Rabu, 11 November 2009

PEMBELAJARAN BAHASA ARAB INTENSIF DI MAN MALANG I

PEMBELAJARAN BAHASA ARAB INTENSIF DI MAN MALANG I
Agus Jauhar Makmun
Abstrak: Pembelajaran Bahasa Arab Intensif (PBAI) di MAN Malang I, adalah sebuah program bimbingan belajar bahasa Arab yang dititikberatkan pada siswa yang berasal dari SMP atau siswa yang kemampuan bahasa Arabnya sangat. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan secara objektif Pembelajaran Bahasa Arab Intensif (PBAI) di MAN Malang I. Rancanaagan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif-kualitatif, dengan jenis penelitian studi kasus. Data dalam penelitian ini diambil dari melalui observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Subjek atau informan penelitian ini adalah: siswa peserta PBAI yang berjumlah 139, empat orang pembimbing, kepala MAN Malang I, dan perilaku guru dam siswa dalam KBM. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif.
Kata kunci: Pembelajaran, Bahasa Arab Intensif, MAN Malang I
Perkembangan zaman dipicu oleh kemajuan dan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa pengaruh yang signifikan dalam bidang pendidikan. Akibat dari pengaruh tersebut dunia pendidikan mengalami kemajuan, sehingga menuntut para tenaga pendidik-pada khususnya-untuk selalu melakukan inovasi dan melakukan inovasi dan mencari langkah-langkah taktis strategis dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik. Pada saat ini, pendidikan sekolah telah menunjukkan perkembangan, perubahan, dan pembaharuan yang pesat dalam bidang kurikulum,metodologi pengajaran, media, evaluasi, adminitrasi, orgasnisasi dan personal yang berkaitan dengan pendidikan (Hamalik, 1994:2). Hal ini juga terjadi dalam bidang pembelajaran bahasa yang dalm hal ini terus muncul metode dan pendekatan baru sebagai wujud dari pengembangan metode dan pendekatan sebelumnya. Berbagai metode dan pendekatan tersebut, pada hakikatnya mengarah pada satu tujuan, yaitu bagaimana proses belajar dapat berlangsung secara efektif dan bermakna. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa munculnya berbagai macam metode dan pendekatan tidak lepas dari usaha para ahli bahasa untuk selalu mencari metode penyajian materi pangajaran dan pembelajaran yang lebih baik untuk memudahkan proses belajar mengajar bahasa, dan hal ini sudah berjalan dari dahulu sampai sekarang. Perubahan-perubahan penyajian dari zaman ke zaman dalam metode pengajaran bahasa mencerminkan penekanan keterampilan yang dianggap penting dan harus dikuasai oleh para pelajar asing. Dalam sejarah,biasanya keterampilan berbicara dan keterampilan membaca (Nababan, 1993:8). Disadari atau tidak, pembelajaran dan pengajaran bahasa dengan segala kompenennya merupakan kegiatan yang memerlukan proses dan waktu cukup lama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Rombepajung (1998:8), pembelajaran dan pengajaran bahasa mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: kebijakan dan tujuan umum, adminitrasi, organisasi, jenis-jenis profesi yang relevan, tipe pembelajaran dan pengajaran, pendidikan dan tenaga kependidikan, pendekatan, pedagogik, metodologi dan pengajaran, desain silabus, penyusunan materi, hambatan-hambatan dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa, pembelajar, dan evaluasi.

METODE
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara objektif Pembelajaran Bahasa Arab Intensif di MAN Malang I. Rancangan dalam penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif-kualitatif. Sesuai dengan hakekat dari metode deskripstif-kualitatif, maka pelaksanaan Pembelajaran Arab Intensif di MAN Malang I akan digambarkan secara obyektif sistematis sebagaimana adanya. Penelitian ini bertempat di Madrasah Aliyah Negeri Malang I Jl. Baiduri Bulan NO. 40 Tlogomas Malang.
Untuk memperoleh data yang diperlukan, digunakan intrumen pengumpul data yang berupa observasi, wawancara, angket, dan dokumen. Untuk mengetahui tingkat keterbacaan instrument, baik instrumen untuk sisawa maupun untuk guru sebelum penelitian dilakukan, diadakan uji coba instrumen . Uji coba ini dilakukan di salah satu sekolah yang memiliki kemiripan dengan sampel sekolah.
Teknik analisa yang digunakan adalah: (1) identifikasi data, (2) klasifikasi dan penyaringan data, (3) penyimpulan
HASIL
Tujuan umum diadakan PBAI di MAN Malang I, adalah untuk memberikan kemudahan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar bahasa Arab dengan cara belajar bersama-sama. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk memberikan bimbingan bagi siswa yan kurang mampu bidang studi bahasa Arab terutama bagi siswa yang berasal dari SMP atau siswa yang belum pernah belajar bahasa Arab, agar siswa mempunyai kemampuan baca-tulis al quran, dan agar siswa bisa belajar bahasa Arab mulai dari dasar, sehingga diharapkan bisa menyesuikan dengan teman-temannya ketika belajar kelas regular.
Target yang ingin dicapai adalah: (a) target minimal yaitu siswa bisa berbahasa Arab meskipun dengan sangat dasr sekali, yaitu membaca dan menulis, (b) target maksimal, yaitu agar siswa bisa belajar bahasa Arab dengan kemampuan setingkat siswa yang berasal dari MTs, serta bisa mendapatkan nilai yang baik dalam ujian semester dan akhir semester.
Didalam penelitian ini terdapat persiapan atau perencanaan, yang dimaksud persiapan adalah perencanaan secara terprogram dan tertulis yang harus dipersiapkan para guru atai pembimbing sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Persiapan atau perencanaan tersebut antara lain berupa: pembuatan silabus, program tahunan (prota) dan program semester (promes), dan rencana pembelajaran (RPP).
PEMBAHASAN
Penelitian Pembelajaran Bahasa Arab Intensif di MAN Malang I bertujuan memberikan kemudahan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar bahasa Arab dengan cara belajar bersama-sama. Untuk memotivasi belajar siswa, guru harus menjelaskan kepada mereka tujaun apa yang diharapkan dari belajar tersebut. Karena tujuan pengajaran merupakan rumusan tentang perubahan perilaku yang akan diperoleh setelah proses belajar. Agar tujuan mudah diketahui, maka tujuan harus dirumuskan secara khusus (Ali, 2002:24). Target dalam penelitian ini terbagi menjadi dua target utama, adalah target minimal yaitu agar siswa bisa berbahasa Arab meskipun dengan sangat dasar sekali, yaitu menulis dan membaca, sedangkan target maksimalnya yaitu agar siswa bisa belajar bahasa Arab dengan kemampuan setingkat siswa yang berasal dari MTs, serta bisa mendapatkan nilai yang baik dalam ujian semester dan ujian akhir. Kalau mereka belum berhasil (belum mencapi target minimal) setelah mengikuti PBAI ini, maka tetap diadakan jam tambahan di luar jam sekolah dengan materi yang lebih meningkat dari sebelumnya, misalnya menggunakan buku al’Arabiyyah li anna:syiin.
Penelitian ini mempunyai perencanaan atau persiapan. Persiapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, perencanaan secara terprogram dan tertulis yang harus dipersiapkan oleh pembimbing sebelum proses belajar mengajar berlangsung, untuk dijadikan acauan dalam pelaksanaan PBAI. Perencanaan atau perencanaan tersebut antara lain berupa: pembuatan silabus, program tahunan, program semester, dan rencana pembelajaran.
Metode pembelajaran adalah berbagai cara yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan yang berbeda-beda dalam kondisi yang berbeda pula (Setyosari, 2001:41). Metode yang digunakan dalam PBAI di MAN Malang I adalah metode gramatika terjemah. Hal ini berdasarakan karateristik yang terdapat dalam proses belajar mengajar di dalamnya. Di antarannya adalah (1)tujuan khusus PBAI ini adalah agar siswa bisa membaca dan menulis, (2) buku pengangan dilengkapi daftar kosakata dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia (dwi bahasa), (3) tata bahasa diajarkan secara deduktif, dan kemudian dihafalkan, (4) bahasa ibu pelajar digunakan sebagai bahasa pengantar, kecuali dalam hal-hal tertentu, (5) peran guru aktif sebagai penyaji materi sedangkan peran siswa pasif sebagai penerima materi, (6) kemahiran berbahasa (berbicara, menyiamk, membaca, menulis) hanya diajarkan sedikit, yaitu sesui dengan yang ada di buku pegangan.
Dari hasil observasi, wawancara dan angket, dalam PBAI di MAN Malang I, pembimbing tidak pernah menggunakan media kecuali buku pegangan dan papan tulis. Ada beberapa alasan mengapa para pembimbing tidak memakai media, antara lain seperti dikemukan oleh Ibu Nur Aini Kamaluddin: “saya tidak pernah memakai media, selain karena keterbatasan media yang ada, saya tidak membuat media sendiri. Meskipun di sini ada laboratorium bahasa, namun penggunaanya tidak maksimal karena untuk mengumpulkan siswa di laboratorium saja sudah menghabiskan waktu, sedangkan alokasi waktu yang ada terbatas, jadi saya berfikir tidak efektif dan lebih baik saya gunakan untuk pelajaran saja”.
SIMPULAN
Tujuan umum diadakan PBAI di MAN Malang I, adalah: (a) untuk memberikan PBAI bagi siswa yang kurang mampu dalm bidang studi bahasa Arab terutama bagi siswa yang berasal dari SMP atau siswa yang belum pernah belajar bahasa Arab, (b) agar siswa mempunyai kemampuan baca-tulis al quran, dan (c) agar siswa bisa belajar bahasa Arab mulai dari dasar, sehingga diharapkan bisa menyesuikan dengan teman-temannya ketika belajar dalam kelas regular. Target yang ingin dicapai dengan diadakan PBAI ini adalah: agar siswa bisa berbahasa Arab meskipun dengan sangat dasar sekali, yaitu membaca dan menulis. Persiapan para pembimbing yang berkenaan dengan silabus, prota, promes, RP, dulakukan secara kekeluargaan. Dalam artian pembimbing tidak diharuskan membuat persiapan tersebut secara tertulis. Dalam kegiatan belajar mengajar, pembimbing tidak pernah menggunakan media kecauli buku pegangan dan papan tulis. Alasan mereka adalah karena keterbatasan media yang bisa mereka gunakan.
SARAN
Saran ditujukan kepada kepala sekolah: untuk mengontrol, membantu meningkatkan, dan mengupayakan solusi terhadap semua permasalahan menghambat jalannya proses PBAI ini. Pembimbing: mencari teknik dan metode yang bervariasi, mengefektifkan waktu semaksimal mungkin, pembuatan bukun pegangan. Siswa: hendaknya lebih bersemangat lagi dalam belajar, karena kesempatan tidak akan pernah datang keduakalinya.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Muhammad. 2002. Guru dalam proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Hamalik, Oemar. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Nababan, Sri Utari Subyakto. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Rombepajung, PJ. 1998. Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Asing: Sebuah Kumpulan Artikel. Jakarta: Depdikbud





Selasa, 10 November 2009

JENIS DAN KONSTRUKSI
IDIOM DALAM BAHASA ARAB



ملخص: أسلوب التعبير هو تعبير يختلف معناه عن المعنى الكلّيّ لأجزاءه.. يتكوّن اسلوب االتعبير على النوعين، الأوّل: أسلوب التعبير الكلّيّ، والثانى: أسلوب التعبير االجزئي واذا تأمّلنا الى عناصره فوجد ثلاث صور، وهي على صورة الكلمة، التركيب، و الجملة.

الكلمات الرئيسة: أسلوب التعبير، أسلوب التعبير الكليّ، أسلوب التعبير الجزءيّ، أسلوب التعبير على صورة الكلمة، التركيب، والجملة.

Dalam berbahasa kita sering menemukan bahasa yang telah teradatkan, artinya bahasa yang sudah biasa dipakai seperti itu dalam suatu bahasa oleh para pemakainya. Mengenai idiom ini sering tidak dapat ditanyakan lagi mengapa begitu kata itu dipakai, mengapa begitu susunan dan artinya. Hubungan makna idiom dengan kata pembentuknya sering tidak jelas, oleh karena itu idiom tidak dapat dialihkan secara harfiah ke dalam bahasa lain; idiom harus menuruti arti sebenarnya dari ungkapan itu atau menggantikannya dengan ungkapan yang semakna dengan idiom tersebut.
Kesalahan pemakaian idiom sering dilakukan karena (1) Kekurang cermatan berbahasa, (2) Ketidaktahuan, (3) Kemalasan, dan (4) Ketiadaan rasa cinta akan bahasa yang baik dan benar. Idiom dalam setiap bahasa tidak dapat diubah-ubah, ditambah dan dikurangi. Dengan berpijak pada masalah tersebut, penulis ingin memberikan uraian mengenai idiom, jenis dan konstruksinya agar dapat membantu pemahaman mengenai idiom dalam bahasa Arab.

PENGERTIAN IDIOM
Secara leksikal, idiom bermakna langgam suara atau corak khas dan juga bermakna hal yang berhubungan dengan ungkapan atau penggunaan ungkapan (Echol dkk, 1990:310). Menurut Pateda (1986: 29) Idiom disebut juga ungkapan tetap. Dalam bidang linguistik idiom diartikan dengan satuan bahasa (kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat ditarik dari kaidah umum gramatikal yang berlaku dalam bahasa tersebut, atau tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsur yang membentuknya (Choer, 1986:7). Kridalakasana (1984) menyebutkan makna idiom adalah konstruksi unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain, atau kontstruksi yang maknanya tidak sama dengan masing-masing unsur pembentuknya.
Menurut Al-Khuli dalam (Imamuddin & Ishaq, 2003:VI), idiom adalah konstruksi kata yang maknanya secara keseluruhan berbeda dengan makna masing-masing unsurnya, sedang Cyssco (2000) menyebutkan bahwa idiom adalah suatu ungkapan yang terdiri dari beberapa kata yang punya satu arti atau pengertian tertentuyang tidak mungkin bias dimengerti atau dipahami neraca kata demi kata yang membentuknya. Dalam bahasa Indonesia ada idiom “menjual gigi” yang bermakna tertawa keras (Choer:1986). Makna tersebut tidak dapat diperoleh, jika kata “menjual” tidak digabungkan dengan kata “gigi”. Idiom “rumah batu” yang bermakna pegadaian (Choer:1986). Makna tersebut juga tidak bisa diperoleh, jika kata “rumah” tidak digabungkan dengan kata “batu”.
Dalam bahasa Inggris terdapat idiom “a black list” yang bermakna daftar nama orang-orang yang salah (Murdibyono:1989). “A black” bermakna hitam dan “list” bermakna daftar atau catatan. Setelah kata itu digabung maka membentuk makna baru yang tidak sama dengan makna unsur-unsur pembentuknya. Contoh lain “a white color job” yang bermakna pekerjaan hantaran (Murdibyono:1989). Makna tersebut dihasilkan dari gabungan kata “a white” yang bermakna sebuah benda atau sesuatu yang putih, “color” yang bermakna warna dan “job” yang bermakna jabatan.
Dalam bahasa Arab terdapat idiom رجل ذئب yang bermakna lelaki penghianat (Imamuddin & Ishaq, 2003:142). Ungkapan tersebut merupakan hasil gabungan dari kata رجل bermakna orang laki-laki dan ذئب bermakna serigala, سواد المدينة yang bermakna daerah daerah sekitar kota (Munawwir:1984). Kata tersebut merupakan hasil gabungan dari kata سواد yang bermakna hitam dan المدينة yang bermakna kota. Contoh lain misalnya فأر الجبل yang bermakna marmut (Munawwir:1984). Makna tersebut sebagai hasil dari gabungan kata فأر yang bermakna tikus dan الجبل yang berarti gunung.
Disebutkan bahwa makna idiom tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsur yang membentuknya. Akan tetapi, secara histories-komparatif dan etimologis tampak masih bisa dicari kaitan makna keseluruhannya.
Berikut ini contoh idiom yang masih bisa dicari kaitan makna leksikal unsur-unsur pembentuknya. إنه خفيف اليد bermakna suka mencuri. Adapun makna leksikal dari kata خفيف adalah ringan dan اليد bermakna tangan. Ada hubungan komparatif antara ungkapan “ringan tangan” dan kata “suka mencuri” yaitu tangan yang mudah digerakkan untuk mencuri. Contoh kedua عنده مركب نقص yang bermakna rendah diri. Secara leksikal kata مركب bermakna kendaraan dan نقص bermakna kurang. Secara etimologis ada kaitan antara kata kurang dan rendah diri. Contoh ketiga أقامت الدنيا وأقعدها yang bermakna memutarbalikkan fakta atau keadaan. Adapun makna leksikal dari unsur-unsur idiom tersebut adalah mendirikan atau menegakkan dunia dan mendudukkannya, maka dalam hal ini ada hubungan secara etimologis. Contoh keempat أخرى، يقدم رجلا و يأخر أخرى bermakna ragu-ragu (Luis:1989). Adapun makna leksikal dari ungkapan tersebut adalah mendahulukan satu kaki dan mengakhirkan yang lain. Secara etimologis ada kaitan antara makna tersebut, yaitu melakukan pekerjaan yang tidak pasti.
Adapun contoh idiom yang maknanya sama sekali tidak bisa dinalarkan atas makna leksikal unsur-unsurnya adalah بنات عبر yang bermakna kebohongan (Munawwir, 1984:952). Jika idiom tersebut unsur-unsurnya diartikan secara leksikal, maka بنات berarti anak perempuan dan عبر bermakna lembah.
Contoh kedua مؤتبض النسا bermakna burung gagak (Munawwir, 1984:3). Idiom tersebut apabila dianalisa unsur-unsur leksikalnya adalah مؤتبض bermakna pengikut dan النسا bermakna pangkal paha sampai mata kaki.
Contoh ketiga أم صبار bermakna panas (Munawwir, 1984:815). Adapun makna leksikal dari unsur-unsur tersebut adalah أم bermakna ibu dan صبار bermakna sangat penyabar.
Contoh keempat أبو صبار bermakna garam (Munawwir, 1984:815). Adapun makna leksikalnya dari unsur-unsur tersebut adalah أبو bermakna bapak atau yang mempunyai anak dan صبار bermakna penyabar.
Dalam perkembangan selanjutnya penggunaan istilah idiom dan ungkapan bertolak dari sudut pandang yang berbeda. Demikian halnya dengan metofora. Perbedaan antara idiom, ungkapan, dan metafora terletak pada segi sudut pandang saja. Disebut idiom apabila ditinjau dari segi makna, disebut ungkapan jika ditinjau dari segi ekspresi kebahasaan, dan disebut metafora jika ditinjau dari segi cara menggunakannya, yakni yang lebih ditekankan pada perbandingan (Pateda, 1986:30). Sebagai contoh idiom dalam bahasa Indonesia “raja siang”. Kata ini disebut idiom jika ditinjau dari segi maknanya, yakni bermakna matahari. Makna tersebut diperoleh dari gabungan kata “raja” dan “siang”. Contoh ini disebut ungkapan bila ditinjau dari segi ekspresi kebahasaan yaitu mengekspresikan maksud kata matahari dan raja siang. Contoh ini disebut metafora jika ditinjau dari segi cara menggunakan atau membandingkan antara raja siang dan matahari.
Dalam bahasa Arab ada ungkapan أعمر من حية yang berarti orang yang sangat panjang umurnya (Luis:1986). Dari segi makna ungkapan itu disebut idiom, makna tersebut diperoleh karena kata أعمر yang bermakna lebih panjang bergabung dengan kata حية yang bermakna ular. Contoh ini disebut ungkapan, jika yang dimaksud untuk mengekspresikan maksud sangat panjang umur dengan ungkapan أعمر من حية dan disebut metafora, jika ditinjau dari segi cara membandingkan yaitu membandingkan orang yang panjang umur dengan ular.

JENIS-JENIS IDIOM
Ditinjau dari segi kesatuan makna yang diemban oleh suatu idiom, idiom dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian (Choer, 1986:8). Idiom penuh yaitu idiom yang unsur-unsur pembentuknya sudah merupakan satu kesatuan makna, contoh: أكل عليه الدهر و شرب bermakna sudah banyak pengalaman. الزيت في العجين bermakna berbuat baik pada keluarga (Luis:1984).
Secara leksikal makna kata شرب أكل و dalah makan dan minum, sedang الدهر bermakna waktu atau zaman. Adapun makna leksikal dari kata الزيت adalah minyak dan kata العجين adalah tepung. Termasuk dalam kelompok idiom penuh ini adalah kata-kata yang diawali dengan abu, ummu (kunyah: julukan) misalnya أبو صبار، أبو يقضان dan أم صبار karena kata tersebut mempunyai makna yang sama sekali berbeda dengan makna unsur-unsur yang membentuknya.
Hal ini bisa kita bandingkan dengan contoh idiom dalam bahasa Indonesia “ibu akar” bermakna pokok atau pangkal, “ibu bapak” bermakna orang tua, “ibu jari” bermakna jari yang terbesar, “ibu kota” yang bermakna kota yang menjadi pusat pemerintahan (Choer:1986). Kata “ibu” dalam contoh-contoh tersebut berubah maknanya sesuai dengan yang mengikutinya.
Idiom sebagian yaitu idiom yang sebagian unsurnya tetap dalam makna leksikalnya, misalnya دفتر السوداء yang berarti daftar sesuatu atau orang atau hal-hal yang tidak baik atau tidak disukai. Kata دفت tetap pada arti daftar atau catatatan, sedang السوداءر bermakna sesuatu atau orang atau hal-hal yang tidak baik atau tidak disukai. Hal ini merupakan pergeseran dari makna leksikal “hitam”. Termasuk dalam kelompok ini adalah idiom yang tersusun dari kata dan huruf jar, yang berfungsi untuk mengubah verba instransitif menjadi verba transitif, contoh:
ذهب الله بنورهم kata ذهب makna leksikalnya adalah pergi dn setelah bergabung dengan huruf jar (bi) berubah maknanya menjadi memergikan. Huruf jar yang mengikuti verba dan mengubahnya menjadi verba transitif senantiasa mengiringi kata tersebut meskipun sudah berubah bentuk menjadi isim fail, isim maf’ul dan masdar.

KONSTRUKSI IDIOM
Ditinjau dari konstruksinya, idiom dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kata, frasa dan kalimat (Choer, 1986:8). Dalam bahasa Inggris ada delapan idiom yang sering dipakai, yaitu idiom yang merupakan: (a) Gabungan dari kata sifat dan kata benda, (b) Gabungan dari dua kata benda, (c) Gabungan dari dua kata sifat, (d) Gabungan dari compound adjective dan kata benda, (e) Gabungan dari dua kata keterangan, (f) Idiom yang menggunakan anggota badan, (g) Idiom yang menggunakan warna, (h) Idiom yang menggunakan kata kerja (Murdibyono, 1989:208).

IDIOM YANG BERUPA KATA
Dalam bahasa Arab idiom yang berupa kata terdapat pada bentuk nisbah dan tarkib mazji. Idiom yang berbentuk nisbah misalnya kata هوائي . Kata هوائي berasal dari kata هوى yang bermakna udara dan ya’ nisbah. Dua unsur tersebut setelah bergabung mempunyai makna جبن yang berarti pengecut (Luis, 1986:879).
Sementara itu, idiom yang tersusun dari tarkib mazji misalkan حضر موت . Kata حضر موت adalah nama sebuah kota. Ia terbentuk dari kata kerja حضر yang berarti hadir dan موت yang berarti mati.

IDIOM YANG BERUPA FRASA
Idiom yang berupa frasa dapat dilihat pada konstruksi berikut:
a. Idiom yang terdiri dari unsur fiil dan huru jar, contoh:
رغب عن bermakna benci, رغب في bermakna suka, أبا عن bermakna enggan, أبا ب bermakna memukul, يبحث عـن bermakna mencari, mengkaji, dan يبحث في bermakna membahas, mengebor.
b. Idiom yang terdiri dari unsur huruf jar dan isim majrur, contoh:
عندك عنbermakna dengan izinmu, قريب عنbermakna tak lama, أبيضين منذbermakna sejak dua hari/ bulan, بالطول bermakna tanpa pertimbangan.
c. Idiom yang terdiri dari unsur dzaraf dan isim, contoh:
تحت الطلب bermakna atas perintah, عند الطلب bermakna atas permintaan.
d. Idiom yang terdiri dari unsur mudzaf dan mudzaf ilaih, contoh
عامـر البيت bermakna ular naga, أم عــامر bermakna sejenis anjing huta, لسـان الصدق bermakna sebutan yang baik, لســان أرض bermakna tanjung, دفتر السوداء bermakna daftar orang-orang yang bersalah, إبط الجبل bermakna kaki bukit (Munawwir:1984), بنو شجـــعbermakna بـطن مــن عذرة atau perut gadis, فور الحر bermakna شدته atau sangat panas, فورة النهار bermakna في أوله atau awal siang, فورة العشاء bermakna بعده atau sesudah waktu isyak, فور الشفق bermakna بقية حمرة الشمش في الأفق الغرب atau sisa cahaya merah matahari di ufuk barat (Mauzhur:1994).
e. Idiom yang terdiri dari na’at dan man’ut, contoh:
البيت المعمور bermakna nama tempat di laing, الخيط الأبيض bermakna benang fajar, الموت الأبيض bermakna mati mendadak, بئر طلاب bermakna sumur yang dalam airnya.
f. Idiom yang terdiri dari compound huruf jar majrur, contoh:
في ازدياد إلى ازدياد bermakna makin, من آن لآخر bermakna kadang-kadang.
g. Idiom yang terdiri dari compound dzaraf dan jar majrur, contoh:
جنبا إلىجنب bermakna saling bahu membahu atau gotong royong (Munawwir:1984)

IDIOM YANG BERUPA KALIMAT
Idiom yang berupa kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Idiom yang tersusun berupa jumlah fi’liyah dan (2) Idiom yang tersusun berupa jumlah ismiyah.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh idiom berupa jumlah fi’liyah ضقت به ذرعا bermakna saya jengkel, عبد ما قاله dia mengingkari apa yang telah dikatakan, عبد على الشيئ bermakna dia tomak, عبد على نفسه bermakna dia mecela diri sendiri, عبد الطريق bermakna membatui, عبد الرجل bermakna lari, لطع أصابعه bermakna mati, لطع عينيه bermakna menempeleng (Munawwir:1984), أبدى موافقة bermakna setuju, أبدى معارضة bermakna melawan (Im & Js. 2003:1), قطب حاجبيه bermakna mukanya merah, قضى نحبه bermakna meninggal (274-275).
Contoh idiom yang tersusun dari jumlah ismiyah الأسد من القوم bermakna yang paling mulia dari suatu kaum, فــلان أسـود الكبــد bermakna fulan musuh, إنهــم عـلى وتــيرة واحــدة bermakna mereka menonton (Munawwir:1984). كأن على رأسه الطير bermakna diam/ tenang (2003:210).

SIMPULAN
Idiom bermakna تعبير يحتلق معناه عن المعنى الكلي لأجزائه atau ungkapan. Dalam bidang linguistik idiom bermakna satuan bahasa yang maknanya tidak dapat ditarik dari kaidah umum gramatikal yang berlaku dalam bahasa tersebut. Ditinjau dari kasatuan makna, idiom dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Bila ditinjau dari segi konstruksi unsur-unsurnya, idiom dapat berupa kata, frasa, dan kalimat.

DAFTAR RUJUKAN

Choer, Abdul. 1986. Kamus idiom Bahasa Indonesia. Flores Ende: Nusa Indah

Cyssco, Dhanny R. 2000. Kamus Idiom Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Dramedia.

Echols, M. Jhon dan Shadily, Hassan. 1990. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Imamuddin B. & Ishaq N. 2003. Kamus Idiom Arab - Indonesia Pola Aktif. Depok: Ulinuha Press

Kridalaksana Harimurti. 1984. Kamus Linguistik Edisi kedua. Jakarta: PT Gramedia.

Luis Ma’luf. 1989. Al-Munjid fil Lughah wal A’lam. Beirut: Darul Masyriq.

Mandhur, Abil Fadli Jamaluddin Muhammad bin Mukrim. 1994. Lisanul Arab. Beirut: Darus Shadr.

Mudibyono. 1989. Suplemen Bahasa Inggris. Malang: IKIP Malang.

Pateda, Mansur. 1986. Sematik Leksikal. Flores Ende: Nusa Indah.

Tarigan HG. 1984. Pengajaran Kosa Kata. Bandung: Angkasa.

Tarigan HG. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sintaksis. Bandung: Angkasa.

الأسلوب في اللغة العربية

الأسلوب في اللغة العربية
تقديم : علي معصوم

Abstrak: Bahasa Arab mempunyai ketentuan yang mengatur para pemakainya dalam berkomunikasi. Dengan ketentuan tersebut pesan yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan, ditangkap, dan dipahami dengan baik dan benar oleh masing-masing pelaku komunikasi (penutur dan petutur). Uslub adalah salah satu kajian yang penting dalam bahasa Arab, karena uslub merupakan kajian yang membahas tata cara atau gaya yang dipakai oleh seseorang dalam mengungkapkan ide atau perasaannya kepada orang lain. Uslub dipergunakan sesuai dengan tujuan dan topik pembicaraan. Terdapat tiga kajian yang membahas penggunaan uslub yaitu: ilmu Bayan, ilmu Ma’ani dan ilmu Badi’. Percampuran antara bahasa Arab dan non Arab (‘ajam) mengharuskan terjadinya Arabisasi uslub.

Kata kunci: al-Uslub, al-Lughah al-Arabiyah

إن اللغة هي أصوات يعبر بها كل قوم عن أغراضهم، فهو يوضح الطبيعة الصوتية، للغة وظيفتها الاجتماعية وهي التعبير وإطار إجتماعي تختلف فيه إختلاف الجماعات الإنسانية، وتبين التعريفات الحديثة أنها نظام من الرموز متكامل معقد (إبن جنّى، ١٩٥٦ ׃٢٣).
واللغة ليست من الأمور التي يصنعها فرد معين أو أفراد معينون وإنما تخلقها طبيعة الاجتماع، وتنبعث عن الحياة الجمعية، وما تقضيه هذه الحياة من تعبير عن الخواطر وتبادل الأفكار، وكل فرد منا
ينشأ فيجد بين يديه نظاما لغويا يسير عليه مجتمعه، فتلقاه عنه تلقيا بطريق التعلم والمحاكاة، كما يتلقى عنه سائر النظم الاجتماعية الأخرى، ويصبّ أصواته في قوالبه، و يجتذيه في تفاهمه وتعبيره (عبد الواحد وافي، ١٩٨٣: ٦)
وبالنسبة للغة العربية، أنها لغة الإسلام والمسلمين منذ بزوغ فجر الإسلام. فإنها أقدم لغة حية في العالم لم يعترها التغيير والتبديل، فكانت طوال أربعة عشر قرنا من الزمان وعاء للحضارة الإسلامية العالمية في مشارق الأرض ومغاربها، كما أنه فوق هذا كله قد اكتسبت اللغة العربية مكانة عالمية بين اللغات المعروفة. فالعربية إذًا ليست لغة دين وحضارة فحسب، بل هي لغة إتصال عالمي كذلك. (اسماعيل صيني، ١٩٨٣: هـ)
وللغة العربية - ككونها لغة دين أوحضارة أو اتصال - مصطلحات عديدة، ومنها الجملة والتعبير والتركيب والأسلوب، وكل ذلك يرجع إلى معنى واحد عند اللغويين والمحدثين، ولكن هناك فرق بينها، خاصة عند استعمالها في وضع المعنى في كلام العرب، فالمصطلحات الثلاث الأولى - الجملة والتعبير والتركيب - تستعمل غالبا في مجال علم النحو وأما الأسلوب فكأنه مستعمل في عمود علم البلاغة. وبناء على ذلك، فهذه المقالة البسيطة تبحث فيما يتعلق بالأسلوب في العربية، من مفهومه وأنواعه وقواعده وأهمية معرفته في تعليم اللغة العربية.
أ. مفهوم الأسلوب في العربية وأنواعه.
الأسلوب لغة هو السطر من النخيل وكل طريق ممتد، والأسلوب هو طريق الوجه والمذهب، يقال " أنتم في أساليب سوء"، الأسلوب الطريق تأخذ فيه، الأسلوب بالضم: الفن، يقال "أخذ فلان في أساليب من القول" أي أفانين أو فنون منه وأن انفه لفي أسلوب إذا كان متكبرا (ابن منظر، د.س: ٤٧٣). وذكر في المنجد أن الأسلوب هو الطريق أي الفن من القول أو العمل (مألوف، ١٩٨٦ ۳٤٣:)
وأما الأسلوب اصطلاحا فهو المعنى المصوغ في ألفاظ مؤلفة على صورة تكون أقرب لنيل الغرض المقصود من الكلام وأفعل في نفوس سامعيه (الجارم، ١٩٥٧ ١٢: ). وقال شمس الدين (١٤٢١ هـ٢٩ ) أن الأسلوب هو الطريقة التي يعبر بها الإنسان عن أفكاره ومشاعره، وأداة اتصال وحامل للمعلومات، وكان اكثرهم قدرة على التأثير في نفوس سامعيه. وبعبارة أخرى أن الأسلوب هو الطريقة التي يتبعها الفرد

في التعبير عن أفكاره ومشاعره (زين العالم، د.س: ٣).
وصياغة الأسلوب الجميل فن يعتمد على الطبع والتمرس بالكلام البليغ، وتتكون من الجمل والعبارات والصور البيانية. وأنواع الأسلوب ثلاثة، وهي الأسلوب العلمي والأسلوب الأدبي والأسلوب الخطابي ( شمس الدين، ١٤٢١ هـ ٢٩: ) ، والتفاصيل لهذه الثلاثة كمايلي:
١. الأسلوب العلمي
للأسلوب العلمي عنصران أساسيان، هما: الأفكار والألفاط. وهذا الأسلوب هو أهدأ الأساليب وأكثرها حاجة إلى المنطق السليم والفكر المستقيم وأبعدها عن الخيال الشعري لأنه يخاطب العقل ويتناول الحقائق العلمية بالشرح والتوضيح من دون غموض أو ابهام ( شمس الدين، ١٤٢١هـ ٢۹:).
وأظهر ميزات هذا الأسلوب الوضوح و لابد أن يبدو فيه أثر القوة والجمل أي قوته في سطوع بيانه ورصانة حججه وجماله في سهولة عباراته وسلامة الذوق في اختيار كلماته وحسن

إقراره المعنى في الافهام من أقرب وجوه الكلام.
فيجب أن يعني فيه باختيار الألفاظ الواضحة الصريحة في معناها الخالية من الاشتراك وأن تؤلف هذه الألفاظ في سهولة وجلاء حتى تكون ثوابا شفا للمعنى المقصود وحتى لاتصبح مثارا للظنون ومجالا للتوجيه والتأويل. (الجارم، ١٩٥٧ ١٢: ).
٢. الأسلوب الأدبي
للأسلوب الأدبي ثلاثة عناصر أساسية، وهي الأفكار والألفاظ والصور. وأبرز خصائص هذا الأسلوب الجمال ويعود هذا الجمال إلى القدرة في التعبير باستعمال الخيال والدقة في التصوير ولباس المعنوي ثوب المحسوس وإظهار المحسوس في صورة المعنوي.
ومن خصائص الأسلوب الأدبي أيضا العاطفة التي تعبر عن نفسها في أشكال كثيرة فتجنج إلى الخيال ولا تقنع بالواقع المحسوس، لذلك يقول النقاد: إن الخيال وليد العاطفة وهو الذي ينتج الصور الكثيرة التي تشيع الروعة في البيان الأدبي (شمس الدين، ١٤٢١ ٣٠:).


ولذا يعرف أن للأسلوب الأدبي هدفا وهو اثارة عاطفة السامع أو القارئ والتأثير في نفسه ويمتاز باختيار الألفاظ والتأنق والمبالغة في التعبير والعناية بالصور الخيالية والحرص على موسيقي العبارة وجرس الألفاط (زين العالم، د. س.:٦٠) ومن أمثلته الشعر في وصف جمال المرأة " كأنك شمس والنساء كواكب  إذا طلعت لم يبد منهن كوكب " (زين، د.س. : ۸)
٣. الأسلوب الخطابي
هذا الأسلوب يعتمد على قوة المعاني والألفاظ والحجة والبرهان. والعقل الخصيب يتحدث الخطيب مع سامعيه يستثير عزائمهم ويستنهض هممهم ويحاول النفاظ إلى قرارة أنفسهم للوصول إلى غايته، ومما يزيد في تأثير هذا الأسلوب مكانة الخطيب وقوة حجته وسطوع برهانه ووضوح أدلته ونبرات صوته وجمال آدائه.
ومن أهم خصائص هذا الأسلوب التكرار واستعمال المترادفات وانتقاء الكلمات ذات الايحاء القوي وتعاقب ضروب التعبير من إخبار إلى استفهام او إلى تعجب او إلى استنكار، وأن

تكون مواطن الوقف فيه قوية ومؤثرة في النفس (شمس الدين، ١٤٢١هـ ٣١:)
ب. قواعد الأسلوب في العربية
وللغة العربية مصطلحات عديدة كالجملة والتعبير والتركيب والأسلوب. فالمصطلحات الثلاث الأولى تستعمل غالبا في مجال علم النحو بخلاف الآخر وهو الأسلوب فكأنه استعمل في عمود علم البلاغة بحق (حسن عباس، ١٩٨٥ ٣٩:). فبناء على أن الأسلوب استعمل في عمود علم البلاغة.
فالبلاغة هي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة فصيحة، لها في النفس أثر خلاب مع ملاءمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه والأشخاص يخاطبون. فعناصرها إذ لفظ ومعنى وتأليف للألفاظ تمنح قوة وتأثيرا وحسنا ثم دقة في اختيار الكلمات والأساليب على حسب مواطن الكلام ومواقعه وموضوعاته وحال السامعين والنزعة النفسية التي تتملكهم وتسيطر على نفوسهم. (الجارم، ١٩٥٧ ۹:)
وتسهيلا للكاتب على البحث في قواعد الأسلوب في العربية، فالبحث ينقسم إلى ثلاثة مباحث وهي: (١) المجاز والكناية والنقل واستخدام الجمل في غير أبوابها، و (٢) اختلاف استخدام الأساليب

باختلاف الموضوعات، و (٣) تعريب الأساليب. والتفاصيل لهذه الثلاثة كمايلي.
١. المجاز والكناية والنقل واستخدام الجمل في غير أبوابها
يكثر في اللغة العربية استعمال الألفاظ والتراكيب في غيرما وضعت له لأغراض بلاغية، كتوضيح المعنى والمبالغة في تقريره والإبانة عنه أو الإشارة إليه في قليل من اللفظ أو عرضه في صورة جذابة وما إلى ذلك. ويبدو هذا الاستعمال في عدة مظاهر يرجع أهمها إلى الأبواب الأربعة المدونة في عنوان هذه الفقرة، والتفصيل كما يلي.
١.١ المجاز
فيستخدم اللفظ أحيانا في غيرما وضع له لتشبيه أمر بأمر في صفة ما ويسمى هذا مجازا بالاستعارة (السكاكى، د.س: ٣٥٩). ويسمى المجاز باستعارة تصريحية إن كانت في الاسم وذكر
المشبه به، مثل " يخرجهم من الظلمات إلى النور". ويسمى باستعارة مكنية إن حذف المشبه به ورمز إليه بخاصة من خواصه، مثل " يغمر كرمه المغوزين" ويسمى باستعارة تبعية إن كانت في غير الاسم، مثل

"يلتهم العلم التهاما". (شمس الدين،١٤٢١ هـ: ٧٣ ـ ٧٠).
ويستخدم اللفظ أحيانا في غير ماوضع له لعلاقة أخرى غير المشابهة بين المعنيين كالعلاقة السببية والمسببية...وهلم جرا، ويسمى هذا مجازا مرسلا، مثل " له علي يد" أي نعمة سببها اليد، و "ينزل لكم من السماء رزقا" أي مطرا يتسبب عنه الرزق (الهاشمي، ١٩٦٠ ٦٩٦:)
ويستخدم التركيب أحيانا في غير ما وضع له لتشبيه حالة بحالة، ويسمى هذا المجاز استعارة تمثيلية مثل " رمى عصفورين بحجر واحد" قاصدا للتعبير عن تحقيقه غرضين بعمل واحد. وقد يستند الفعل إلى غير محدثه الحقيقي لغرض بلاغي، ويسمى هذا المجاز مجازا عقليا مثل " بنى الأمير المدينة " (الهاشمي،١٩٦٠ ٦٩٦:).
١٠٢ الكناية
وتطلق العبارة أحيانا ويراد بها ما يترتب على مدلولها ويلزمها، وذلك كقوله في الكناية عن الكرم مثل: " زيدكثير الرماد" أي كريم، وعن الشجاعة مثل" زيد طويل النجاد" أي شجاع عظيم، وعن تمام قدرة الله تعالى مثل قوله تعالى " والسموات مطويات بيمينه" ، وعن قوة التمكن والاستيلاء مثل قوله تعالى " الرحمن على العرش استوى" ، وعن المصريين مثل" أبناء النيل" ...وهلم جرا.
١٠٣النقل
وقد يغلب استعمال اللفظ في غيرما وضع له على طريق من الطرق السابقة حتى ينسلج عن معناه الأصلي أو يكاد، ولا ينصرف الذهن عند إطلاقه إلا إلى هذا المعنى الجديد (عبد الواحد الوافي، د.س : ٢٢٧). ويبدو النقل في العربية في عدة صور، أهمها الصور الأربع الآتية.
1. أن يغلب استعمال اللفظ في معنى على سبيل المجاز لعلاقة المشابهة أو غيرها حتى يصير المعنى المجازي هو الذي ينساق إليه الذهن عند إطلاق اللفظ. وذلك ككلمة "الفصاحة"، فان معناها الأصلي صفاء اللبن وذهاب رغوته، ثم شاع استعمالها في صفاء القول وحسن بيانه لعلاقة المشابهة بين المعنيين، حتى أصبح المعنى المجازي هو المتبادر من اللفظ عند إطلاقه.
ب. أن يغلب استعمال اللفظ الموضوع في الأصلي لمعنى كلى يتناول عدة جزئيات في جزء خاص من
هذه الجزئيات، حتى يصير هذا المعنى الجزئي هو المتبادر من اللفظ عند الإطلاق. أصلي الخسيس من كل شيء، ثم غلب استعمالها في الخسيس مما يلبس ويفرش، حتوذلك ككلمة "الرث" ، فإن معناها الى أصبح هذا المعنى هو الذي ينساق إليه اللفظ عند إطلاقه.
ج. أن يغلب استعمال اللفظ الدال على معنى خاص في مدلول عام على طريق التوسع، حتى يصير هذا المعنى العام هو المتبادر من اللفظ عند إطلاقه. وذلك ككلمة : " البأس" فان معناها الأصلي الحرب، ثم غلب استعمالها في كل شدة، ثم أصبح هذا المعنى العام هو المتبادر إلى الذهن.

د. أن ينقل اللفظ نقلا مقصودا من معناه الأصلي اللغوي إلى معنى إصطلاحي علمي أو مدني لعلاقة ما بين المعنيين، فلا يتجه الذهن عند استخدامه في هذه الشئون الإصطلاحية إلى غير معناه الحديث. وذلك ككلمات" الصلاة والصوم والزكاة والحج" عند الفقهاء، و" الفاعل والمفعول والظرف والحال والتمييز " عند النحويين، ...وهلم جرا.

١٠٤ استخدام الجمل في غير أبوابها
وكثيرا ما تتحول الجمل عن أبوابها الأصلية لأغراض بلاغية، ومنها ما يلى.
1.استخدام الجمل الخبرية في أمور أخرى غير الأخبار كالاسترحام والاستعطاف مثل " إني فقير إلى عفو ربي" أو التحذير مثل " أبغض الحلال إلى الله الطلاق" أو الفخر مثل " إن الله اصطفاني من قريش" أو المدح مثل " فإنك شمس والملوك كواكب إذا طلعت لم يبد منهن كوكب " ...وهلم جرا. (الهاشمي،١٩٦٠ ٥٥-٥٤:)
2.إستخدام جمل الأمر في غير معناها الأصلي، كالدعاء مثل "رب أوزعني أن أشكر نعمتك" ، او التهديد مثل " اعملوا ماشئتم إنه بما تعملون بصير"، أو التعجيز مثل " فأتوا بسورة من مثله" ، أو الإكرام مثل" أدخلوها بسلام أمنين"...وغير ذلك. (عتيق،١٩٨٥ ۷٥:)
ج. استخدام جمل النهي في غير معناها الأصلى، كالدعاء مثل "ربنا لاتؤاخذنا إن نسينا او أخطأنا"، أو الإرشاد مثل " لاتسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم"، أو التهديد مثل "لاتطع أمري"، أو الكراهة مثل "لا تلتفت وأنت في الصلاة"... وهلم جرا (الهاشمي، ١٩٦٠ ٨٤-٨٦:)
د. استخدام جمل الاستفهام في غير معناها الأصلى، كالأمر مثل " فهل أنت منتهون"، أو النفي مثل " هل جزاء الإحسان إلا الإحسان"، أو الوعيد مثل "الم تر كيف فعل ربك بعاد" ، أو النهي مثل " أتخشونهم فالله أحق أن تخشوه"،...وغير ذلك (الهاشمي،١٩٦٠ ٩٥-٩٣:)
هـ. استخدام جمل النداء في غير معناها الأصلي، كالاستغاثة مثل "يا الله للمؤمنين"، او التحسر مثل "يا ليتني كنت ترابا"...وهلم جرا ( الهاشمي،١٩٦٠ ١٠٧-١٠٦: )
وخلاصة القول أن للأبواب السابقة جميعها فضلا كبيرا في سمو الأساليب العربية وشدة تأثيرها في النفوس وقوة بلاغتها وحسن بيانها ومرونة تعبيرها ومطابقتها لمقتضيات الأحوال، وما وصلت إليه من مكانة منقطعة النظير في ميادين الشعر والخطابة والنثر والفن ومختلف فروع الآداب الأخرى.

٢. اختلاف استخدام الأساليب باختلاف الموضوعات
تسير أساليب اللغة العربية وفقا لقواعد كثيرة يرجع أهمها إلى ثلاثة طوائف. (عبد الواحد الوافي، د.س: ٢٣٤). وهذه الثلاثة لهي:
1.القواعد المتعلقة باستخدام المفردات والتراكيب في معانيها الأصلية والخروج بها عن هذه المعاني، وهي القواعد التي يسير عليها الأسلوب العربي بصدد الحقيقة والتشبيه والمجاز والكناية والنقل وما إلى ذلك. ولشرح هذه النواحى ومواطن استخدام كل منها أنشئ علم خاص وهو علم البيان.
ب. القواعد المتعلقة بمطابقة الكلام لمقتضيات الأحوال، وهي القواعد التي يسير عليها الأسلوب العربي بصدد توكيد الكلام وإطلاقه والإطناب في القول والإيجاز فيه ومساوته لما يراد التعبير عنه وطرق استخدام الجمل الخبرية والإنشائية وغير ذلك. ولشرح هذه القواعد وأسباب تحقيقها لبلاغة الكلام ومطابقته لمقتضى الحال أنشئ علم خاص وهو علم المعاني.
ج. القواعد المتعلقة بما تتضمنه العبارات العربية أحيانا من محسنات لفظية ومعنوية لا تتصل باستخدام الألفاظ والجمل فيما وضعت له وفي غير ماوضعت له ولا تتوقف عليها مطابقة الكلام لمقتضى الحال. ولشرح هذه القواعد ومواطن استخدامها ووجوه تجميلها للعبارة أنشىء علم خاص وهو علم البديع.
وتختلف الأساليب العربية تبعا لاختلاف فنون القول وما يمتاز به كل فن ومنها: الشعر و النثر والرسائل والخطابة والقصة وغير ذلك. وذلك، لأن كل فن من هذه الفنون يختلف عما عداه في طبيعته وموضوعاته وأغراضه البيانية وحطته في الاستدلال غير ذلك. وغنى عن البيان أن الإختلاف في هذه الأمور وما إليها يؤدي حتما إلى إختلاف كل فن من هذه الفنون عماعداه في أساليبه.
ومن أهم هذه الفنون ما يسمونه فنون الأدب.فأهم ما يقام له وزن في هذه الفنون هو جمال القول ورقة الأسلوب وحسن البيان وبلاغة التعبير.و يتقسم عبد الواحد الوافي (د.س: ٢٣٥)هذه الفنون إلى أقسام كثيرة وأهمها الشعر وملتحقاته والنثر الفني والرسائل والخطابة والقصة ويختلف كل فن من هذه الفنون عن إخوته في مجالات قد سبق ذكرها.
وأهم ما يمتاز به الشعر عن إخوته أنه يتجه أولا بالذات إلى مخاطبة الواجدان والعواطف لا الإدراك والتفكير وأن غرضه الأساسي هو الإيحاء بالحقائق والاحساسات لشرح المسائل وتقريبها إلى الأذهان، ولذلك يسيطر على أساليبه الخيال.
هذا، ومما تقدم في الفقرة السابقة يتبين مبلغ انتفاع الأساليب العربية بالخيال ومدى استخدامه في مختلف الموضوعات وأثره في دلالة الألفاظ. وأما مادة هذا الخيال أي المعين الذي تقتبس منه عناصره، فقد اختلفت باختلاف البيئات والأمم والعصور، فتأثرت في كل بيئة بمقوماتها الطبيعية والاجتماعية، وفي كل أمة بنظمها الخاصة وأساليب حياتها ومما وصلت إليه في سلم الإرتقاء المادي والمعنوي.
٣. تعريب الأساليب
لم يقتصر أثر احتكاك اللغة العربية باللغات الأجنبية على انتقال مفردات اجنبية إليها فحسب، بل كان من نتائجه كذلك أن انتقل إليها بعض أساليب أجنبية . ودخول الأساليب الأجنبية في اللغة العربية قديم يتصل بالعهد الجاهلي.
ولكن هذا النوع من التعريب على قدمه لم ينشط إلا في العهد الإسلامي منذ حمل راية الكتابة فيه عبد الحميد الكاتب. ثم تكاثر ونما في العصر العباسي على يد ابن المقفع ومن تابعه من الكتاب حتى كانت نهضتنا الحديثة فرجح ميزانه وطغي طوفانه.
ومعظم الأساليب الأجنبية التي دخلت إلى اللغة العربية في الجاهلية وصدر الإسلام وعصري بني أمية وبني العباس من اللغة الفارسية، وأما الأساليب التي تجري على أقلام كتاب العرب في العصور الحاضرة فقد انتقل معظمها من اللغات الأوروبية الحديثة كالفرنسية والإنجليزية (عبد الواحد الوافي، د.س: ٢٣٨)
ويأتي تعريب الأساليب على الأنماط الآتية:
أ. قد يقع التوارد بين اللغة العربية وغيرها في الأساليب. فللعرب طائفة من الأساليب العربية الأصلية يرى مثلها في كلام الأعاجم، وتكون هناك قرائن تدل على عدم تواطؤ وعلاقة بينها. وفي هذه الحالة ليس هناك التأثر من واحدة لأخرى ولا توجد عملية التعريب لأن للعرب أساليب أصلية مستخدمة. والمثال كالأسلوب المستعمل في التنوية بالحب القديم، كان العرب
يقولون " ما الحب إلا للحبيب الأول". والافرنج يقولون "L’homme revient toujours a ses "، وكذلك الأسلوب المستعمل في شدة طلب الانتباه، كان العرب يقولون" إفتح أذنيك" والافرنج يقولون" Ouvrez les oreilles"
2.تسرب إلى اللغة العربية في العهد الأخير بعض أساليب أعجمية، كان الظاهر من حالها أنها لايعرفها العرب ولكن قد يدعى مدع عروبتها وراجعها إلى عرق في الأساليب العربية. والمثال كالاسلوب المستعمل للأفرانج "Marlglre, en dềpit"، ويترجمه العرب ب " سافرت برغم المطر" أو " سافرت بالرغم من المطر" فقبل أن يترجم مترجمو العرب هذا الأسلوب الفرنسي باستعمال " رغم"، كان " رغم" في الأصل قد استعمل في فصيح الكلام العربي مع الأشخاص لا غير كمثل" فعلت كذا على الرغم من فلان"، ولكن بعد احتكاك اللغة العربية باللغة الأجنبية خاصة اللغة الفرنسية، صار " رغم" استعمله العرب مع الأشخاص ومع غيرها.



ج. تسرب إلى اللغة العربية أساليب لانزاع لها في عجمتها، إذ لاتوجد لها نظائر في الأساليب
العربية الفصيحة. وفي هذه الحالة كان العرب يترجم تلك الأساليب على مرور سننهم وذوقهم اللغوي باستعمال المجاز أو الكناية وما إلى ذلك. والمثال كالأسلوب المستعمل للافرنج، " Jover evec le feu" فيترجمه العرب ب " فلان يلعب بالنار" وكذلك قول الإفرنج" Donner sa voix" فيترجمه العرب ب " أعطاه صوته في الانتخابات".
د. ومن الواقع في العصر الحاضر أن من الكتاب والمؤلفين ومحرري الصحف من لم تستحكم مهارتهم في اللغة العربية تؤدي بهم ترجمة الأساليب العجمية أو محاكاتها إلى الخروج عما يسير عليه الأسلوب العربي، فيأتون بعبارات مفككة ركيكة عربية المفردات ولكنها أعجمية التراكيب والنظم لاتكاد تبين عن المعاني التي يقصدونها. فهذا الوجه من التعريب، هو الذي ينبغي للعرب و لمحبي العربية أن يبذلوا جهدهم على التجنب عنه. ويعلموا على القضاء عليه.



ج. أهمية معرفة الأسلوب العربي في تعليم اللغة العربية
إن للغة العربية أساليب خاصة وهي الأساليب البلاغية واختلفت هذه الأساليب باختلاف الموضوعات. ومعرفة هذه الأساليب حق المعرفة لها أهميتها للمعلم والمتعلم في مجال عملية تعليم اللغة العربية.
والأهمية للمعلم هي تزويده بأساليب كثيرة متنوعة لتسهيله في الوصول إلى نيل الغرض المقصود في عملية التعليم الا وهو نقل المعلومات والمعارف إلى المتعلم على قدر عقله. وأما الأهمية لدى المتعلم فهي توفيره بأساليب عربية متنوعة ومعرفة استخدامها حسب موضوعاتها المناسبة حتى تساعده في فهم المعلومات والمعارف من المعلم فهما جيدا وسليما. والغرض الأقصى من معرفة الأسلوب العربي في عملية تعليم اللغة هو أن تسير تلك العملية سيرا جيدا حتى تصل إلى الغرض المقصود.





الخلاصة
إن للغة العربية أساليب خاصة وهي الأساليب البلاغية. واختلفت الأساليب العربية تبعا لاختلاف فنون القول والموضوعات، وذلك كالفن الشعري (الأدبي) الذي يمتاز بأسلوبه الخيالي والذي يختلف من الفن العلمي الذي يمتاز اسلوبه بوضوح الكلام وسهولة العبارة وبعيدة عن الخيال الشعري.
وبناء على اختلاف استخدام الأساليب العربية تبعا لاختلاف فنون القول والموضوعات فأنشئت العلوم الثلاث وهي علم البيان وعلم المعاني وعلم البديع. وتشتمل هذه الثلاث على قواعد كثيرة للأساليب العربية كالتشبيه والمجاز والكناية والنقل والإطناب والإيجاز والمساوة ومحسنات لفظية ام معنوية وغير ذلك.
وبعد احتكاك اللغة العربية باللغات الأجنبية لم يقتصر أثره على انتقال مفردات أجنبية إليها فحسب بل كذلك انتقل إليها بعض أساليب أجنبية. لذا، فمعرفة طرق تعريب الأساليب الصحيحة لها أهميتها في حفظ اللغة العربية.
ومعرفة الأساليب العربية حق المعرفة لها أهميتها للمعلم والمتعلم في مجال عملية تعليم اللغة العربية. لذا، فينبغي لكل واحد منهما أن يتعمق أنواع تلك الأساليب لكي تكون عملية التعليم تسير سيرا جيدا حتى تصل إلى الغرض المرجو.
قائمة المراجع
ابن جنى.١٩٥٦م. الخصائص. بيروت: دار الكتب
ابن منظر، محمد ابن مكرم. د.س. لسان العرب. بيروت: دار صادر.
اسماعيل صينى، محمود.١٩٨٣م. العربية للناشئين. المملكة العربية السعودية: اداراة الكتب المدرسية.
الجارم، على. ١٩٥٧م. البلاغة الواضحة. قاهرة: دار المعارف.
السكاكي. د. س. مفتاح العلوم. بيروت: دار الكتب العلمية.
الهاشمي، أحمد. ١٩٦٠م. جواهر البلاغة في المعاني والبيان والبديع. اندونيسيا: دار احياء الكتب العربية
حسن عباس، فضل. ١٩٨٥م. البلاغة فنونها وأفنانها. الجامعة الأردونية: دار الفرقان
زين، مكرم. د. س. ولهانية الأشعار. إندونسيا: مكتبة نور الجديد.
زين العالم، محمد غفران. د.س. البلاغة في علم البيان. اندونيسيا: مكتبة والي صاعا


شمس الدين، ابراهيم. ١٤٢١هـ. مرجع الطلاب في الإنشاء. بيروت: دار الكتب العلمية
عتيق، عبد العزيز.٥ ١٩٨م.علم المعاني. بيروت: دار النهضة العربية.
عبد الواحد الوافي، على. ۱۹۸۳م. اللغة والمجتمع. جدة: مكتبة عكاظا.
عبد الواحد الوافي، علي. د.س. فقه اللغة. القاهرة: دار نهضة مصر.
مألوف، لويس. ١٩٨٦م. المنجد في اللغة والأعلام. بيروت: دار المنشورات.

Senin, 09 November 2009

BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF GENDER

BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF GENDER
(Upaya Mendudukkan Bahasa Arab Sebagai Produk Budaya dalam Studi Islam)
Moh. Roqib 

ملخص: اللغة العربية وليدة الحضارة العربية. ومسيرة هذه الحضارة كان ومازال يسودها النظام الأبوي. وهذا النظام الأبوي من نظر علم الاجتماع يؤدي إلى التحيز الجنسي في جميع مجالات الحياة. واللغة العربية باعتبارها وليدة الحضارة العربية الأبوية لتتأثر أنظمتها بها. ومن ثم إن هذا التحيز الجنسي الاجتماعي يؤدي إلى التحيز الجنسي في أنظمة اللغة العربية.

الكلمات الرئيسئة: الحضارة العربية، النظام الأبوي، اللغة العربية، التحيز الجنسي


Tulisan ini merupakan bagian awal dari perbincangan terkait dengan bahasa agama yang merupakan bagian dari produk manusia yang profan dan tidak perlu berlebihan dalam mengkultuskannya menjadi bagian dari ajaran agama yang profan. Dalam perspektif sosiologis, tulisan ini akan mengemukakan data-data historis dengan serba singkat terkait dengan bahasa Arab yang selama ini menjadi pusat kajian setiap Muslim. Pada tulisan berikutnya data-data historis, khususnya yang terkait dengan bahasa Arab, akan diberikan porsi pembahasan yang lebih memadai. Perbincangan ini lebih tepat sebagai pembuka perbincangan selanjutnya yang lebih fokus pada studi keislaman..
Pembahasan ini menarik karena bahasa agama seringkali dijadikan standar ajaran termasuk yang terkait dengan status sosial dan relasi jender. Bias-bias jender kemudian diklaim sebagai ajaran agama karena ditemukan dalam bahasa agama. Banyak hal ditemukan dalam fenomena sosial yang historis tetapi ditarik pada wilayah religius dan normatif sehingga hal-hal yang bersifat sosial dan merupakan produk budaya pada saat itu dirubah menjadi bagian dari dasar ajaran yang mempengaruhi pemikiran dan keberagamaan seseorang atau masyarakat.

FUNGSI SOSIAL BAHASA
Bahasa merupakan sistem aturan yang disepakati tentang rumus-rumus suara atau pernyataan yang digunakan untuk alat transfer pemikiran / pemahaman dan perasaan di antara sesama anggota masyarakat (Al-Khuly, 1982: 15). Bahasa memiliki peran sosial sebagai alat bagi anggota masyarakat untuk menjalankan relasi sosialnya baik pemikiran, perasaan maupun sentuhan seni. Dalam pernyataan yang ditimbulkan oleh bahasa terdapat perbedaan-perbedaan yang mengharuskannya mengalami perbedaan arti. Setiap kata memiliki arti. Kata yang diucapkan kedua setelah yang pertama walaupun redaksinya sama, akan memiliki arti yang berbeda. Apabila kata yang diulang memiliki arti yang sama maka kata yang diulang itu tidak memiliki arti dan hal demikian tidak akan dilakukan oleh orang yang memiliki nalar kebijakan (Al-‘Askary, 1979: 13-15).
Setiap bahasa memiliki fungsi. Ilmu yang mengkaji tentang fungsi bahasa dalam konteks sosial adalah sosiolinguistik (Soeharso, 1993: 463). Sosiolinguistik mempelajari ciri dan fungsi pelbagai bahasa serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1993: 4), dengan demikian mengkaji bahasa berarti memperhitungkan bahasa dengan masyarakat penutur bahasa itu (Rahardi, 2001: 13). Untuk itu harus dilakukan analisa bahasa yang mengkaji berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat berdasarkan status, fungsi prilaku yang berlaku di masyarakat terhadap bahasa (Choir, 1994: 71).
Tingkah laku manusia yang berkembang dari tingkat wacana sampai tingkat aksi, berujung pada peradaban yang diikuti oleh perkembangan bahasa. Hingga saat ini di dunia terdapat beribu-ribu macam bahasa (Tarigan, 1985: 2). Peradaban manusia selalu berkembang atau bergeser sesuai dengan perkembangan pola fikir manusia. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa bahasa adalah bagian dari peradaban manusia, semakin maju peradaban manusia akan semakin baik pula bahasanya. Hal ini terkait dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, alat berfikir dan alat pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, manusia dituntut berbahasa secara komunikatif agar mampu menerjemahkan informasi yang berkembang dan berubah. Dengan demikian bahasa juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi masyarakat itu sendiri karena ia berfungsi sebagai alat sosialisasi apa pun yang ada di masyarakat (Keraf, 1997: 130).
Bahasa memiliki fungsi dasar sebagai alat komunikasi antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, atau masyarakat dengan bangsa lain (Yusuf dan Anwar, 1995: 187). Secara kronologis fungsi bahasa adalah untuk menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi, alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan sebagai alat untuk kontrol sosial. Sebagai alat untuk mengungkap pikiran dan rasa seseorang bahasa dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitar penutur bahasa tersebut seperti pendengar, topik pembicaraan, kode yang digunakan, lokasi kejadian, dan amanat atau pesan pembicaraan (Chaer dan Agustina, 1995: 18).
Dengan demikian fungsi bahasa secara rinci adalah (1) sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini Roqib (1993: 17) menjabarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sebagai berikut (a) sebagai media peribadatan yang dilakukan secara bersama-sama seperti salat jamaah dan do’a (istighatsah), (b) untuk bermunajat (memohon) dan membaca sendiri (untuk diri sendiri) dengan nada tinggi, (c) untuk dialog-dialog sosial misalnya memberikan penghargaan, penghormatan, dan sopan santun pada orang lain pada upacara-upacara, (d) untuk menyembunyikan pemikiran pembicara dari realitas yang sebenarnya misalnya karena ia seorang politisi atau diplomat, (e) bahasa juga membantu seseorang untuk berfikir, karena tanpa bahasa seseorang tidak akan mampu berfikir. (2) Bahasa menciptakan sikap nasionalisme dan kesatuan bangsa. (3) Secara psikis bahasa merupakan media ekspresi rasa sebagai ungkapan rasa sedih, menangis, atau tertawa. (4) Dari sisi seni (suara) bahasa berfungsi sebagai pengisi waktu luang seperti untuk anak-anak atau orang dewasa dengan merasakan suara yang merdu dan indah dalam bentuk lagu-lagu.
Bahasa Arab, sebagaimana bahasa yang lain, memiliki fungsi sebagai alat komunikasi, transfer, dan pernyataan seseorang baik secara lisan maupun secara tertulis. Sesuatu yang ditransfer bisa berupa pemikiran, pengertian, perilaku, dan kesenangan, atau secara global yang ditransfer adalah pemikiran (Ya’qub, 1982: 22). Dengan demikian proses pengajaran bahasa bagi orang asing adalah pemahaman terhadap kebiasaan yang terkait dengan pemakai bahasa tersebut dengan cara malakukan pelatihan secara intensif (Abanamy dan Al-Muni’, tanpa tahun: 1).

BAHASA PRODUK PERADABAN
Sebagaimana produk peradaban yang lain, bahasa terkait dengan budaya yang berkembang di masyarakat di mana bahasa itu tumbuh dan berkembang. Sebagaimana disebutkan di depan bahwa dalam konteks sosial secara keilmuan bahasa sangat terkait dengan kehidupan sosial karenanya tumbuh ilmu sosiolinguistik yang mengkaji faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial, bagaimana konfensi pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku-sosial, apakah ada korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa (Chair dan Agustina, 1995: 5-6). Dengan sosiolinguistik perubahan bahasa dapat dipahami dengan mempelajari dorongan-dorongan sosial yang memacu bentuk-bentuk yang bervariasi di tengah lingkungan yang beraneka ragam (Ohoiwutun, 1997: 9).
Menarik apa yang dinyatakan oleh Chaer dan Agustina (1995: 47), bahwa perkembangan bahasa banyak bergantung pada penutur atau pengguna bahasa itu sendiri, baik variasi maupun struktur bahasa yang sudah ada. Masyarakat penutur bahasa adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai verbal repertoir yang sama, mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Verbal repertoir (semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur) diperoleh oleh penuturnya secara beragam dari pengalaman atau interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Hal itu mungkin diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya interaksi simbolik seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa atau daerah (Chaer dan Agustina, 1995: 48) yang dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan lahjah.
Terkait dengan relasi gender, bahasa mengalami proses yang panjang. Sebelum industri menjadi nyawa zaman, di seluruh muka bumi ini laki-laki dan perempuan hidup secara sangat terbedakan, mengalami diferensiasi tinggi, atau tergenderkan. Tugas dan alat masuk ke kawasan khas perempuan berbeda dari tugas dan alat di wilayah laki-laki. Ragam tuturan dan bahasa tubuh mereka berlainan ( Ivan Illich, 1998: viii) dan begitulah bahasa tersebut berkembang.
BAHASA ARAB SEBAGAI BUDAYA ARAB
Ibarat udara yang selalu kita hirup setiap hari, demikian pendapat dari Hidayat (1996: 3-4), bahasa juga bisa terkena polusi yang pada urutannya akan mendatangkan polusi dan penyakit pada sistem berfikir baik pada level individual maupun sosial. Bahasa pada sekali waktu dipahami sebagai alat (tool) dalam pengertian bahasa digunakan untuk berbuat sesuatu. Mengingat bahasa dan manusia tidak dapat dipisahkan, maka sesungguhnya kualitas dan gaya bahasa seseorang merupakan indikator kualitas kepribadiannya serta kultur dari mana ia dibesarkan. Bahasa adalah cermin jiwa.
Kebenaran dan kesucian bahasa Kitab Suci secara empiris bersifat relasional. Artinya apa yang dianggap suci dan meaningfull bagi sekelompok umat beragama tidak bisa secara serta merta diberlakukan bagi kelompok yang lain (Hidayat, 1996: 8). Bahasa agama juga menggunakan bahasa yang berkembang di mana agama tersebut diturunkan, dengan demikian tidak lepas dari proses sosial yang melingkupinya. Bahasa agama yang telah terbakukan dalam bahasa kitab suci juga akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan peradaban dan pola fikir masyarakat pemeluknya.
Bahasa, termasuk bahasa agama (dan bahasa Arab) adalah pandu realitas sosial. Bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran seseorang tentang masalah dan proses sosial. Pandangan seseorang tentang dunia dibentuk oleh bahasa; dan karena bahasa berbeda pandangan seseorang tentang dunia pun berbeda. (Rakhmat, 1994: 275-276). Kata tidak bermakna oranglah yang memberi makna. Ketika orang mendapatkan makna baru tetapi belum ditemukan kosa kata baru maka kreatifitas manusia akan menelurkan kosa kata yang sesuai dengan tradisi dan perkembangan yang ada. Hal yang sama juga terjadi pada bahasa agama (Arab bagi orang Islam).
Perkembangan Islam dan akulturasi budaya Arab karena bersentuhan dengan budaya asing (ajam), telah memotivasi sebagian ahli bahasa untuk membuat standar dan analog-analog kata dan pernyataan yang fasih sebagaimana sebelum terjadi proses akulturasi budaya tersebut. Abu al-Aswad al-Du’aly melakukan kerja mulia tersebut atas perintah dari khalifah terakhir Ali ibn Abi Thalib. Keterkaitan Arab dengan negara raksasa waktu itu, Parsi dan Romawi lewat perkawinan, perdagangan, pendidikan dan lainnya telah mempengaruhi model bacaan dan menimbulkan beberapa kesalahan (arti sebagaimana yang selama ini dipahami) yang cukup meresahkan karena merubah i’rab (bacaan akhir kata) sekaligus merubah arti (Al-Hasyimi, tanpa tahun: 61). Kondisi seperti ini, terkait dengan bahasa Arab sebagai bahasa agama diyakini sangat membahayakan karena terkait dengan ajaran agama terutama tentang hukum halal-haram.
Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa bahasa merupakan media untuk mengekspresikan fikiran dan perasaan penutur bahasa, lebih dari itu bahasa juga dapat menjadi ukuran (standar) pengetahuan masyarakat karena bahasa merupakan rumus atau tanda terhadap sesuatu yang mereka ketahui, bahasa juga media petunjuk perkembangan dan ketinggian peradaban suatu masyarakat (Shalih, 1962: 20). Karenanya bahasa Arab yang telah bersentuhan dengan budaya asing (ajam /non-Arab) mengalami perkembangan termasuk proses ta’rib (pengaraban). Bagi sebagian masyarakat tertentu segala sesuatu asal ditulis dengan bahasa Arab diklaim sebagai bagian dari ajaran agama karena bahasa Arab merupakan media kumunikasi dan bahasa Alquran dan al-Hadis dalam Islam.
Secara sosiologis, orang-orang di jaman Jahiliah (yakni jaman pra-Islam) merupakan masyarakat yang sangat tidak mengharapkan kelahiran anak perempuan. Memang ada beberapa pengecualian, hanya saja masyarakat secara keseluruhan memandang kelahiran seorang anak perempuan sebagai kabar buruk (Qs. 16: 58-59). Disebabkan kehinaan yang mereka terima karena lahirnya anak perempuan, orang-orang Arab pra-Islam itu melakukan praktik yang lazim berlaku (di kalangan mereka), yakni menguburkan bayi perempuan hidup-hidup, mereka juga melecehkan anak-anak perempuan dengan menisbatkannya pada Malaikat-malaikat. Dominasi peran laki-laki mungkin karena kekuatan fisik, dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan yang dikenakan fungsi reproduksi atas kaum perempuan (Hathout, 1996: 24-25). Bahasa Arab dikembangkan pada awalnya, dalam perspektif jender, saat kondisi sebagian masyarakat Arab melakukan kebencian yang luar biasa terhadap perempuan. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan, bahasa sangat terkait dengan kehidupan sosialnya.
Kondisi bias gender tersebut terus berkembang, hanya terhenti pada jaman Nabi Saw. dan al-Khulaf’ al-Rasyidun, kemudian sejak abad kesepuluh / keenam belas, jumlah dan proporsi perempuan dalam koleksi-koleksi biografis merosot drastis. Selain itu proporsi perempuan yang sedikit lebih besar dalam beberapa kamus periode ini mencakup perempuan-perempuan yang hidup pada abad-abad sebelumnya. Keberadaan seri koleksi biografis seratus tahun untuk abad-abad kesebelas/ketujuh belas, kedua belas/kedelapan belas, dan ketiga belas / kesembilan belas, memperkuat pandangan bahwa perempuan secara sistematis disingkirkan dari literatur biografi pada abad-abad sebelum modern (Roded, 1995: 229).
Proporsi besar perempuan-perempuan berilmu dan ahli hadis dalam kamus-kamus biografis klasik, juga pengaruh kuat studi hadis terhadap ulama, menurut Roded (1995: 229) karena peningkatan birokratisasi karir di bidang ilmu pengetahuan pada periode Usmaniah dan karena formalisasi tasawuf menjadi tarikat-tarikat peran-peran perempuan tersebut merosot tajam.
Pada jaman Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidun menurut Mernissi (1999: 151), perempuan memiliki peranan besar. Mereka berargumen sebagai sahabat-sahabat Nabi dan mengundang yang lain untuk berpartisipasi. Bukti paling kuat bahwa Allah dan Nabi menetapkan Islam sebagai penganjur kesetaraan pada abad ke-7 adalah bahwa, pada saat itu, kaum perempuan dapat meraih kedudukan tertinggi yaitu kedudukan sebagai sahabat. Ada peran penting bagi perempuan karenanya harus diberdayakan sebab ada logika yang mendasari yaitu jika seseorang mendidik seorang laki-laki berarti ia hanya mendidik seorang person, tapi bila ia mendidik seorang perempuan berarti ia telah mendidik seluruh keluarga, demikian kata presiden Tanzania Nyerere yang dikutip dalam sampul buku Tiada Jalan Pintas: Panduan untuk Pendamping Kelompok Perempuan. Akan tetapi, setelah beberapa dasawarsa kemudian setelah lewat masa pemerintahan khalifah pertama dengan naiknya Dinasti Umayyah ke panggung kekuasaan, para perempuan dari kalangan bangsa Arab mengambil alih. Pada masa awal sampai masa keemasan Islam, sebagai telah digambarkan di atas, bahasa Arab tumbuh dan berkembang sampai pada apa yang dikenal sekarang ini.

BUDAYA PATRIALKAN DALAM BAHASA ARAB
Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam atau yang dikenal dengan jaman Jahiliah, kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah dan buruk. Kaum perempuan saat itu dianggap tidak lebih berharga dari pada komoditi, perempuan diperlakukan seperti harta benda, misalnya yang menonjol adalah bahwa jika seorang suami meninggal dunia, saudara tuanya atau yang lain mendapat warisan untuk memiliki jandanya. Penguburan bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik kekerasan (violence) yang merupakan implikasi dari ideologi yang merendahkan kaum perempuan, yang menyebar ke dunia Arab pra-Islam.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa dalam konteks sosial secara keilmuan bahasa sangat terkait dengan kehidupan sosial karena tumbuh ilmu sosiolinguistik yang mengkaji faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial, bagaimana konfensi pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah-laku sosial, apakah ada korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa. Dengan Sosiolinguistik, perubahan bahasa dapat dipahami dengan mempelajari dorongan-dorongan sosial yang memacu bentuk-bentuk yang bervariasi di tengah lingkungan yang beraneka ragam
Secara sosiolinguistik budaya patrialkal juga sangat berpengaruh dalam perkembangan bahasa karena terkait dengan lima hal yaitu (1) who speak, siapa yang berbicara, terkait dengan bahasa Arab berarti orang-orang Arab beserta budaya yang melingkupinya, (2) what language, dengan menggunakan bahasa apa, dalam hal ini adalah bahasa Arab, (3) to whom (dengan siapa ia berbicara) dengan masyarakat Arab, (4) when, kapan terjadi peristiwa itu? pada saat bahasa Arab tersebut berkembang yaitu pada masa Jahiliyah dan awal Islam, dan (5) to what end, sampai kapan peristiwa itu berakhir, yaitu sampai bahasa Arab mencapai kemapanan yaitu saat puncak peradaban Islam teraih.
Puncak peradaban bangsa Arab pada saat itu benar-benar patriakhis dengan menempatkan laki-laki sebagai pusat peradaban. Peran-peran perempuan semakin minim walaupun pada awal Islam sangat mendapatkan apresiatif tinggi dan perempuan menemukan kehormatannya yang hakiki. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah peradaban bangsa Arab budaya patrialkhal kembali berkembang bersamaan dengan perkembangan bahasa Arab, sehingga bias-bias gender otomatis ditemukan juga dalam bahasa Arab.
Dengan demikian perkembangan bahasa banyak bergantung pada penutur atau pengguna bahasa itu sendiri, baik variasi maupun struktur bahasa yang sudah ada. Masyarakat penutur bahasa adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai verbal repertoir yang sama, mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Verbal repertoir (semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur) diperoleh oleh penuturnya secara beragam dari pengalaman atau interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Hal itu mungkin diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya interaksi simbolik seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa atau daerah.
Bentuk maskulin dan feminine baik yang digunakan dengan maksud untuk membedakan maupun bermakna umum merupakan bagian penting. Perspektif mengenai jenis kelamin, terutama pemahaman mengenai apa yang termasuk tabiat feminin dan maskulin serta peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, didasarkan pada konteks kultural seseorang. Bahasa yang memiliki gender (jenis kelamin) seperti bahasa Arab, melahirkan “prior text” tertentu bagi orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Inggris, Indonesia, dan bahasa lainnya tidak akan serupa ‘prior text’-nya dengan bahasa Arab. Perbedaan ini menjadi nyata ketika menafsirkan ayat dan kesimpulan yang ditarik dari ayat-ayat yang berhubungan dengan jenis kelamin (Muhsin, 1992: 9). Hal yang lebih detail terkait dengan ayat dan data sejarah bisa dibaca dalam bagian ke-2 buku Pendidikan Perempuan (Roqib: 2003). Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana aspek sosiologis sangat mempengaruhi terhadap perkembangan bahasa.

PENUTUP
Sebagai produk, peradaban bahasa --termasuk bahasa agama-- bersifat manusiawi yang qabilun li al-taghyir wa al-niqash, karenanya bisa diteliti dan dikritisi. Mentaqdiskan bahasa, jika salah kaprah dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan, paling tidak syirik khofi. Terkait dengan studi gender bahasa Arab sebagai bahasa agama cukup potensial mengalami bias-bias gender.
Dalam konteks kajian keislaman, mengkritisi bahasa yang tidak lepas dari aspek sosio-kultural, adalah kewajiban awal bagi muslim untuk menuju maqashid al-syariah yang dikehendaki Tuhan. Selain itu juga sebagai upaya mencari metode yang tepat guna menerapkan teks (Alquran dan al-Sunnah) yang berbahasa Arab tersebut dalam konteks sosial masa kini dan di sini. Metode yang oleh Kutowijoyo (2001) disebut dengan Strukturalisme transendental. Pemahaman terhadap latar belakang sosio-historis kebahasaaraban merupakan upaya untuk menggabungkan strukturalisme dengan aspek kesejarahan Arab lima belas abad silam yang merupakan masyarakat pra–industrial dan masyarakat kesukuan (tribal society).


DAFTAR RUJUKAN


Abanamy, Abdul Muhsin dan Muni’ Al-Muni’, Muni’. Tanpa tahun. Mudzakkirah fi Thuruq Tadris al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Natiqin biha. Indunisia: Ma’had al-Islamiyah wa al-‘Arabiyah.

Al-Asykari, Abu Hilal. 1979. Al-Furuq fi al-Lughah. Bairut: Dar al-Fikr.

Al-Hasyimi, Sayid Ahmad. Tanpa tahun. Al-Qawa’id al-Asasiyah li al-Lughah al-‘Arabiyah. Jakarta: Dinamika.

Al-Khuly, Muhammad Ali. 1982. Asalib Tadris al-Lughah al-Arabiyah. Riyadl: Mathabi’ al-Farazdaq wa al-Tijarah al-Mamlakah al-Sa’udiyah.

Chair, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hathout, Hassan. 1996. Revolusi Seksual Perempuan: Obstetri dan Ginekologi dalam Tinjauan Islam. Terjemhan oleh Tim Penerjemah Yayasan Ibnu Sina (Islamic Perspectives in Obstetrics & Gynaecology). Bandung: Mizan.

Hidayat, Komaruddin. 1996. Tradisi, Kemoderenan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS

Illich, Ivan. 1998. Matinya Gender. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi (Gender). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Keraf, Gorrys. 1997. Komposisi. Flores: Nusa Indah

Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah

Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Struturalisme Transendental. Bandung: Mizan.

Muhsin, Aminah Wadud. 1992. Wanita di dalam Alquran. Terjemahan oleh Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka

Mernissi, Fatima. 1999. Pemberontakan Wanita !: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Terjemahan oleh Rahmani Astuti. Bandung : Mizan.

Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguitik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro.

Rakhmat , Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode, Yogyakarta.

Roded, Ruth. 1995. Kembang Peradaban: Citra Wanita di mata Para Penulis biografi Muslim. Terjemahan oleh Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.

Roqib, Muhammad. 1993. Kitab Durus al-Lughah al-Arabiyah ‘ala al-Thariqah al-Haditsah: Dirasah Tahliliyah min Jihah al-Thariqah. Skripsi Tidak Diterbitkan Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Roqib, Muhammad. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta : Gama Media.

Soeharso, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: Grafindo Persada.

Shalih, Subhi. 1962. Dirasat fi Fiqh al-Lughah. Bairut: Mansyurat al-Maktabah al-Ahliyah.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.

Ya’qub, Amil Badi’. 1982. Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Khashaishuha. Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah.

Yusuf, Tayar dan Anwar, Saiful. 1995. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa. Jakarta: Rajawali.

STRUKTUR SYIIR ARAB-JAWI SEKAR KEDHATON, PROSODI, DAN PEMAKNAAN PRAGMATIKNYA

STRUKTUR SYIIR ARAB-JAWI SEKAR KEDHATON, PROSODI, DAN PEMAKNAAN PRAGMATIKNYA
(Kajian Hermeneutik dan Semiotika Struktural)

Mukhsin Ahmadi *)


ملخص: القصيدة الجاوية "سيكار كاراتون" المكتوبة بالحروف العربية والمعروفة باسم "شعر" شكل من أشكال الشعر الباسانترين بجاواه. له نظامه الخاص في تنظيم الأبيات والعروض والقافية. يتكون كل بيت من سطرين وفي كل سطر عشرة مقاطع، وهي بمثابة الهيكل الشعري الذي يقوم على مبادئ التجانس الصوتي والمجانسة الاستهلالية والقوافي. تتكون قصيدة "سيكار كاراتون" من 327 بيت وتنقسم إلى أربعة أجزاء: تمهيد ومقدمة وباب آداب المعاشرة وباب ما على الزوجة. كتبت القصيدة وطبعت ونشرت ليقرأها الطلبة والطالبات وليتغنوا بها ويتدبروا فيها. تتناول القصيدة موضوع الحياة الزوجية في ضوء تعاليم الإسلام وأخلاقيته وفي بيئة الباسنترين الخاصة. وتحتوي الأبيات الأخيرة على معلومات عن الكاتب وهي بمثابة حرد المتن للقصيدة.

الكلمات الرئيسة: الباسنترين، العروض، المعان السياقية، الرموز البنيوية


Istilah syiir bagi sebuah genre (jenis) sastra tidak asing bagi kita, terutama dalam sastra Arab, karena ia adalah puisi dalam terminologi sastra Indonesia dan sastra Barat. Namun dalam sastra Melayu dan sastra Indonesia istilah itu tidak dikenal karena yang dikenal adalah istilah syair yang disamakan pengertiannya dengan puisi. Padahal dalam bahasa Arab syair adalah penulis puisi yang dalam sastra Indonesia adalah penyair yang dalam sastra Inggris disebut poet. Di kalangan kaum santri Jawa di pedesaan, kata syiir itu diucapkan singir, dan kegiatan membaca naskah syiir disebut singiran.
Dalam fenomena sastra Melayu dan Indonesia Lama terdapat beberapa karya puisi atau syair itu, misalnya : Syair Bidadari, Syair Anggun Cik Tunggal, Syair Ken Tambuhan, Syair Si Pungguk Merindukan Bulan. Dalam hal ini syair adalah bentuk empat baris dengan sajak (rima) akhir sama untuk membawakan cerita. Misalnya dalam syair Yatim Nestapa:
Ada kepada suatu hari,
Putri beradu siang hari,
Maharajapun beradu laki isteri,
Istanapun sunyi tidak terperi.
Bentuk ini tidak sama dengan bentuk empat baris lainnya yang dikenal dengan istilah pantun karena pantun memiliki struktur yang lain pula:
Rama-rama terbang ke bukit,
Terbang ke bukit patah pinggang.
Hilang akal si burung pipit,
Padi masak ditunggui orang.
Dalam sastra Jawa terdapat bentuk parikan serupa pantun Melayu, yang sampai sekarang masih hidup di kalangan rakyat jelata, misalnya dalam syair kidungan teater rakyat ludruk terutama di Jawa Timur (Ahmadi, Mukhsin 1987 : 10) :
Kenek apa sapimu bengah,
bengah maneh wong tak pakani.
Kenek apa atimu susah,
susah maneh mergo kon garahi.
(Kena apa sapimu melenguh,
melenguh memang kuberi makan.
Kena apa hatimu mengeluh,
mengeluh memang sebab kausebabkan.
Sementara itu dalam sastra Melayu lama tersebut terdapat bentuk gurindam yang hanya terdiri dari dua baris tiap baitnya:
Cahari olehmu akan guru,
yang tahu akan tiap seteru.
Bentuk ini memiliki hitungan 10 suku kata tiap baris dan bersajak akhir sama, tetapi tidak konsisten dalam totalitas karya. Misalnya Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Dengan latar belakang tersebut bentuk syiir menjadi tidak asing dalam sastra rakyat, terutama di lingkungan pesantren.
Tulisan ini berbicara tentang syiir Pesantren Jawa sebagai kajian naskah syiir Arab – Jawi berjudul “Sekar Kedhaton” (selanjutnya disingkat SKT) buah pena Abi Muhammad Sholeh Hajawi dari Hajen Juwana Rembang (Jawa Tengah). Pendekatan yang digunakan adalah tafsir hermeneutik dengan analisis semiotika struktural (Jurij Lotman, 1977). Tafsir hermeneutik terhadap totalitas teks SKT menghendaki kajian bagian-bagian dan unsur-unsur untuk memantapkan makna utuh teks SKT sesuai dengan prinsip lingkaran hermeneutik dalam tafsir makna.
Pembahasan dibatasi pada struktur estetik dan makna syiir sebagai tanda, terutama mengenai potensi unsur-unsur bahasa dan sastra Jawa yang memanfaatkan sistem syiir dalam konvensi sastra Arab pada genre tersebut. Tujuan tulisan ini adalah untuk memperkenalkan, menganalisis, dan menafsirkan syiir tersebut sebagai produk sastra Jawa Pesantren yang sangat kental dengan referensi bahasa dan sastra Arab. Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotika struktural yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Analisis semiotika struktural mengurai struktur bentuk dalam fungsi menentukan makna dan melihat sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Dengan kajian ini diharapkan dapat dijelaskan bagaimana potensi kata-kata bahasa dan satra Jawa telah dimanipulasikan secara kreatif dan memadukannya dalam kombinasi fungsional estetik dan komunikatif dengan kata–kata bahasa Arab yang dipungut oleh penulisnya dengan menggunakan pola syiir dari sastra Arab tradisional, dan bagaimana pola tersebut telah membangun estetika dan pengomunikasian makna dan diharapkan memberikan efek yang khusus kepada khalayak bacanya.

BENTUK DAN BAGIAN NASKAH SYIIR SEKAR KEDHATON
Naskah syiir Sekar Kedhaton (SKT) adalah salah satu dari banyak naskah syiir sebagai produk sastra Pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Naskah SKT terdiri atas 327 bait (couplet, strophe) dalam pola struktur yang secara fenomenalogis tertulis dalam ejaan Arab – Jawi yang bila ditransliterasikan ke dalam ejaan bahasa Indonesia dengan huruf Latin sebagai berikut.
323. Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
ikilah syiir iku kang gawe.
(Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
gubahan syiir dia yang merangkai).
324. Ana ing desa Kelaling manggone,
Hajen Juwana kelahirane.
(Ada di desa Kelaling tinggalnya,
Hajen Juwana kelahirannya).
325. Ingsun amuji sarana syukur,
ing Gusti Allah kang sifat Ghofur.
(Saya memuji dengan bersyukur,
Tuhan Allah bersifat Ghofur).
326. Rahmat lan salam muga tetapa,
ing Kanjeng Nabi ingkang mustafa.
(Rahmat dan salam tetap semoga,
pada Baginda Nabi yang mustofa).
327. Lan marang kabeh kulawargane,
lan sahabate sakabehane.
(Dan pada semua keluarganya,
dan sahabatnya kesemuanya).
Sistem ini disebut colophon sebagai penutup naskah yang menginformasikan tentang penulis, waktu dan tempat penulisannya.
Bentuk syiir SKT tersebut keseluruhannya secara konsisten/ajeg mempunyai perhitungan-perhitungan jumlah suku kata dan persamaan bunyi serta irama lagu yang pasti dapat dijelaskan secara obyektif dan fenomenalogis. Uraian mengenai hal ini akan dilakukan kemudian, sesudah dijelaskan bagian-bagian naskah SKT tersebut.
Naskah SKT terdiri atas 4 bagian yang bersifat tematis: bagian pertama merupakan bagian tanpa judul dan hanya didahului dengan lafal basmalah: Bismillahirrahmanirrahim yang terdiri atas 10 bait. Secara transliteratif dua bait awal dari 10 bait tersebut sebagai berikut.
1. Ngawiti ingsun lawan bismillah,
ingsun amuji alhamdulillah.
(Memulai saya dengan bismillah,
saya memuji alhamdulillah)
2. Tambahe rahmat sartane salam,
kelawan akeh sartane dawam.
(Tambahnya rahmat beserta salam,
sebanyak mungkin terus diulang.
Dalam garis besarnya bagian ini menyampaikan judul naskah, tema dan tujuan penulisan.
6. Sekar Kedhaton ingsun ngarani,
ikilah syiir mungguh perlune.
(Sekar Kedhaton saya namai,
tentang perlunya syiir ini).
7. Kango pitutur wong omah-omah,
supaya tentrem sarana genah.
(Untuk nasihat berumahtangga,
supaya tentram dengan enaknya)
8. Dhak tukar padu jalaran weruh,
ing kuwajiban ingkang den tempuh.
(Tidak bertengkar karena tahu,
pada kewajiban yang dituju)
Bagian kedua berjudul Muqaddimah terdiri atas 29 bait, yang dalam garis besarnya menyampaikan pesan kepada kaum lelaki tentang prinsip-prinsip berumah tangga agar menjauhi perbuatan dosa, dan kritik terhadap perilaku orang yang tergoda oleh bujuk rayu setan melakukan perbuatan maksiat.
11. He para lanang kang wus duweni,
hajat wong wadon branta atine.
(Hai para lanang yang telah mempunyai,
hasrat wanita hati birahi).
12. Yen panci sira iku wus kuwat,
nyempurnaake kabehe ragat.
(Bila kamu memang sudah kuasa,
menyempurnakan semua biaya).
13. Sarana ngerti syarat rukune,
wong laki rabi sak sampurnane.
(Dengan mengerti syarat rukunnya,
orang lelaki kawin sempurna).
14. Lan ngerti marang kuwajibane,
wong duwe bojo sakabehane.
(Dan mengerti akan kewajibannya,
orang punya jodoh kesemuanya).
Bagian ketiga berjudul Adabu’lmu’asyarah (Adab Pergaulan) terdiri atas 55 bait berbicara tentang kewajiban kaum lelaki yang sudah beristeri : tata krama dalam pergaulan dengan isteri, mencukupi kebutuhan hidupnya, menjaga akhlak isterinya, dan kewajiban ibadahnya. Antara lain sebagai berikut.
40. Hai para lanang kang wus duweni,
ing bojo sira kudu ngelakoni.
(Hai para lelaki yang mempunyai,
pada isteri kamu menjalani).
41. Tatakramane dadi wong lanang,
supaya wadon atine tenang.
(Tata krama menjadi orang lelaki,
supaya isteri tenang di hati).
49. Becik nyukupi sandhang pangane,
miturut sira pakuwatane.
(Baik mencukupi sandang maknanya,
menurut kamu kemampuannya).
79. Setengah saking kuwajibane,
wong lanang maneh marang bojone.
(Setengah dari kewajibannya,
lelaki lagi pada isteriya).
80. Iku muruki hukum syariat,
supaya bener olehe toat.
(Itu mengajar hukum syariat,
supaya benar dalam bertaat).
Bagian keempat berjudul Ma’ala’lzzaujah (kewajiban wanita) terdiri atas 233 bait berbicara tentang kewajiban dan tatakrama wanita yang telah bersuami; berbakti kepada suami, memilih jalan dan perbuatan yang berpahala agar kelak bisa masuk surga, serta gambaran macam-macam hukuman dan siksa neraka bagi yang melanggar moralitas agama dan pergaulan rumah tangga serta masyarakat.
97. Wajibe wadon kudu ngabekti,
marang lanange ingkang sejati.
(Wajibya wanita harus berbakti,
pada suaminya yang sejati)
103. Wadon kang bagus kelakuhane,
ing shalat lima sarta pasane.
(Wanita yang baik kelakuannya,
pada salat lima dan puasanya)
104. Wulan ramadhan ngreksa ferjine,
sartane bekti guru lakine.
(Bulan ramadhan menjaga farjinya,
serta berbakti pada suaminya)
Jadi secara tematis dan episodik keseluruhan SKT itu dapat dibagankan sebagai berikut.



















STRUKTUR ESTETIK BAHASA SYIIR
Telah dijelaskan di muka bahwa keseluruhan naskah SKT tersusun atas bait-bait, dan semuanya berjumlah 327 bait dengan pola struktur sintaks yang sama: (1) tiap bait terdiri atas 2 (dua) baris, (2) tiap baris kalimat terdiri atas 10 suku kata, (3) hubungan struktur sintaksis antara kedua baris pada umumnya adalah hubungan kalimat kompleks yang saling bergantung, (4) mempunyai sajak akhir yang sama dan aliterasi serta asonansi dalam baris-barisnya (musikalitas bahasa).
Aspek-aspek tersebut merupakan unsur-unsur dan sistem yang akan mengisi jenis pola struktur syiir tertentu yang menjadi pilihan penulisnya.
a. Prosodi Syiir
Di dalam ilmu syiir sastra tradisional Arab ada 16 jenis pola persajakan sebagai nadhom (nyanyian), yang dalam sastra Barat disebut metrum atau prosodi, yang sangat ketat dalam pertimbangan jumlah suku kata dalam tiap baris untuk satu bait dan persajakan atau permainan bunyinya. Dalam hal ini prosodi adalah ilmu atau teknologi bagunan puisi (verse) yang struktur sintaks baitnya terpadu dengan perhitungan jumlah baris, suku kata, dan permainan unsur bunyi (musikalitas: asonansi, aliterasi), serta lagu dan irama (Abrams, 1981: 148).
b. Pola Bentuk Syiir
Salah satu di antara 16 jenis bentuk syiir (nadhom) tersebut disebut bahar wafir dengan aturan guru lagu – guru wilangan (persamaan bunyi dan jumlah suku kata tiap baris), yang dirumuskan dalam pola mafa’ilatun dengan bait dua baris yang berisi sepuluh suku kata tiap baris sebagai kaki sajak. Bentuk keseluruhan syiir SKT tergolong ke dalam pola jenis bahar wafir tersebut dengan rumus struktur prosodi:
1 2 3 4 5 / 1 2 3 4 5 a
1 2 3 4 5 / 1 2 3 4 5 a
97. Wajibe wadon / kudu ngabekti,
maring lanange / ingkang sejati.
(Wajib wanita harus berbakti,
pada suaminya yang sejati)
Pola tersebut digunakan secara konsisten sejak bait pertama sampai bait terakhir SKT :
1. Ngawiti ingsun / lawan bismillah,
Ingsun amuji / alhamdulillah.
(Memulai saya dengan bismillah,
saya memuji alhamdulillah)
327. Lan maring kabeh / kula wargane,
lan shahabate / sakabehane.
(Dan pada semua keluarganya,
Dan sahabatnya semuanya).
Cara membacanya harus ada jedah setiap 5 ketukan suku kata dengan menikmati irama imbangan sajak akhir, asonansi dan aliterasinya.

c. Diksi Syiir
Diksi dalam hal ini adalah terminologi tentang pemilihan dan penataan kosakata dalam baris-baris syiir, yang dalam penciptaan/pembentukan SKT menggunakan pertimbangan : (1) aliterasi dan asonansi dalam tiap baris, (2) denotasi dan konotasi kata, (3) nilai kultural dan religi, (4) berpusat atau mengacu pada tema/topik syiir, (5) nilai rasa sikap atau nada ucapan (sedih, marah, sinis, takut, gembira, cemas, rendah hati, superior dan sebagainya), (6) menciptakan majas metafor dan citraan Jawa Pesantren.
Dalam hal tersebut penulis SKT menggunakan dua sumber nilai dan bahasa: (1) nilai dan bahasa Jawa Pesisiran yang bersifat egaliter non feodalistik, dan (2) nilai dan bahasa Arab yang mengacu pada terminologi hukum syariah pergaulan suami isteri dan ibadah yang berpusat kepada Allah dengan tuntunan Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam hal tersebut ada bait-bait yang keseluruhan diksinya menggunakan kosakata Jawa, dan ada bait-bait yang menggunakan campuran kosakata bahasa Arab dan bahasa Jawa, bergantung pada kepentingan isi dan suasana pesan bait-bait yang bersangkutan. Struktur sintaknya mengatur pengomunikasian sistem nilai tersebut dalam diksi bahasa Jawa yang kental dengan kosakata bahasa Arab.
Hal tersebut dapat dikembalikan pada sifat syiir sebagai secondary modelling system yang berpangkal/bersumber pada primary system, yang dalam hal ini adalah sistem bahasa Jawa (Lotman, 1977). Fungsinya adalah untuk mengantarkan sistem nilai moralitas Islam pesantren berlatar belakang sistem nilai budaya Jawa.
Dengan kata lain, syiir SKT sebagai seni verbal merupakan model sekunder sebagai ciptaan penulisnya yang bertumpu pada sumber bahasa Jawa yang di dalamnya ada sistem nilai budaya Jawa yang dikenai sistem nilai agama Islam dan sistem syiir sastra tradisional Arab. Hubungan-hubungan ini menurut sistem semiotik dapat dibagankan sebagai berikut (Ruqaiya Hasan, 1989: 99).

Sistem semiotik seni verbal (syiir)

c. Verbalisasi a. semiotik
(pengucapan syiir) b. gramatika leksikon sistem semiotik
c. fonologi bahasa Jawa
Pesantren


Berdasarkan bagan ini syiir SKT sebagai seni verbal dapat dikaji dengan konsep (1) bahwa totalitas syiir SKT merupakan artikulasi simbolik untuk mengungkapkan tema tertentu, (2) bahwa syiir SKT merupakan verbalisasi dari sistem semiotik bahasa Jawa melalui rekayasa unsur-unsur semantik, kosakata gramatikal, dan fonologi bahasa Jawa, sehingga tercipta sistem stilistika dan prosodi syiir bahasa Jawa dengan mengadopsi pola syiir Arab tradisional.
Kedudukan kosakata bahasa Arab yang bertebaran pada baris-baris syiir SKT merupakan kata pungut yang tunduk pada sistem tersebut. Misalnya kata syukur dan ghofur dalam bait berikut.
325. Ingsun amuji sarana syukur,
ing Gusti Allah kang sifat Ghofur.
(Saya memuji dengan bersyukur,
pada Tuhan Allah pemberi ampun)
Konteks pengambilan dan pemakaian kata syukur (berterima kasih) dan ghofur (pemberi ampun) secara semiotika struktural tidak terasa asing dan terpencil, melainkan telah berpadu secara kohesif dan koheren dengan unsur-unsur kosakata bahasa Jawa, dalam fungsi mengomunikasikan religiusitas mengakhiri penulisan syiir dengan rendah hati berterima kasih dan minta pengampunan kepada Tuhan. Keterpaduan itu menjadi bertambah kuat karena pemenuhan fungsi resonansi akustik dan fonologis kata syukur dan ghofur, yaitu pengulangan bunyi /ur/ pada akhir baris.


d. Sintaks dan Prosodi
Syiir SKT yang keseluruhannya terdiri dari 327 bait, tiap baitnya terbentuk oleh dua baris dalam kesatuan-kesatuan sintaks sebagai tanda yang membangun makna secara bertahap. Sesuai dengan pendekatan semiotika struktural, dalam kajian ini keseluruhan bait syiir SKT dapat ditempatkan dalam bagan berikut.




dimensi semantik



Syiir SKT
sebagai sistem
tanda
dimensi sintaktik
dimensi pragmatik

Mengikuti bagan tersebut, pemaknaan tiap bait syiir akan mantap bila dilihat dari dimensi sintaktik dan semantik untuk mendapatkan makna pragmatiknya. Struktur sintaktik menentukan kepastian makna, sedangkan dimensi semantik tiap kata, yang mengisi struktur sintaks yang bersangkutan, harus pula memiliki kepastian rujukan (reference) sebagai penanda (signifier) terhadap petanda (signified).
Pemaknaan sintaks secara demikian merupakan prinsip utama dan harus mengabaikan artikulasi prosodi, karena artikulasi prosodi bisa mengacaukan makna sintaks dalam fungsi komunikatifnya. Hal ini bisa dilihat pada kasus bait 205 berikut.
205. Den gerujuk banyu panas cangkeme,
iku siksane wadon maceme.
Cara membaca bait ini untuk mendapatkan makna sintaktisnya dan komunikatifnya harus dilakukan dengan sekat-sekat frasa sebagai berikut.
Den gerujuk / banyu panas / cangkeme,
Iku siksane / wadon / maceme.
(Diguyur / air panas / mulutnya,
itu siksaan / perempuan / macamnya)
Sedangkan pembacaan secara fonologis menurut prosodi syiir adalah,
Den gerujuk banyu / panas cangkeme,
Iku siksane / wadon maceme.
(Diguyur air / panas mulutnya,
itu siksaan / perempuan macamnya)
Dengan demikian pemaknaan syiir tidak selalu sinkron dengan pembacaan menurut pola prosodi syiir dalam jenis bahar wafir tersebut.

UNSUR SASTRA ARAB DALAM SYIIR SKT
Unsur sastra Arab dalam syiir SKT meliputi: (1) orthography, (2) pola prosodi, dan (3) kosakata bahasa Arab.
Ejaan (orthography) yang digunakan untuk menulis syiir SKT adalah huruf Arab – Jawi, yaitu huruf-huruf Arab yang direkayasa untuk melambangkan sistem bunyi bahasa Jawa atau kata-kata bahasa Jawa yang terambil sebagai diksi SKT. Misalnya rekayasa huruf Arab tertentu untuk melambangi bunyi bahasa Jawa: /ng/ : untuk menuliskan ngabekti, /g/ : untuk menuliskan gerujuk, /ny/ : untuk menuliskan banyu, /dh/ : untuk menuliskan gedhe, /th/ : untuk menuliskan kethus.
Di samping itu juga orthography untuk menuliskan kata-kata bahasa Arab yang terambil diperlukan sebagai diksi dalam bait-bait syiir SKT karena memuat konsep yang signifikan dalam kaitan tema/topik syiir.
Sementara itu, terdapat penyamaan lambang orthografis atas bunyi /i/ dan /e/, misalnya pada kata duweni dan dinane untuk gabungan bunyi /ni/ dan /ne/ menggunakan lambang orthografis dengan huruf Arab "ya" yang secara visual sama tetapi secara fonologis berbeda. Dengan demikian terjadi kasus pengelabuan persamaan bunyi secara visual orthografis seperti /wi/ dan /we/ pada bait 321 :
Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
Ikilah syiir iku kang gawe.
(Abi Muhammad Sholeh Hajawi,
inilah syiir dia merangkai)
karena orthografisnya sama-sama mengunakan huruf Arab : “ya”.
Kosakata dan ungkapan bahasa Arab terdapat dalam beberapa bait atau baris syiir bila diperlukan dalam pemantapan acuan makna, termasuk penggunaan kata ganti nama Allah dan Rasulullah. Dalam hal demikian kosakata atau ungkapan tersebut menjadi inti dan fokus pesannya. Misalnya:
289. Dhak gelem toat ing Gusti Allah,
dhak gelem toat ing Rasulullah.
(Tak mau taat pada Tuhan Allah,
tak mau taat pada Rasulullah)
1. Ngawiti ingsun lawan bismillah,
Ingsun amuji alhamdulillah.
(Memulai saya dengan bismillah,
saya memuji alhamdulillah)
37. Nangudzubillah nuwun pangreksa,
kula dhumateng Dzat ingkang kuasa.
(Na'udzubilah mohon dijaga,
hamba pada Dzat Maha Kuasa).
Dalam sintaktik bahasa Arab sebenarnya kata-kata bismillah, alhamdulillah, dan na'udzubillah menrupakan morfosintaks tersendiri, yang analisisnya harus dilakukan untuk memperoleh kemantapan maknanya:
Bi-ismi-‘llah : dengan nama Allah
Al-hamdu-li’llah : segala puji bagi Allah
Na'udzu-bi-‘llah : kami berlindung kepada Allah.
Proses tersebut harus dilakukan dalam kajian dengan pendekatan semiotika struktural untuk mendapatkan kemantapan makna.
Pada bagian akhir naskah terdapat bait tambahan yang istimewa: pola prosodinya bukan bahar wafir melainkan bahar kamil yang keseluruhannya menggunakan bahasa Arab:
Wain tajid 'aiban fasuddal kholala,
Fajalla man la 'aiba fihi wa kholla.
(Bila anda mempunyai cacat, maka tutuplah cacat itu,
orang yang mulia, adalah orang yang tak ada cacat padanya)
Bentuk tersebut terdiri dari 12 suku kata tiap barisnya dan berakhir dengan bunyi kata yang sama pada akhir baris, yang dalam pola prosodi syiir tradisional Arab tergolong jenis metrum bahar kamil : (mutafa'iluna), bukannya bahar wafir : (mafa'ilatun).
Dengan demikian dua baris terakhir tersebut tidak termasuk dalam sistem metrum prosodi syiir SKT yang berpola bahar wafir. Fungsi kedua baris terakhir ini adalah penyampaian pesan moral dan sikap rendah hati mengenai aib, cacat atau kekurangan untuk mencapai kemuliaan dalam lingkup apapun.

PENUTUP
Syiir Arab – Jawi Sekar Kedhaton merupakan salah satu produk karya sastra Pesatren Jawa dengan pola prosodi yang ketat dalam jenis bahar wafir. Dengan pola ini pembacaan tiap baris dilakukan dengan jedah tiap 5 ketukan suku kata. Isi syiir adalah pesan moral tentang pergaulan suami isteri dalam bermasyarakat dalam iklim religiusitas dan keyakinan agama Islam. Pola prosodi (metrum) syiir yang ketat telah memaksa tersusunnya struktur sintaks yang ketat pula. Diksi syiir merupakan perpaduan pilihan-pilihan kosakata bahasa Jawa dengan sesekali memungut kosakata bahasa Arab yang menjadi acuan niali-nilai pesannya. Dengan demikian syiir Sekar Kedhaton (SKT) merupakan sistem tanda yang memiliki makna penyampaian pesan moral tradisi pesantren Jawa. Sebagai seni verbal ia merupakan sistem model sekunder yang bertumpu pada sistem primer bahasa Jawa ragam pesantren Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms 4th ed. New York: Hoet, Rinehart and Winston.
Ahmadi, Mukhsin. 1987. Aspek Sastra Seni Ludruk. Jakarta: Pusat Bahasa.
Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam, Menuju Modernisasi Ke Arah Millenium Baru. Ciputat: Penerbit Kalimah.
Baryadi, I. Praptomo. 2001. Dasar-Dasar Analisis Wacana Dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondosuli.
Brown, Gillian & Jule, George. 1983. Discourse Analysis. London: Cambridge University Press.
Culler, Jonathan. 1975. Strukturaliast Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.
Ekadjati, Edi S. 2000. Direktori Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Finnegan, Ruth. 1997. Oral Poetry. (Its nature, significance, and sosial context) London, New York, Melbourne: Cambridge University Press.
Hajawi, Abi Muhammad Sholeh. 1952. Syiir Sekar Kedhaton. Menara Kudus.
Hallidy, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotik. London: Edward Arnold Ltd.
Hanneborg, Knut. 1967. The Study Of Literature. Stockholm: Universitetsforlaged.
Hasan, Ruqaiya. 1989. Linguistics, Language, and Verbal Art. New York: Oxford University Press.
Juhl, P. D. 1980. Interpretation. An Essay in the Philosophy of Literary Criticism. New Jersey: Princeton University Press.
Kinneavy, James L. 1971. A Theory of Discourse. New York, London: W.W. Norton & Company.
Lotman, Jurij. 1977. The Structure of The Artistik Text. The University of Michigan: Michigan Slavic Contributions.
Luxemburg, et al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Morse, Janice M. 1994. Critical Issues in Qualitative Research Methods. London: Sage Publications.
Ras, J. J & Robson, S.O. 1991. Variation, Transformation and Meaning (Studies on Indonesian Literatures). Leiden: Kitlu Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Wellek, Rene. 1956. Theory of Literature. New York: A Harvest Book Harcout, Brace & World, INC.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press.

Malang, 14 Mei 2004

Mukhsin Ahmadi

PREPOSISI MIN DALAM AL-QUR'AN

PREPOSISI MIN DALAM AL-QUR'AN
DAN TERJEMAHANNYA DALAM BAHASA INDONESIA;
KAJIAN PROBABILITAS EKUIVALENSI

Kholisin
Dosen Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

ملخّص: “من” في العربية تعتبر من الأدوات التي لها معان مختلفة حسب موقعها في الجملة. هذا البحث يحاول على تحليل معاني "من" النحوية و تفصيل ترجمتها في اللغة الإندونيسية. وقد دلّ نتيجة البحث على أنّ "من" لها ثمانية معان نحوية وهي التبعيض وابتداء الغاية الزمانية والمكانية والبيان والزيادة وتأكيد النفي والمقارنة والتأدية والبدل. ولهذه المعاني ترجمتها المتنوعة في اللغة الإندونيسية, حيث يبلغ عددها خمس عشرة صيغة وهي: الصفر و dari, dari pada, di antara, sebagian dari, pun, termasuk, sekali-kali, di, sejak, kepada, salah seorang dari, sebagai ganti dari, sdikitpun, selain dari pada,yaitu.

Kata kunci: preposisi min, makna gramatikal, terjemahan.


Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam proses penerjemahan adalah masalah semantis, yakni hilangnya (biasnya) kandungan makna bahasa sumber (BSu) ketika diungkapkan dalam bahasa sasaran (BSa). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini menurut Nida dan Taber (1974) adalah masalah (1) idiom, (2) makna figuratif, (3) pergeseran komponen sentral makna, (4) makna generik dan spesifik, (5) ungkapan yang bersifat pleonastik, (6) bentuk-bentuk khusus, (7) redistribusi komponen semantik, (8) contextual conditioning.
Idiom termasuk salah satu unsur yang sering memerlukan penyesuaian, karena apa yang diungkapkan secara idiomatis dalam suatu bahasa seringkali tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa lain. Penyesuaian idiom dapat dilakukan dengan tiga cara: (a) dari idiom ke idiom, (b) dari idiom ke nonidiom, dan (c) dari nonidiom ke idiom (Nida & Taber 1974).
Hampir sama dengan idiom adalah penerjemahan ungkapan-ungkapan figuratif. Dalam hal ini proses penerjemahan dapat terjadi pada tiga kemungkinan, yaitu (1) pergeseran dari ekspresi figuratif ke non figuratif, (2) pergeseran dari ekspresi figuratif ke ekspresi figuratif lainnya, (3) pergeseran dari nonfiguratif kefiguratif. Sebagai contoh, kata bahasa Arab ma:ta 'mati' seringkali diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan figuratif seperti:
Arab Indonesia
Tuwuffiya *telah ditepati janjinya
'a:da ila: hana:ni rabbih kembali ke pangkuan Tuhan
*yada'u ad-dunya meninggal dunia
Pergeseran komponen sentral makna juga sering menjadi masalah dalam proses penerjemahan. Sebuah kata yang mempunyai sense khusus dalam suatu bahasa bisa jadi hilang atau berubah ketika diterjemahkan ke bahasa lain. Misalnya kata kata-kata tabu, kata-kata yang berhungan dengan makhluk gaib, dsb. Untuk mengungkapkan alat kelamin laki-laki, misalnya, dalam bahas Indonesia dipakai kata kemaluan (dari kata "malu" yang berhubungan dengan sifat/perasaan), sementara dalam bahasa Arab dipakai kata dzakar 'laki-laki' lawan dari untsa 'perempuan' yang menunjukkan jenis kelamin.
Masalah lain yang sering terjadi dalam penerjemahan adalah pergeseran dari makna generik ke makna spesifik atau sebaliknya. Misalnya, dalam bahasa Indonesia panggilan untuk keluarga (kandung) dibedakan berdasarkan umur, yang lebih muda dipanggil "adik", yang lebih tua dipanggil "kakak". Sementara dalam bahasa Arab panggilan itu dibedakaan berdasarkan jenis kelamin: akh untuk saudara laki-laki, ukht untuk saudara perempuan, tanpa memperhatikan faktor usia.
Ungkapan-ungkapan pleonastik juga termasuk ciri khas suatu bahasa yang biasanya sering berbeda dengan bahasa lain. Dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan tersebut sering terjadi pergeseran makna, sehingga seorang penerjemah harus berhati-hati. Frase "turun kebawah" dan "naik ke atas", umpamanya, tidak diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan *yanzilu ilal asfal dan *yas'udu ilal fauq, melinkan cukup dengan yanzilu 'turun' dan yash'udu 'naik'. Sementara frasa aja:ba qa:ilan 'menjawab sambil berkata', cukup diterjemahkan 'menjawab'.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian khusus dalam proses penerjemahan adalah bentuk-bentuk khusus yang erat kaitannya dengan unsur budaya setempat, unsur sejarah unsur religius, atau unsur-unsur lokal lainnya. Setiap bahasa biasanya mempunyai ungkapan-ungkapan khusus seperti itu yang tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke bahasa lain tanpa mengetahui unsur budaya BSu. Misalnya, 'Umairan 'dua Umar' (maksudnya adalah Abu Bakar dan Umar (keduanya sahabat setia Nabi Muhammad), qamarain 'dua bulan', maksudnya adalah matahari dan bulan.
Dalam menerjemahkan berbagai bentuk ungkapan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah atau apa adanya tersebut ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh penerjemah. Di antaranya adalah redistribusi komponen-komponen semantik dan penyesuaian kontekstual (contextual conditioning). Redistribusi komponen semantik dapat dilakukan melalu dua cara, yaitu (1) analisis (analytic) dan (2) sintesis (synthetic). Analitik adalah distribusi komponen makna suatu kata menjadi sejumlah kata yang berbeda-beda, sedangkan sintetik adalah penggabungan sejumlah komponen semantik menjadi satu istilah tunggal.
Penyesuaian kontekstual ditempuh untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan berikut: (1) teks terjemahan akan dipahami secara salah oleh para pembaca, (2) teks tidak bermakna apa-apa bagi pembaca (bias), (3) bahasa terjemahan mengandung tidak jelas atau berbelit-belit sehingga sulit difahami oleh pembaca. Tiga kemungkinan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, seperti perbedaan material culture, masalah historis, religius, dsb. Contoh: Abha 'kota Abha', at-ti::n 'pohon tin'. Penyebutan "kota" dan "pohon" itu penting bagi orang Indonesia karena Abha dan tin secara material tidak ada di Indonesia.
Menurut Richard M. Hohulin (dalam Gunawan, 1992) sasaran terpenting dari setiap penerjemah adalah menghasilkan terjemahan yang secara dinamis sepadan dengan amanat teks Bsu. Padanan dinamis adalah padanan wajar yang terdekat dengan Bsu. Yang dimaksud padanan wajar di sini adalah kesesuaian isi pesan teks sumber (TSu) dengan teks sasaran (TSa). Usaha untuk mencari padanan yang wajar itu tidak jarang harus mengorbankan korespondensi formal, yakni kesesuaian struktur TSu dengan struktur TSa (Hoed, 1995 dan 1999). Selain terjadi pergeseran struktur dalam penerjemahan juga seringkali terjadi pergeseran makna atau pergeseran semantis. Bertolak dari konsep pergeseran ini, Hoed (1995 dan 1999) menyarankan dua teknik dasar untuk memecahkan masaalah penerjemahan melalui pergeseran, yakni transposisi dan modulasi. Transposisi adalah teknik yang menggunakan terjemahan dengan struktur yang berbeda (perbedaan bentuk), sedangkan modulasi adalah teknik yang menggunakan sudut pandang atau luasan semantis yang berbeda-beda dalam penerjemahan.
Menurut Catford (1965:73) pergeseran yang terjadi pada transposisi dapat berupa pergeseran kategori dan pergeseran struktur, sedangkan pergeseran makna dalam modulasi dapat berupa pergeseran sudut pandang dan pergeseran medan makna (cf. Djajasudarma, 1993; Lyons, 1995). Pergeseran makna yang terjadi pada tataran kata bukan terbatas pada kata-kata yang bermakna secara leksikal (full word-form/lexical word form), melainkan juga pada kata-kata yang bermakna secara gramatikal (empty word form) seperti preposisi dan konjungsi.
Penelitian ini akan mengkaji salah satu preposisi dalam bahasa Arab, yakni min, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Salah satu preposisi yang mempunyai makna gramatikal yang beragam adalah min. Menurut Al-Ghalayaini (1994: 3/170) min mempunyai delapan makna, yaitu (1) ibtida'ul ghayah al-zamaniyyah wal makaniyyah, yakni menunjukkan awal dari rentangan spasial atau rentangan waktu, (2) tab'i:dl, yakni menunjukkan arti sebagian, (3) baya:n, yakni berfungsi sebagai kata penjelas/penegas, (4) ta'ki:d, yakni penguat sebuah statemen, (5) badal, yakni kata sesudahnya sebagai ganti dari kata sebelumnya, (6) dharfiyyah, menunjukkan makna tempat atau waktu, (7) Sababiyyah, yakni menunjukkan keterangan sebab akibat, dan (8) ma'na 'an, yakni bermakna jauh dari. Perbedaan makna itu berkaitan dengan perbedaan fungsinya secara gramatikal.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mengkaji pola pemakaian preposisi min dalam Alqur'an dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan tersebut dijabarkan sebagai berikut. (1) Mengidentifikasi variasi bentuk terjemahan preposisi min dalam bahasa Indonesia, (2) Membandingkan secara kuantitatif pemakaian masing-masing bentuk terjemahan, (3) Menjabarkan alasan pemilihan masing-masing bentuk terjemahan preposisi min tersebut dalam kaitannya dengan fungsinya dalam kalimat.
Sumber data penelitian ini adalah Alqur'an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Mujamma' Khadimil Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba'atil Mush-haf asy Syarif (Pusat Pengadaan Alqur'an Raja Fahd), Madinah. Sampel yang diambil sebanyak tiga surat, yaitu surat 8 (Al-Anfal), surat 9 (At-Taubah) dan surat 36 (Yasin). Dua surat pertama termasuk kelompok surat al-mi'u:n (terdiri atas lebih dari 100 ayat), dan satu surat lainnya termasuk surat al-matsani (kurang dari seratus ayat). Korpus penelitiannya berupa semua preposisi min yang ada dalam tiga surat di atas dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Langkah awal dalam pengolahan data ini adalah klasaifikasi data, yakni pengelompokan data berdasarkan jenisnya, persamaan dan perbedaannya, strukturnya dan sebagainya sehingga dapat dimasukkan dalam tabulasi data. Setelah diklasifikasi, data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif untuk menjawab tujuan penelitian nomor 1 dan 2, sedangkan analisis kualitatif untuk menjawab tujuan nomor 3.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Variasi bentuk terjemahan preposisi min
Dari hasil analisis data ditemukan sebanyak 133 preposisi min dalam tiga surat Alqur'an yang dijadikan sampel; 37 dalam surat Al-Anfal, 65 dalam surat At-Taubah, dan 31 dalam surat Yasiin. Dari 133 preposisi tersebut ditemukan 15 bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia . Lima belas bentuk itu ada yang berupa peniadaan atau zero, ada yang berupa kata dan ada yang berupa frasa. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1: Variasi Bentuk Terjemahan Preposisi Min dalam Bahasa Indonesia

No Bentuk Terjemahan Jumlah dalam Setiap Surat Jumlah
Al-Anfal At-Taubah Yasin Angka %
1. Ø (Zero) 13 20 8 41 31,3
2. Dari 14 10 13 37 27,8
3. Diantara 4 13 1 18 13,5
4. Daripada 3 6 1 10 7,5
5. Sebagian dari - 3 2 5 3,8
6. Pun 2 - 3 5 3,8
7. Termasuk 1 1 1 3 2,3
8. Sekali-kali - 1 1 2 1,5
9. Dari sebagian 1 1 - 2 1,5
10. Di - 2 - 2 1,5
11. Sejak - 2 - 2 1,5
12. Kepada - 1 - 1 0,7
13. Salah seorang dari - - 1 1 0,7
14. Sebagai ganti dari - 1 - 1 0,7
15. Sedikit pun - 1 - 1 0,7
16. Selain daripada - 1 - 1 0,7
17. Yaitu - 1 - 1 0,7
Total 37 65 31 133 100

Dari tabel di atas terlihat bahwa bentuk terjemahan preposisi min yang paling banyak muncul adalah Ø (Zero), yaitu 41 kali (31,3 %). Urutan berikutnya dari sebanyak 37 kali (27,8 %), di antara 18 kali (13,5 %), dari pada 10 kali (7,5 %), pun dan sebagian dari masing-masing 5 kali (3,8 %), termasuk 3 kali (2,3 %), dari sebagian, di, sekali-kali, dan sejak masing-masing 2 kali (1,5 %), dan sedikit pun, salah seorang dari, sebagai ganti dari, selain dari pada, yaitu, dan kepada masing-masing 1 kali (0,7 %). Adanya perubahan bentuk dan frekwensi kemunculan itu tentunya tidak lepas dari konteks dan co-text yang melingkupi kemunculan min dalam BSu. Oleh karena itu, pada bagian berikut akan diidentifikasi hubungan pemakaian masing-masing bentuk dengan co-text dan konteks pemakaian min dalam BSu.

B. Penjelasan Pemakaian Setiap Bentuk Terjemahan Preposisi min
Berikut akan dipaparkan hasil analisis alasan pemakaian masing-masing bentuk terjemahan min. Nomor yang ada di belakang setiap contoh adalah nomor surat dan nomor ayat yang dari contoh tersebut. Misalnya, 8/12 berarti surat 8 (Al-Anfa:l) ayat 12.

1. Ø (Zero)
Preposisi min diterjemahkan dengan Ø, artinya tidak diberi padanan kata apapun, jika berada pada salah satu konteks berikut
a. Min berada di antara numeralia ('adad) dan nomina yang dibilang (ma'du:d). Di sini min menunjukkan arti sebagian dari keseluruhan (tab'idl), misalnya:
(1) الف من الملائكة (8/9): (seribu Ø malaikat) → 'seribu malaikat'
b. Min berada di depan nomina temporal atau spasial (ism zaman/maka:n), seperti qabl 'sebelum', ba'd 'sesudah, dan baina 'di antara'. Contoh:
(2) والذين من قبلهم (8/54) → 'dan orang-orang Ø sebelum mereka'
c. Nomina sesudah min menjelaskan nomina taktakrif (ism mubham) seperti man 'orang/orang-orang' atau ma: 'sesuatu/apa saja/' yang mendahuluinya. Artinya min bermakna bayan, seperti:
(3) من اتّبعك من المؤمنين(8/64)→ (orang-orang yang mengikutimu Ø para mukminin) 'orang-orang mukmin yang mengikutimu'.
(4) ما استطعتم من قوّة (866)→ 'kekuatan apa saja yang kamu sanggupi' (apa saja yang engkau sanggupi Ø kekuatan)
d. Min berada di antara dua nomina yang membentuk frasa, seperti:
(5) رضوان من الله (8/77):(keridlaan Ø Allah) → 'keridlaan Allah'.
e. Min beridiom dengan verba, seperti:
(6) فيسخرون منهم (9/79)→ 'maka orang-orang munafik itu menghina Ø mereka'
Pada contoh di atas min beridiom dengan verba yaskhar untuk menunjuk-kan arti 'menghina'
f. KEHADIRAN MIN DIANGGAP ZIYADAH 'TAMBAHAN' SECARA SINTAKSIS. ARTINYA, SEKALIPIN MIN DIBUANG STRUKTUR KALIMAT TETAP BERTERIMA. PENAMBAHAN ITU BIASANYA SEBELUM OBJEK (MAF'UL BIH), MISALNYA:
(7) أعينهم تفيض من الدمع (9/92)→ 'mata mereka bercucuran Ø air mata'.

2. DARI
MIN DITERJEMAHKAN DENGAN DARI JIKA BERADA PADA KONTEKS-KONTEKS BERIKUT.
a. menandakan hubungan asal, misalnya:
(8) هو الحقّ من عندك (8/32) 'inilah yang terbaik dari engkau'.
(9) غضب من الله (8/16) 'murka dari Allah'.
b. menunjukkan suatu permulaan dari rentangan spasial (ibtida'ul ghayah al-makaniyyah), seperti:
(10) الّذين خرجوا من ديارهم (8/47) 'orang-orang yang keluar dari rumah mereka'.
c. menunjukkan perbandingan, seperti:
(11) يؤتيكم خيرا ممّا أخذ منكم ...…(8/70). 'Dia akan memberimu yang lebih baik dari apa yang telah di ambil daripadamu …'
3. Di antara
Min diterjemahkan dengan di antara jika menunjukkan hubungan bagian dari keseluruhan (tab'idl), seperti:
(12) الذين ظلموا منكم (8/25) 'orang-orang zalim di antara kamu'
(13) ومنهم من يقول (9/49) 'dan di antara mereka ada yang berkata'
4. Daripada
Min diterjemahkan dengan daripada jika berada pada konteks-konteks berikut
a. menunjukkan hubungan asal, seperti:
(14) …أمنة منه …(8/11). '…amanat daripada-Nya.
b. menunjukkan hubungan arah (spasial), seperti:
(15) إنّي بريء منكم (8/48) 'sesungguhnya saya berlepas diri daripadamu'
c. menunjukkan perbandingan, seperti:
(16) …كانوا أشدّ منكم قوّة (9/69) 'mereka lebih kuat daripada kamu'
d. menunjukkan hubungan bagian dari keseluruhan (tab'idl, seperti:
(17) طائفة منكم (9/66) 'segolongan daripada kamu'
5. Pun
Min diterjemahkan dengan pun jika berfungsi untuk mempertegas kenafian (kenegatifan). Biasanya berada di depan subjek atau objek dari verba yang dinegatifkan, seperi:
(18) ما يأتيهم من رسول (36/30) 'tiada datang kepada mereka seorang rasul pun' (tidak datang kepada mereka pun rasul)
(19) ما أنزل الرحمن من شيء (36/15): (tidak menurunkan Yang Maha Pemurah pun sesuatu) 'Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun'.
6. Sebagian dari (dari sebagian) atau salah seorang dari
Min diterjemahkan dengan sebagian dari (dari sebagian) atau salah seorang dari ketika berfungsi tab'i:dl (menunjukkan sebagian dari nomina jamak atau nomina generik (isim jins) yang berada sesudahnya). Contoh:
(20) خذ من أموالهم صدقة (9/103) (ambillah dari harta mereka zakat) 'ambillah zakat dari sebagian harta mereka'.
(21) إنّك لمن المرسلين (36/3): (sesungguhnya kamu sungguh dari rasul-rasul) 'sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul'.
(22) …آتاهم من فضله (9/76) (Allah memberi mereka dari karunia-Nya) 'Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya'..
7. Termasuk
Min diterjemahkan dengan termasuk apabila menunjukkan bahwa suatu nomina yang mendahului min merupakan kelompok atau bagian dari nomina yang mengikuti min, seperti:
(23) فأولئك منكم (8/75) 'maka mereka termasuk golonganmu'.
(24) وجعلني من المكرمين (36/27) 'dan (Allah) menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimulyakan'
8. Di
Min diterjemahkan dengan di apabila mendahului nomina spasial (ism maka:n) seperti tahta 'di bawah', contoh:
(25) تجري من تحتها الأنهار (9/72) 'yang mengalir dibawahnya sungai-sungai'
Dalam hal ini ada kemungkinan min diterjemahkan dengan Ø (zero), sebab seandainya min dilesapkan kalimat di atas masih tetap berterima secara struktural. Perhatikan: تجري تحتَها الأنهار. Jadi di sini kata di untuk menunjukkan fungsi objek dari adverbia tahta.
9. Sejak
Min diterjemahkan dengan sejak apabila mendahului nomina temporal yang menunjukkan masa lampau, seperti:
(26) أرصاداً لمن حارب الله ورسوله من قبل (9/107) 'untuk menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dulu'
(27) من أوّل يوم(9/108) 'sejak hari pertama'
10. Sekali-kali
Min diterjemahkan dengan sekali-kali apabila berfungsi mempertegas kenegatifan (ta'ki:d). Biasanya berada sebelum objek atau subjek yang dinafikan (bandingkan dengan no. 5 (pun)), seperti:
(28) وما تأتيهم من أية (36/46) 'dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu tanda'
(29) ما لكم من دونه من وليّ 'sekali-kali tidak ada pelindung bagimu selain Allah'
11. Kepada
Min diterjemahkan dengan kepada apabila ditambahkan di depan nomina yang menjadi objek (ta'diyah/ta'ki:d), seperti:
(30) ولا ينالون من عدوّ نيلا (9/120) 'dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh'
12. Sebagai ganti dari
Min diterjemahkan dengan sebagai ganti dari apabila menunjukkan hubungan perbandingan, seperti:
(31) أرضيتم بالحياة الدّنيا من الأخرة (9/38) 'apakah kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti dari akhirat.
13. Sedikitpun
Min diterjemahkan dengan sedikitpun apabila ditambahkan di depan nomina yang dinafikan wujudnya (ziyadah li ta'ki:din nafy), seperti:
(32) ما على المحسنين من سبيل (9/91) 'tidak ada jalan sedikitpun (untuk menyalahkan) orang-orang yang berbuat baik'.
Di sini fungsi min secara gramatikal adalah ziyadah (tambahan), tetapi secara semantis berfungsi memperkuat kenafian (ta'ki:dun nafy).
14. Selain dari pada
Min diterjemahkan dengan selain daripada apabila berada pada kalimat tanya yang membandingkan, seperti:
(33) ومن أوفى بعهده من الله (9/111) 'dan siapakah yang lebih menepati janji selain dari pada Allah
15. Yaitu
Min diterjemahkan dengan yaitu apabila mendahului nomina yaang menjadi penegas atau penjelas (baya:n) dari nomina sebelumnya, seperti:
(34) المعذّرون من الأعراب (9/90) 'orang-orang yang mengemukakan uzur, yaitu orang-orang Arab badui
Dari paparan hasil analisis di atas ditemukan adanya 15 bentuk terjemahan dari preposisi min dalam Alqur'an. Jika 15 bentuk terjemahan tersebut dikelompokkan berdasarkan fungsi min secara gramatikal, maka akan ditemukan sebanyak 8 fungsi, yaitu:
1) menunjukkan makna sebagian (tab'idl) dari keseluruhan. Bentuk dari fungsi ini adalah di antara, dari pada, sebagian dari, dan termasuk.
2) Menunjukkan makna permulaan dari rentangan spasial (ibtida'ul ghayah al-makaniyyah). Bentuk dari fungsi ini adalah dari dan daripada.
3) Menunjukkan makna permulaan dari rentangan waktu (ibtida'ul ghayah al-zamaniyyah). Bentuk dari fungsi ini adalah sejak.
4) Menunjukkan makna perbandingan. Bentuk dari fungsi ini adalah dari, daripada, dan selain dari pada.
5) Menunjukkan makna pengganti (badal). Bentuk dari fungsi ini adalah sebagai ganti dari.
6) Menunjukkan makna penguatan dari statemen yang berupa kalimat negatif (ta'ki:dun nafy). Bentuk dari fungsi ini adalah pun, sekali-kali, dan sedikitpun.
7) Menunjukkan makna penjelas dari nomina sebelumnya. Bentuk dari fungsi ini adalah zero dan yaitu.
8) Menunjukkan fungsi tambahan (ziyadah), yakni min tidak diartikan (zero).
Adanya perbedaan bentuk dari fungsi yang sama seperti di paparkan di atas mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor bentuk kalimat di mana min merupakan bagian darinya. Misalnya, untuk fungsi tab'idl (sebagian) perhatikan contoh 13, 21, dan 24.
Pada contoh (13) ومنهم من يقول (9/49) 'dan di antara mereka ada yang berkata' min diterjemahkan di antara karena secara gramatikal dalam kalimat tersebut ada kata yang dilesapkan, yaitu kataكائن atau بعض . Hal ini sesuai dengan kaidah nahwu bahwa jika ada khabar dari ja:r majru:r, di situ ada kata yang dilesapkan.
Pad contoh (21) إنّك لمن المرسلين (36/3): 'sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul', juga terdapat kata yang dilesapkan, yaitu kata أحد . Jadi jika kata tersebut tidak dilesapkan kalimatnya akan berbunyi إنّك لأحد من المرسلين , dan sebab itu maka terjemahannya menjadi salah seorang dari.
Pada contoh (24) وجعلني من المكرمين (36/27) 'dan (Allah) menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimulyakan', min diterjemahkan dengan termasuk karena dlamir ي pada وجعلني menjadi bagian (inklusif) dari kata المرسلين yang berada setekah min.

SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Terdapat 15 bentuk terjemahan dari preposisi min dalam bahasa Indonesia; sebagian berupa kata dan sebagian berupa frasa. Dari 15 bentuk itu yang paling banyak frekuensi kemunculannya adalah Ø (zero), dari, di antara, dan dari pada. Perbedaan bentuk terjemahan itu disebabkan oleh perbedaan fungsi gramatikal preposisi min dalam kalimat, sedangkan perbedaan bentuk dari setiap fungsi yang sama lebih disebabkan oleh koteks di mana min berada. Dalam penelitian ini tidak ditemukan min yang berfungsi menunjukkan sebab akibat (sababiyyah). Seandainya pada sampel penelitian ditemukan fungsi tersebut, maka bentuk terjemahan dari preposisi min dimungkinkan akan lebih beragam.
Keterbatasan penelitian ini antara lain terletak pada sampel yang diambil, sehingga seandainya sampelnya diperbesar kemungkinan hasilnya akan lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
Catford, J.C. 1965. Linguistic Theori of Translation. London. Oxford University Press
Hohulin, Richard M. 1992. 'Mencari Padanan Dinamis dalam Penerjemahan'. Dalam Gunawan, Kencanawati (Penerj.). 1992. Sepuluh Makalah Mengenai Penerjemahan. Jakarta: Rebia Indah Perkasa.
Hoed, Benny H. 1995. "Prosedur penerjemahan dan akibatnya" dalam Lintas Bahasa, no 2/III/3/1995. Jakarta: Pusat Penerjemahan FS UI.
------------------. 1999. Teori Penerjemahan. Ringkasan ceramah pada Lokakarya Penerjemahan dalam rangka kerja sama Pusat Penerjemahan FS UI dengan Indonesia-Australia Language Foundation (IALF) Education for Development, Denpasar Bali Agustus 1999.
Al-Ghalayainiy, Musthafa. 1994. Ja:mi’ud Duru:sil ‘Arabiyyah. Beirut: Almaktabatul ‘Ashriyyah.
Nida, Eugen & Taber, Charles R. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill
Departemen Agama RI. 1993. Alqur'an dan Terjemahnya. Medinah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’ati al Mush-haf asy Syarif (Pusat Penerbitan Alqur'an Raja Fahd, Medinah).