصوص.

الكلمات الرئيسة: الديكونستروكسى، الترجمة


Penerjemahan merupakan kegiatan yang amat kompleks dilihat dari variabel yang terlibat di dalamnya (Crystal, 1987:344) dan karena itu penerjemahan menyimpan banyak persoalan, misalnya persoalan budaya, keyakinan, pola berpikir, motiv-motiv penulisan dan pengungkapan, baik yang berkaitan dengan bahasa sumber (BSu) maupun bahasa sasaran (BSa). Persoalan yang menonjol dalam kaitannya dengan bahasa sumber adalah persoalan pemahaman. Biasanya banyak hal yang berkaitan dengan pemahaman ini menyita banyak waktu, perhatian dan tenaga terutama yang berkaitan dengan teks-teks klasik yang telah berjarak cukup panjang dengan penerjemah, atau teks-teks dengan muatan pesan dengan kerumitan tertentu, misalnya filsafat, sastra, teks kitab suci, dan yang sejenis. Untuk memahami teks-teks yang dianggap sulit biasanya banyak cara yang dilakukan penerjemah, misalnya melakukan telaah terhadap biografi penulis, latar belakang teks, buku komentar khusus dan juga (menurut Gentzler, 1993) dekonstruksi. Tulisan ini berupaya memaparkan beberapa pandangan tentang dekonstruksi dan memberi gambaran kegiatan dekonstruksi dalam penerjemahan Al-Baqir terhadap buku Nahjul Balaghah (catatan pidato Imam Ali yang ditulis oleh Ar-Radli, yaitu seorang pengikut fanatik Syi'ah).
DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi secara umum adalah "pembongkaran" teks atau yang dianggap teks (misalnya suatu gejala yang muncul di masyarakat) yang didasarkan pada pemahaman kritis terhadap teks. Dekonstruksi ini penulis anggap penting sebagai dasar teoritis untuk mendiskusikan konsep terjemahan. Hal ini sejalan dengan yang ditegaskan oleh Gentzler dalam Contemporary Translation Theories. Dia menyatakanan bahwa teori dekonstruksi dapat memperdalam dan memperluas kerangka konseptual kajian penerjemahan (Gentzler, 1993:145). Untuk menjelaskan konsep dekonstruksi dalam kaitannya dengan penerjemahan (padanan makna misalnya) ada beberapa pertanyaan untuk direnungkan: Bagaimana seandainya suatu arah pemikiran teoritis di balik dengan mengajukan hipotesis bahwa teks asli (original text) tergantung pada penerjemahan? Bagaimana jika kualitas teks itu tidak tergantung pada mutu isinya akan tetapi mutu isi penerjemahannya? Bagaimana jika jangkauan makna teks tidak dibatasi oleh teks asli akan tetapi oleh terjemahannya? Bagaimana jika teks asli tidak mempunyai identitas secara estetik maupun ilmiah dan bagaimana jika identitas tersebut berubah sepanjang waktu sejalan dengan penerjemahannya? Apa sebenarnya yang ada (exist) sebelum munculnya teks asli? Idekah itu? Bentuk? Sesuatu? Atau bukan sesuatu? Dapatkah orang berpikir dalam kerangka kondisi pre-original dan pre-ontologi?
Seorang dekonstruksionis tidak hanya mempertanyakan makna fondamental di atas akan tetapi juga lingkungan bagi munculnya pertanyaan-pertanyaan itu sendiri, atau pertanyaan terhadap suatu pertanyaan. Seorang dekonstruksionis lebih bisa menyatakan, barangkali teks yang kita terjemahkan itu yang 'menulis' kita dan bukannya kita 'menulis' teks terjemahan (Gentzler, 1993:144-145). Selanjutnya dijelaskan bahwa dekonstruksi melampaui penjelasan batas-batas bahasa dengan mendiskusikan lingkungan konsep-konsep teoritis. Karena itu sebenarnya dekonstruksi tidak secara tertentu menawarkan teori penerjemahan melainkan secara kritis membekali penerjemah untuk dapat mempertanyakan kealamiahan bahasa (nature of language) dan yang ada dalam bahasa (being in langauge). Dengan demikian penerjemah dapat hadir dalam pengalaman makna yang kompleks (elusive notion) yang mendasari suatu pendekatan sehingga terjadi pendalaman dan perluasan kerangka konseptual yang bermanfaat untuk menentukan setiap medan makna yang dipakai penerjemah itu sendiri (cf. Gentzler, 1993:145). Ada beberapa tokoh yang mempunyai perhatian khusus tentang dekonstruksi antara lain Derrida, Foucault, Paul de Man, Heidegger. Tokoh-tokoh tersebut semacam menjadi penanda bagi perkembagan konseptual dekonstruksi dan Derrida sering dianggap sebagai penanda besarnya.
Dekonstruksi yang dikembangkan oleh Derrida kajiannya dipusatkan pada konsep differance. Dalam konteks penerjemahan konsep tersebut diacukan bukan pada apa yang ada akan tetapi pada apa yang “tidak ada”. Istilah differance diambil dari bahasa Latin yang bermakna differe dan deffer (membedakan dan menunda). Yang pertama berkaitan dengan waktu dan yang kedua berkaitan dengan ruang. Dengan memfokuskan pada differance maka dekonstruksi digunakan untuk menyadari apa yang tertunda, yang terlupakan, yang tidak terpikirkan dari suatu teks dan juga oposisi maknanya. Seorang penerjemah seharusnya dalam pencarian makna teks juga memikirkan apa yang tidak terdengar (unheard) sehingga memunculkan kesadarannya terhadap yang tak terucap (non-existent sound). Bagi Derrida semua filsafat menfokuskan perhatiannya pada makna penerjemahan: asal muasal filsafat adalah penerjemahan atau tesis tentang keterjemahan (translatability) (Derrida, 1985:120). Dalam pandangannya yang dirujukkan pada De Saussure ditegaskan bahwa teks atau pernyataan adalah penanda (signifier) yang mengacu pada yang "riil" (petanda atau signified). Menurutnya penanda adalah lebih awal dari pada petanda dan tidak ada petanda yang transenden karena itu tidak ada sesuatu di seberang sana (beyound) atau di luar teks. Objek diskusi atau pembiacaraan baru dibentuk di dalam kerangka teks tertentu. Karena itu orang tidak dapat mengungkapkan diri dan berpikir kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan, dan tradisi teks tertentu yang dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan sehingga setiap kegiatan berpikir selalu dirujukkan pada tradisi pemikiran tertentu. Dengan demikian orang selalu berada pada lingkungan logosentris tertentu. Bagi Derrida, karena itu, pemahaman kritis hanya dapat diperoleh melalui proses dari dalam teks itu sendiri melalui dekonstruksi dengan cara menampakkan ragam aturan yang tersembunyi sebagai penentu teks. Dalam dekonstruksi itu yang tak diperoleh dan yang tak terpikir mendapat perhatian sebab yang paling menentukan dalam tradisi pemikiran dan tradisi teks menurut Derrida bukan hal yang positif (tampak) melainkan berbagai aturan yang bersifat negative (tidak tampak) (Arkoun, 1994:23-24).
Bagi Derrida penerjemahan merupakan pengalihan (transporting), memproduki ulang (reproduction), menyajikan ulang (representing), atau mengkomunikasikan (communicating) "makna" asli. Penerjemahan hendaklah dipandang sebagai satu contoh bahwa bahasa selalu dapat dilihat dalam proses pengubahan teks asli (original text) atau proses penundaan (deffering) dan pemindahan berbagai kemungkinan yang diperoleh/ dicapai di mana teks asli ingin diberi nama dan makna. Dari sisi ahli dekonstruksi, penerjemahan dipandang sebagai aktivitas menyembunyikan kehadiran dan menghalangi semua keinginan. Karena itu penerjemahan merupakan operator langsung sebagai differance yang dalam prosesnya mendistorsi makna asli, sementara secara simultan memunculkan jaringan kerja (network) teks baik yang memberdayakan komunikasi interlingual maupun yang menghalanginya (Gentzler, 1993:165). Teks "asli" selalu memuat struktur atau bentuk lain-"tahapan" untuk bertahan di masa depan -yang sesungguhnya teks itu sendiri tidak pernah dapat diterjemahkan. Struktur tersebut tidak tampak, bukan merupakan sesuatu yang lengkap dan menyatu; teks mempunyai kemungkinan perubahan di masa mendatang karena 'ketidaksempurnaan' dan keterbukaannya. Secara psikologis entitas yang tidak sempurna (unfulfilled entity) itu hadir sebagai teks dengan memerlukan kehidupan dan penerjemahan yang tanpa akhir (Gentzler, 1993: 165).
Derrida menganggap kondisi probabilitas pengembangan teks untuk masa depan itu sebagai 'struktur setengah lengkap (half-completed structure)' yang penyempurnaannya menjadi "tugas" penerjemah. Teks asli membuka perubahan untuk dirinya sendiri, dan teks itu bisa bertahan dengan perubahannya (penyempurnaan) dan transtormasi. Sebuah teks mengalami pembaruan dan karena itu berubah. Sebagai suatu yang hidup, teks tumbuh dan “dewasa”, melalui penerjemahan yang mengisi struktur terbuka teks (Derrida, 1985: 188). Secara metafisis, mengutip Benjamin; Derrida menyatakan bahwa teks asli dan terjemahannya adalah bagian dari bahasa yang lebih besar (Derrida,1985:189-190). Proses penerjemahan memastikan kehadiran kembali, regenerasi, "petumbuhan suci" bahasa secara umum dan makna yang dipakai untuk menilai diri kita sendiri. Penerjemahan menjadikan orang melakukan kontak tidak dengan makna asli tetapi dengan pluralisme makna.
Menurut Derrida, seseorang tidak pernah menulis dalam satu bahasa melainkan dengan ragam bahasa (pluralisme of language) dan menciptakan makna baru. Karena itu penerjemahan yang benar bersembunyi sehingga pengulangan apa adanya mengakibatkan munculnya makna yang berbeda. Dari sini muncul daerah yang samar (grey areas) karena itu pelacakan (trace) harus dilakukan. Derrida tertarik pada penerjemahan dalam hal proses ketika penamaan atau pengungkapan belum terjadi dan sesuatu belum ada (is not). Dengan demikian proses penerjemahan adalah"membongkar" teks dan kembali pada titik sebelum sesuatu disebutkan dengan menampakkan jalan sebagai tempat pemahaman berlalu dan pengalihan terjadi (Gentzler, 1993:167).
Teori Derrida dikembangkan dari pandangan bahwa tidak ada makna murni (pure meaning), tidak ada sesuatu yang ditumpukan di belakang bahasa. Ketiadaan (nothing) dalam pengertian yang absolut ditampilkan kembali sebagai objek dekonstruksi. Kalau demikian maka yang ada (exist) adalah kontinuitas rantai pemaknaan (signification) yang terdiri dari bahasa-bahasa dalam kondisi saling "mempengaruhi dan saling mendukung. Pandangan bahwa seorang penerjemah menciptakan keaslian adalah pandangan yang dikenalkan oleh ahli dekonstruksi. Ahli dekonstruksilah yang memperkenalkan pandangan bahwa teks asli secara konstan ditulis kembali di masa mendatang dan setiap pembaca atau penerjemah selalu menyusun kembali teks sumber. Dalam setiap penerjemaham bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran terjadi pemaksaan teks sumber, karena itu pencarian padanan 'murni' tidak mungkin dilakukan (Gentzler, 1993:149). Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka diperlukan upaya dekonstruksi (pembongkaran).
Dekonstruksi ala Faucoult dikembangkan berdasarkan "fungsi penulis" (author function) (Faucoult, 1977: 131). Kajiannya juga didasarkan pada hubungan teks dengan teks lain dengan melihat suatu wacana dalam suatu situasi historis. Dalam pandangannya, waktu dan tempat serta peristiwa yang terjadi di dalamnya menjadi sangat penting untuk dimengerti dalam dekonstruksi sebab di situlah seorang penulis (author) mengokohkan karyanya yang sebenarnya melalui proses tertentu yang tidak secara spontan. "Tindak penciptaan" (act of creation) yang ada terjadi dalam kenyataan kesinambungan proses yang kompleks untuk disederhanakan oleh penulis. Faucoult melihat seorang penulis bukan sebagai individu aktual melainkan sebagai seri posisi subjektif yang dibatasi atau ditentukan oleh jarak, ketidaksinambungan, pemisahan, perbedaan, pembalikan kontradiksi, dan keheningan (silence). Faucoult selanjutnya mengembangkan gagasannya bahwa wacana menjadi subjek bagi wacana itu sendiri; tidak lama setelah seorang menyusun teks (bahasa) dia segera berada di luar (outside) bahasa itu, bahkan bahasa sebagai "pihak dalam" (insider) akan menjadi subjek dan melahirkan dampak (wacana) tersendiri yang terlepas dari pengarangnya. Dalam pandangan Faucoult bahasa mengalami suatu pemisahan. Bahasa memisahkan diri dari keterkaitannya dengan sesuatu yang diacu dan juga memisahkan diri dari keterkaitannya dengan kontinuitas umum dan konteks aturan kealamiahan (natural order) (dalam suatu komunitas) sehinga memperoleh kehidupannya sendiri. Seperti diskontinuitas dari subsistem yang melahirkan struktur organik dalam berbagai ragamnya, begitu juga bahasa yang memisahkan diri dari sistem besarnya akan membuat satuan sistem (baru) dan karena itu variasi sistem gramatikal muncul (Faucoult, 1973:292-293). Selanjutnya, menurut Faucoult, ketika bahasa terpisah dari sesuatu yang diacu secara paradok akan mempertahankan media yang ada sehingga sesuatu dapat dikenali. Pada masa ini bahasa menjadi ‘naik-turun’ dan struktur gramatikal dipandang sebagai apriori dari yang diungkapkan. Sebuah hasil tindak produksi (pengungkapan) tidak lama tersusun sebagai kesadaran sekitar individu yang terstruktur dan agaknya lingkungan masa (around the age) yang secara aktual menciptakan individu.
Bahasa, khususnya 'sastra' mengambil cara bereksistensi yang sama sekali baru, yang terus-menerus memainkan peran mediator metafisik bagi kebenaran filosofis dan lebih menjadi referensi diri (self referential) yang murni dan "sebagai" manifestasi dari eksistensi dirinya sendiri yang baru, sehingga bahasa akan mempunyai wujud dengan ciri “tanpa aturan selain yang dikokohkan sendiri" (no other law than that of affirming) (Faucoult, 1973:300). Kemudian bahasa mengokohkan otoritasnya yang terus-menerus memperlihatkan aturannya sendiri. Dalam perkembangan mutakhirnya bahasa mempunyai otoritas terhadap dirinya sendiri, bahkan pengarang hanya menjadi fungsi sesaat dari wacana itu sendiri yang kemudian larut dalam teks yang ditulisnya. Dalam hal ini teks membentuk maknanya sendiri yang otonom. Otonomi semantik teks tersebut kemudian bergulir melalui proses dialektis terus-menerus antara makna dan peristiwa. Terhadap teks yang ada seorang penerjemah mengalami rekognisi terhadap makna teks tanpa batas-batas yang mudah diprediksi. Ini bisa terjadi karena hak pembaca dan teks bergabung untuk menghasilkan pemahaman melalui dinamika interpretasi secara keseluruhan (cf. Ricoeur, 2003). Apa yang dikemukakan Faucoult amat teoritis sehingga dari kajian-kajiannya tidak terlihat butir-butir yang menjadi refleksi suatu yang tersembunyi, 'penerangan', dari yang masih gelap, dan 'perbaikan' dari bahasa yang masih sulit dimengerti, dalam konteks pengetahuan positif.
Dekonstruksi menampakkan pergeseran kealamiahan pertanyaan tentang suatu karya dan maknanya dari yang dapat didengar menuju yang bisu. Apabila peran kreatif penulis tereduksi muncullah pertanyaan dari manakah wacana suatu teks kalau bukan dari penulis? Prinsip dekonstruksinya, "makna" teks dipertimbangkan ulang, elemen tersembunyi (silent elements) dikembalikan pada bahasa teks, kontradiksi, jarak dan penghilangan. Dekonstruksi, dengan demikian cenderung mengabaikan penulis dan makna eksplisit, dan cenderung membiarkan bahasa 'berbicara sendiri', mendengarkan yang tidak terdengar (tidak tergapai) yang ada maupun yang tidak ada yang hilang antara signified dan signifier. Dalam kaitannya dengan teks terjemahan ahli dekonstruksi ingin memahami keterbatasan-keterbatasan psikologis, batas-batas kesadarannya dan implikasi retorikanya. Dalam tejemahan, ketiadaan (nothing) di belakang bahasa diperhadapkan dan permainan bahasa dalam dirinya sendiri bisa diperlihatkan (Gentzler, 1993:153). Dalam kerangka yang lebih luas Foucault (1926--1984) mengemukakan bahwa manusia pada tiap-tiap zaman menagkap kenyataan dengan cara tertentu, karena itu ia juga mempunyai cara tertentu dalam membicarakannya (Arkoun, 1994: 21). Selanjutnya dijelaskan bahwa pendekatan yang disebutkan Foucault "sejarah pemikiran" ditolaknya karena berusaha menemukan dan menunjukkan kesinambungan yang berusaha menjelaskan, pemikiran, teks, wacana dengan bertolak dari maksud subjek dan dengan demikian mengutamakan subjek dibandingankan dengan episteme, teks, atau wacana dan mengabaikan perbedaan episteme atau wacana berbagai periode, golongan sosial dan kebudayaan. Dengan mendasarkan pada gagasan tersebut, dekonstruksi terhadap teks-teks lebih tertarik pada cara menangkap kenyataan dan cara membicarakannya di berbagai ruang dan waktu. Karena itu pendekatan dekonstruksi dalam memperbincangkan penerjemahan akan mencakup cara menangkap kenyataan (episteme) itu sendiri dan cara membicarakannya (wacana). Pandangan demikian akan mempersepsi penerjemahan sebagai pemindahan episteme dan wacana dalam lintas ruang dan waktu.
Pendekatan konseptual metafisik-dekonstruktif terhadap penerjemahan diperkenalkan oleh Heidegger. Kajiannya dikaitkan dengan Keberadaan dan Waktu (Being and Time: Sen an Zeit, 1927). Dalam pandangannya Being tidak eksis di luar suatu apapun, tepatnya tidak berada di luar tempat munculnya pertanyaan. Pertanyaan hanya terjadi dalam pertanyaan, hanya terjadi dalam kaitannya dengan bahasa, puisi dan pemikiran yang dibentuk. Being bukanlah jawaban terhadap suatu apapun, karena itu bukanlah suatuentitas, sesuatu, konsep, ide yang dipahami, tetapi lebih dari suatu keraguan, hilangnya kehadiran, kegelisahan yang mengisyaratkan ketiadaan mutlak yang selalu berada di antara yang dipahami.
Heidegger menghindari kebenaran filosofis yang mengaburkan pengalaman pre-ontologi dan mencoba berpikir dalam konteks ketidakhadiran prekonsepsi, dan dalam kebenaran abadi. Pemikirannya mengarah pada bahasa sebagai paparan yang mudah, dan terus memunculkan pertanyaan tentang Being, hanya untuk melihat berbagai kemiripan jawaban yang secara simultan tidak nampak seperti dia mendekati strukiur koheren pertanyaan. Heidegger mencoba berpikir melalui wacana yang menjadi kerangka pertanyaanya dan pertanyaan tanpa jawaban (without an answer) menjadi sebuah petunjuk bagi pemikiranya yang kemudian. Melalui upaya penyusunan pertanyaan yang menjadi awal penempatan pertanyaan, Heidegger mampu melihat bahwa bahasa atau pemikiran mengendalikan batas pemikirannya dan kemudian ia mulai 'membongkar' batas-batas tersebut. Metodenya melibatkan permainan bahasa, yang memungkinkan bahasa berbicara sendiri sesuai dengan variasinya. Sesuai dengan proses penerjemahan dan dekonstruksi, Heidegger dapat menunjukkan suatu cara berpikir metafisik yang mungkin dilakukan.
Ada suatu pengertian dalam tulisan Heidegger bahwa ada suatu puing yang dapat diungkap kembali pada momen pre-original sehingga memahaminya menjadi mungkin dan pemikiran pre-ontologi dapat dialami. Dalam dua aksi dekonstruksi (double movement of deconstruction) --seperti pencerahan jalan struktur yang macet dan kehadiran yang memungkinkan melampaui pemikiran generasi tradisional-­ penerjemahan memasuki pengokohan teori (Krell, 1986: 80-94). Penerjemahan dipahami dalam kerangka mengembalikan, dengan membiarkan pengalaman awal bahasa (virginal experience of language) terjadi. Penerjemahan dilihat juga sebagai aksi penerapan pikiran dan penerjemahan terhadap diri penerjemah sendiri ke dalam pikiran bahasa lain. Dinamika pemikiran Heidegger dalam Being dan Time menjadi penting dalam teori penerjemahan. Sebagai tanda/ ciri pemikiran abad ke 20 bahwa bahasa dapat berbicara sendiri dan orang mendengarkannya. Apa yang didengar? Bagi Heidegger orang tidak mendengar sesuatu sebab ada sesuatu yang esensial bagi alam bahasa (nature of language) yang tidak dapat didengar maupun dibaca. Sesuatu tersembunyi sebagai bahasa yang berbicara. Bahasa tidak hanya mengungkapkan apa yang ada -­"bahasa adalah rumah Being" -- tapi juga menyembunyikannya. Jika orang membiarkan bahasa berbicara sendiri maka yang dikemukakan adalah sesuatu tentang alam bahasa (nature of language): kata tidak hanya menunjukkan apa yang ada akan tetapi menunjukkan pada apa yang ada beserta apa yang tidak ada (mas es gibt und gleichwohl nicht ist) (Heidegger,1971:80).
Menifestasi esensi Being ada dalam penarikannya, yaitu hilangnya gambaran Being dari hubungan literal dan gambaran yang terduga, sehingga membuka pikiran terhadap makna lain yang mungkin. Heidegger menggunakan penerjemahan untuk mendapatkan penulisan ganda (doublewriting). Pertama untuk memindahkan makna terduga pada bahasa untuk membiarkan sesuatu yang lain terjadi. Kedua untuk memunculkan pertanyaan tentang Being sebagaimana dalam Being dan Time. Tujuannya adalah untuk memulihkan gaung yang diam dari yang dikatakan. Apabila ini terjadi, bahasa dan pemikiran akan menghasilkan beberapa makna lain, bukan entitas definitif yang berada di luar bahasa akan tetapi yang berada di dalamnya, yang tertutup oleh struktur dominan bahasa (Gantzler,1993:157). Heidegger berasumsi bahwa penerjemahan dikondisikan oleh kategori konseptual yang mengarah pada suatu waktu tertentu, kendati penerjemah berusaha mengelakkannya. Dia juga percaya bahwa dengan upaya penelaahan dan rekontekstualisasi orang dapat sampai pada suatu jenis kesimpulan yang dikehendaki penulis sehingga dapat menemukan dasar-dasar pengungkapan dan sampai pada maksud murni atau suatu kehadiran sebelum terjadi distorsi. Kemudian dia memilih kata yang mempunyai fungsi berbeda dengan masyarakat yang ada, untuk mencoba sampai pada akibat atau respon yang sama pada saat yang asli muncul, dalam proses pemisahan kategori konseptual pembaca. Dalam penerjemahan puisi seorang penerjemah dapat memindah dirinya (transport himself) dalam kultur aslinya dan memulihkan pengungkapan yang asli tersebut yang pengungkapan linguistiknya kabur dan tidak jelas. Teori penerjemahan Heidegger ditandai dengan pergeseran pemaknaan, sebab dia tidak mengungkap maksud asli penulis akan tetapi memulihkan properti bahasa itu sendiri. Heidegger memikirkan apa yang dihindari bahasa. Dia membiarkan bahasa berbicara sendiri. Dengan demikian kata secara tidak langsung menyatakan hubungan antara "yang tidak" dan ketiadaan sebagai keberaadaan (Heidegger, 1971 :59). Dengan demikian, Heidegger menunjukkan jenis pemikiran yang baru, bukan berpikir tentang apa yang ada dan apa yang disebut, akan tetapi tentang apa yang ada dan yang secara simultan tidak disebut, dan tidak pernah bisa disebut, sebab itu bukanlah sesuatu. Berpikir tentang sesuatu yang tidak pernah disebut adalah sulit. Heidegger menyebutnya situasi tak terpahami yang sederhan yang secara teoritis menjadi "kelayakan berpikir" (Heidegger, 1971:866).
Untuk lebih mempermudah pikiran Heidegger maka kiranya perlu dikemukakan bahwa Being itu bersifat 'mengatasi' sesuatu, tidak perah mencerminkan keseluruhan objek sebagaimana kenyataan konkretnya, sebagaimana dalam berbagai konteks, dan dalam berbagai variasinya. Being dihubungkan dengan dunia pengalaman, pemahaman dan memori seseorang; bersitat terbuka dan dinamis (Heidegger, 1990:217 dalam Aminuddin, 1999:76-77). Dan juga dijelaskan bahwa dalam proyeksi dunia pengalaman, Being juga dapat mengandaikan adanya kesatuan unity yang senantiasa berada dalam kondisi posibilitas.

DEKONSTRUKSI DALAM TERJEMAHAN NAHJUL BALAGHAH OLEH AL-BAQIR
Al-Baqir adalah penerjemah senior bagi penerbit MIZAN Bandung. Di samping banyak melakukan pencerahan tentang penerjemahan di kalangan penerjemah yunior di MIZAN dia sendiri menerjemahkan banyak buku misalnya; Mutiara Najhjul Balaghah (kumpulan pidato, surat dan wasiat Imam Ali r.a. yang dianalisis dalam tulisan ini), Bagaimana Memahami Hadis (oleh Yusuf Al-Qardlawi), IImu dalam Perspektif Tasawwuf (oleh Imam Al-Ghazali), Mengobati Penyakit Hati: Membentuk Akhlaq Mulia (oleh Imam AI-Ghazali), Menyikapi Hakekat Perkawinan (oleh Imam Al-Ghazali), Orang-orang yang Terkelabuhi: Karena Syetan atau IIusi Diri Sendiri (oleh Imam Al-Ghazali), Rahasia Haji dan Umrah (oleh Imam AI-Ghazali), Rahasia Puasa dan Zakat ( oleh Imam Al-Ghazali), Rahasia Shalat (oleh Imam Al-Ghazali), Rahasia Dzikr dan Do'a (oleh Imam Al-Ghazali), Hidup dan Pilihan Ali Zainal Abidin, Cucu Rasulullah: ulama, Sufi danPemimpin Ummat.
Dalam menerjemahkan Nahjul Balaghah, Al-Baqir banyak melakukan penguatan-penguatan makna yang penguatan itu tidak terdapat dalam bahasa sumber. Misalnya dia menambah kata walau hanya, apapun, harus, yang luas, benar-benar, sungguh, bagaimanapun juga dalam karya terjemahannya, yang kata-kata penguatan tersebut secara tekstual tidak ada dalam bahasa sumbernya. Apa sebenarnya yang menjadi pijakan bagi lahirnya penguatan tersebut? Dari mana penguatan-penguatan itu harus disimpulkan? Benarkah tindakan penerjemahan seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan itu yang ingin dipaparkan jawabannya dalam sub judul berikut.
Tesis tentang sahnya penguatan makna dalam BSa yang ada dalam penerjemahan Al-Baqir mendapat pijakan yang kokoh dalam teori dekonstruksi dan teori penerjemahan itu sendiri. Sikap penguatan makna yang mendasari penerjemahan Al-Baqir mengharapkan suatu perubahan perilaku pembaca setelah membaca karyanya (terjemahan). Makna teks yang berada dalam kerangka penekanan makna ini mendapatkan elemen baru bila dibandingkan dengan teks BSu. BSa terjemahan Al-Baqir, walaupun tidak seekstrim yang dikonsepsikan para ahli dekonstruksi, namun dapat dianggap sebagai pemulihan BSu, penyempurnaan, penulisan ulang, dan sebagai karya lain dari Bsu.
Dalam konteks dekonstruksi, bahasa Ali dalam Nahjul Balaghah adalah teks atau wacana yang ditulis pada zamannya untuk suatu kebenaran. Bahasa tersebut adalah sebuah gejala dari bahasa yang lebih luas, gejala dari sebuah Being, gejala dari keterbukaan, gejala dari dunia yang lebih besar, dan gejala dari yang tidak tampak. Wacana Ali r.a dalam konteks dekonstruksi merupakan wacana yang terlepas dari Ali itu sendiri. Ia adalah bahasa yang ingin bertahan (survive) hidup dan berkembang.
Dari perspektif Derrida, misalnya, teks Nahjul Balaghah telah terlepas dari Ali r.a sendiri, bergerak menuju komunitas sendiri, berkemabang terus dan menjadi subjek terhadap dirinya sendiri, mengokohkan aturan-aturan yang dikehendaki menuju suatu penyempurnaan untuk selalu bertahan hidup. Begitu bahasa itu berhenti dan tidak ditulis kembali, tidak diterjemahkan dan tidak dimaknai maka bahasa tersebut mati. Teks Nahjul Balaghah lahir dari Ali akan tetapi dalam perubahan waktu dan tempat telah melepaskan diri dari Ali sebagai subjeknya. Ali r.a hanya fungsi dari sebuah wacana dalam kelahirannya (cf. Foucault). Ali r.a dalam kaitannya dengan wacana menempati satu moment tertentu dari seri subjektivitas yang tidak terbatas dalam rentangan perkembangan teks bahasa. Ali r.a adalah fungsi wacana yang tidak mugkin mengontrol kalamnya sendiri setelah dilepaskan di masyarakat. Tidak hanya sampai di situ, bahasa Nahjul Balaghah melainkan dalam kecenderungannya dapat mengarah pada pelepasan diri dari sesuatu yang diacunya semula. Ini artinya bahasa Ali menuntut pergeseran pemaknaan (signifikasi) pada setiap seri pembacaan, pemahaman dan penerjemahan. Pembaruan, penulisan kembali (rewriting), dan pemulihan bahasa (wacana) (recovery) dalam konteks kekinian adalah proses mendengar (listening) yang tak terdengar (unheard) dari teks dalam kaitannya dengan masa lalu dan kekiniannya. Kontemporerisasi, karena itu, dalam penerjemahan bukanlah persoalan yang asing (cf. Wilss, 1983:133).
Kebenaran adalah kebenaran dalam konteks waktu dan tempat. Sebagai gejala sosio-historis, bahasa teks bukanlah masa lampau yang mandeg. Bahasa mengalirkan kebenarannya pada arah historis yang lebih signifikan. Begitu juga yang terjadi dalam Nahjul Balaghah. Pada setiap saat mengalami kontemporerisasi baik melalui penafsiran_pembacaan maupun penerjemahan. Dalam suatu konteks dekonstruksi, penerjemah akan melakukan pelacakan (trace) dan penjejakan (track) terhadap sesuatu yang hilang, yang tidak terpikirkan, yang tidak terdengar di antara petanda dan penanda. Dengan proses inilah terjemahan Nahjul Balaghah dapat "berbeda" dari BSu-nya. Dalam pemikiran dekonstruksi tidak ada salahnya bila orang melacak makna teks BSu dengan mengembalikan pemahaman pada masa lalu teks dan penulisnya, namun demikian hal itu belum dinggap cukup bila tidak dilengkapi dengan "pembongkaran" dan "pemulihan" yang hilang dari bahasa itu sendiri. Properti bahasa barus mendapat perhatian. Ini dapat berupa basil interaksi bahasa itu sebagai Being dengan pikiran dan individu dalam kerangka pertanyaan bagaimana Being (sesuatu yang transenden dari suatu makna) memberi pancaran pada yang riil atau yang kongkret yang ada dalam pemakaian nyata atau teks.
Penerjemahan Nahjul Balaghah oleh Al-Baqir sekilas terlihat berpijak pada realitas teks dan wacana seperti yang terlihat oleh orang awam. Mungkin orang tidak melihat bahwa penerjemahan yang dilakukan Al-Baqir dalam banyak hal menunjukkan proses yang rumit. Keinginan Al-Baqir untuk menghasilkan terjemahan Nahjul Balaghah yang bagus dan mudah dibaca adalah suatu isyarat bagi proses yang rumit sebab bahasa Nahjul Balaghah dikenal sebagai bahasa sastra yang memerlukan curahan pikiran, rasa, dan kesadaran yang lebih di dalam memahaminya dibandingkan dengan karya pada umumnya. Dalam suatu proses pencarian makna Nahjul Balaghah dalam kerangka penerjemahan, pemakaian kitab syarh (buku komentar) oleh Al-Baqir menjadi indikasi adanya kesadaran dekonstruktif bahwa suatu bahasa mengandung yang tidak terdengar, yang tidak terpahami, yang tidak terpisahkan. Dan hal itu semakin banyak dan kuat sejalan dengan perkembangan usia bahasa tersebut. Karena itu barangkali tidak berlebihan bila oleh Foucault ditegaskan bahwa bahasa mengalami pemisahan diri dari keterkaitannya dengan yang diacunya semula untuk memperoleh kahidupannya sendiri.
Apa yang dilakukan Al-Baqir dalam tetjemahan Nahjul Balaghah dalam beberapa hal mengarah pada pernyataan Foucault tersebut. Bahasa Nahjul Balaghah dalam terjemahannya oleh Al- Baqir mengembangkan acuan sendiri sehingga hasilnya berupa penambahan makna yang tidak dapat ditemukan dalam BSa-nya kecuali dengan pendekatan dekonstruksi. Dalam kasus "penambahan makna" atau penekanan dalam BSa untuk BSu menjadi ciri dominan penerjemahan Al-Baqir yang bersifat memberi penekanan retoris itu. Dalam kerangka dekonstruksi penambahan/ penekanan makna yang tetjadi dalam BSa (tidak terjadi dalam BSu) merupakan bagian dari suatu yang tak terpikir dan sekaligus menjadi properti bahasa teks Nahjul Balaghah. Bagi BSu makna tersebut adalah gejala differance yang terjadi antara petanda dan penanda (signified dan signifier), penulisan kembali makna BSu, pemulihan terhadap makna BSu sebagai half-completed structure, sebagai unfulfilled entity, sebagai bagian dari bahasa yang lebih luas, dan sebagai struktur yang terbuka. Penekanan makna yang dilakukan Al-Baqir dapat dikatakan sebagai penyempurnaan teks sumber atau penulisan kembali teks tersebut. Hal ini mendapatkan pijakan teoritisnya dari kalangan ahli dekonstruksi. Mereka yakin bahwa suatu teks bahasa itu merupakan struktur setnegah sempurna (half-completed structure) dan entitas tidak penuh (unfulfilled entity). Di situ seorang penerjemah berkwajiban melengkapi stuktur dan mengisi entitas bila menginginkan suatu bahasa bertahan hidup.
Dalam penalaran dekonstruksi teks Nahjul Balaghah harus dianggap berstruktur '"setengah lengkap" dan entitas yang '"belum penuh" untuk bisa eksis sebagai bahasa yang hidup. Karena itu naif mengatakan bahwa bahasa teks Nahjul Balaghah telah berstruktur lengkap dan merupakan entitas yang sempurna. Kalau ini yang terjadi maka sama dengan menjatuhkan vonis kematian bagi Nahjul Balaghah, menutup ruang penafsiran, menfosilkan jejak dan kecerdikan dinamika Ali r.a, mereduksi simbol pemikiran antisipatik yang signifikan dan yang paling parah mengungkung manusia dalam fanatisme logosentris yang tidak pernah menjadi bagian dari pre konsepsi munculnya teks. Dari sisi ini menjadi mudah diterima mengapa Al-Baqir dalam Nahjul Balaghah terkesan '"berteriak" lebih lantang dari Ali r.a sendiri sebagai pemilik teks BSu. Dalam kasus seperti ini, hasil tetjemahan Al-Baqir memperlihatkan episteme (cara memahami dan menangkap: istilah Foucault) citra pembaca yang berbeda antara yang dihadapi oleh Ali r.a dengan Al-Baqir. Perbedaan ini dengan sendirinya ditampilkan juga dalam perbedaan tingkat wacana-nya (istilah Foucault: cara mengungkapkan hasil pemahaman). Apabila ini dapat diterima maka dapat ditegaskan bahwa dalam kasus penambahan makna penekanan dalam terjemahan Al-¬Baqir terhadap makna Nahjul Balaghah terdapat pergeseran pemaknaan yang disebabkan oleh perbedaan episteme dan wacana. Perbedaan ini dalam tingkat pesan tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Oleh karena itu padanan maknanya lebih bersifat keseimbangan pesan.
Dalam pengertian konvensional padanan yang melibatkan episteme dan wacana (dalam pengertian Foucault) akan mendapat banyak sangkalan. Sangkalan utamanya diperkirakan berkisar pada keaslian makna atau pesan teks. Dalam penerjemahan konvensinal yang dituntut adalah memadankan semirip mungkin antara dua bahasa (BSu dan BSa). Dua bahasa harus dipertukarkan dengan ketat tidak boleh ada penambahan dan juga tidak boleh ada pengurangan. Asumsi teoritisnya, banwa bahasa dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain, tanpa penambahan maupun pengurangan. Dengan pandangan konvensional, bahasa dalam teks dipandang sebagai suatu yang final dan mati. Bahasa merupakan lambang dari yang diacu yang tidak menglami perubahan. Hal itu sangat berbeda dengan penerjemahan dalam kerangka dekonstruksi. Dalam dekonstruksi ada asumsi bahwa bahasa tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dalam arti konvensional. Bahasa diyakini hidup dalam dunianya seperti makhluk hidup lainnya. Bahasa (teks) lahir dan berkembang, dan dalam perkemabangannya bahasa tidak pernah sempurna. Tugas pembaca dan penerjemahlah untuk menyempurnakannya. Untuk dapat melakukan itu seorang penerjemah harus dapat mendengar "suatu" alamiah bahasa, dengan menyadari perlunya penelusuran makna melalui pemahaman yang hadir dan yang tidak hadir, yang sejalan dan yang berseberangan, yang positif dan yang negatif, dan yang menjadi properti bahasa itu sendiri.

SIMPULAN
Dekonstruksi merupakan "pembongkaran" teks dan yang dianggap sebagai teks dengan anggapan bahwa bahasa teks adalah bahasa dunia yang hidup dan berkembang sesuai dengan alamiahnya. Pembongkaran teks tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman makna dan pesan teks, melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, yang tidak saja menanyakan pembentuk teks yang bersifat lahiriyah (positif) melainkan juga yang bersifat batiniyah yang mungkin beroposisi dengan yang lahiriyah itu sendiri. Teknik dekonstruksi yang dapat dilakukan oleh seorang penerjemah misalnya, penjelmaan diri penerjemah sebagai penulis teks, pengembangan makna teks sesuai dunia kekiniannya, mempertanyakan setiap unit pemahaman yang ditemukan, memperhadapkan teks pada pembentuk positif dan negatif teks, dan sebagainya. Dengan proses dekonstruksi ini seorang penerjemah dapat mengembangkan kecurigaannya terhadap setiap kebenaran yang ia temukan sendiri sehingga ia lebih bisa membuka kemungkinan pemahaman yang ditemukan, di samping ia akan lebih mudah mengembangkan kerangka konseptual yang melandasi kegiatan penerjemahannya.

DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. 1999. Memahami Konsep Dekonstruksi Jacques Derrida. Dalam VOKAL.
Tahun 9, nomor 2 Desember 1999. Malang: JPBS IKIP Malang.

Arkoun, Muhammad. 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern. (terjemahan).
Jakarta: INIS.

Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. New York:
Cambridge University Press.
Derrida. 1985. The Ear of the Other. New York: The Seabury.

Faucoult, Michel. 1973. The Order of Thing. New York: Vintage Books.

Faucoult, Michel. 1977. Language, Contemporary-memory, Practice. ltacha: University Press.

Flesch, Rudolf. 1951. Danger! Language at Work: The Art of Language Thinking. New York: Barnes and Noble Books.
Gentzler, Edwin. 1993. Contemporary Translation Theories. London: Routledge.
Heidegger, Martin. 1971. On the Way to Language. New York: Harper and Row.

Irhamni. 2002. Padanan Makna Buku Nahjul Balaghah dengan Terjemahannya Berbahasa Indonesia oleh MuhammadAl-Baqir. Disertasi. Universitas Negeri Malang.

Krell, David Farrel. 1986. Intimations ofMorta/ity: Time, Truth and Finitude in Heidegger's Thinking of Being. New York: Columbia University Press.

Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogayakarta: IRCiSoD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar