Senin, 09 November 2009

Sekularisasi Bahasa Arab: Upaya Membumikan “Bahasa Langit”

Sekularisasi Bahasa Arab:
Upaya Membumikan “Bahasa Langit”
Oleh: Khoirul Adib, MA*

Dari perspektif historis, bahasa Arab memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting tidak saja bagi masyarakat Arab-Islam sendiri, tetapi bagi masyarakat dunia terutama sekali pada abad-abad pra-modern (dark age). Sebagai salah satu sub-kultur kebudayaan Arab-Islam, bahasa Arab jelas tidak terpisahkan dari dinamika kebudayaan Arab-Islam itu sendiri. Persenyawaan Islam dengan bahasa Arab semakin mengkristal ketika Allah SWT menurunkan wahyu-Nya dengan bahasa Arab. Dengan demikian, bagi pemeluk Islam, sejak saat itu boleh dibilang bahasa Arab naik kasta menjadi “bahasa langit” melampaui fungsi bahasa-bahasa lain yang ada.
Al-Qur’an telah menjadi bukti hubungan prioritas antara bahasa Arab dengan peradaban Islam. Tidak hanya Al-Qur’an, sumber asli ajaran Islam yang lain seperti Al-Hadits juga menggunakan bahasa Arab sebagai mediumnya, termasuk buku-buku rujukan keagamaan juga ditulis dengan bahasa Arab. Atas dasar inilah, orang lalu melihat bahwa bahasa Arab dan agama Islam itu ibarat dua sisi mata uang, satu dengan lainnya saling melekat dan tak dapat dipisahkan. Sebab kenyataannya, dan ini sudah menjadi sifat serta tradisi agama Islam, ke mana saja ia pergi wajiblah Al-Qur’an turut serta serempak dengannya. Dengan demikian, kedudukan bahasa Arab sebagai “bahasa wahyu” ini sesungguhnya ibarat “kartu as” bagi bahasa Arab dalam percaturan di tengah-tengah dinamika masyarakat, khususnya masyarakat Islam.
Jika agama dan budaya Arab-Islam diperkirakan masuk ke bumi Nusantara sejak abad 7-8 Masehi melalui para pedagang Muslim dari Arab dan Persia dan mulai berkembang pada sekitar abad 12 Masehi (Hadi, 1995), itu artinya bahwa keberadaan bahasa Arab di Nusantara sesungguhnya telah mencapai lebih dari 12 abad. Namun kenyataannya, rentang waktu yang demikian panjang belum mampu menjadi jaminan tumbuh berkembangnya bahasa Arab di Nusantara secara signifikan, bahkan yang terjadi justru mengalamai stagnasi yang berkepanjangan. Agama Islam di Nusantara demikian hiruk-pikuk dengan segala dinamikanya, sementara bahasa Arab sebagai sub-kultur Arab-Islam tetap statis, beku dan jalan di tempat. Padahal bagi penganut agama Islam, interaksi kultural dengan bahasa Arab justru dapat terjadi lebih dini ketimbang dengan bahasa asing yang lain. Hal ini terjadi, tak lain, karena nilai fungsional bahasa Arab sebagai medium upacara-upacara ritual Islam seperti, dalam bacaan dua kalimat syahadat, shalat, adzan, do’a, dzikir, dan sebagainya.
Realitas tersebut seakan-akan makin memberi legitimasi terhadap bahasa Arab -di mata pemeluk agama Islam- sebagai “bahasa langit”. Fenomena seperti ini, disadari atau tidak, ibarat pedang bermata dua yakni berimplikasi ganda bagi bahasa Arab, menguntungkan sekaligus amat merugikan. Perlakuan yang berlebihan, seperti halnya memberikan kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa supranatural, bahasa keramat, dan bahasa suci (The Holy Language) memang semakin menempatkan bahasa Arab pada posisi paling istimewa, tetapi pada saat yang sama justru mendorongnya ke ruang eksklusifisme sempit yang hanya akan merugikan bahasa Arab itu sendiri, sebab hal itu sama saja dengan semakin membelenggu gerak dinamis bahasa Arab secara bebas dan merdeka. Dengan kata lain, bahasa Arab hidup dalam “pasungan”, dan itu artinya kontraproduktif dengan upaya penyebaran, pengembangan dan universalisasi bahasa Arab.
Tragedi yang menimpa bahasa Yunani dan bahasa Sansekerta yang dewasa ini hampir-hampir punah -kalau tak boleh disebut telah punah- barangkali bisa dijadikan pelajaran berharga bagi upaya pelestarian bahasa Arab agar tetap survive di tengah kebudayaan-kebudayaan modern di dunia. Linguistik pernah hidup di bawah cengkeraman agama, takhayul dan etnosentrisme selama berabad-abad. Pada masa itu selalu terjadi pemberian penghargaan suatu bahasa yang berlebih-lebihan dari pengguna bahasa itu sendiri, sehingga memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan linguistik. Bangsa Yunani umpamanya, menganggap bahwa bahasa Yunani lebih unggul dari bahasa lainnya, karena bahasa tersebut digunakan oleh dewa Olimpian. Hanya bahasa ini menurut mereka yang sempurna tata bahasa dan pengertiannya, sedangkan bahasa lainnya dianggap “barbarian” (kasar dan tak punya aturan) (Syeed, 1989). Nasib yang sama menimpa bahasa Sansekerta, yang bagi masyarakat India dianggap pula sebagai bahasa tingkat tinggi yang hanya boleh digunakan oleh kasta tinggi yaitu kasta Brahmana. Orang Hindu yang berkasta rendah tidak boleh mendengarkan bait-bait kitab suci yang berbahasa Sansekerta, bahkan hal itu dianggap perbuatan tidak etis (asusila). Akankah bahasa Arab, khususnya di Indonesia, mengalami nasib setragis kedua bahasa besar dunia tersebut ? Tentu tak ada yang bisa memberi garansi. Sebab upaya membumikan bahasa Arab di Indonesia sering berhadapan dengan tembok raksasa, utamanya adalah berupa kendala psikologis masyarakat Islam sendiri dalam memandang dan memposisikan bahasa Arab. Sebuah perlakuan yang kurang lebih hampir menyerupai dengan kasus yang pernah terjadi pada bahasa Yunani dan bahasa Sansekerta .
Bagi masyarakat Islam di Nusantara, bahasa Arab memegang andil yang cukup signifikan sebagai fase awal interaksi kultural, yang diharapkan dapat membawa dampak pada kehidupan sosio-ekonomi-politik. Namun yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah membebaskan bahasa Arab dari muatan-muatan ideologis yang “samawi”. Sesuatu yang salah kaprah dipahami oleh sebagian besar dari masyarakat Indonesia adalah mengidentikkan Arab dengan Islam. Bahasa sebagai alat komunikasi, informasi, edukasi, telah dilekati dengan muatan-muatan ideologis yang membelenggu bahasa tersebut, dan pada akhirnya mempersempit pemahaman masyarakat. Bahasa Arab yang diidentikkan dengan Islam, membuat kita selama ini sibuk barasyik-masyuk dengan buku-buku keislaman (soal-soal keagamaan). Hal itu melahirkan stigma, bahwa kalau tidak berisi ajaran Islam, tak ada tulisan Arabnya, berarti bukan buku Islam.
Pengkultusan yang berlebihan terhadap bahasa Arab bukan malah menempatkan bahasa Arab pada kedudukan paling tinggi, tapi justru semakin mengisolasi dan menjauhkan bahasa Arab dari dinamika sosialnya. Lebih jauh lagi bahkan bisa menimbulkan phobia bagi orang yang ingin mempelajarinya. Tidak sedikit di antara kita yang mengharuskan berwudlu’ terlebih dahulu sebelum belajar dan menyentuh teks-teks berbahasa Arab. Ada lagi sebagian dari kita yang begitu hormatnya terhadap bahasa Arab, begitu menemukan secuil kertas berbahasa Arab lalu dipungut dari jalan dan diselipkan di dalam kopyah sebagai tanda rasa penghormatan terhadap bahasa Arab, tanpa tahu apa isi dan makna tulisan Arab tersebut. Padahal, bisa jadi tulisan tersebut tentang kata-kata jorok, asmara, ejekan, atau bahkan umpatan sumpah-serapah. Ada lagi contoh lain, seorang ibu mendengarkan tape recorder, terdengar lagu Salam Min Ba’iid yang amat populer dinyanyikan Mas’ud Shidiq itu. Ketika mendengar lagu itu suasana menjadi hening seketika, seakan mendengar alunan ayat-ayat suci. Padahal kalau tahu isi dan makna sesungguhnya syair tersebut, tentu dia akan segera istighfar sebab isinya memang tentang rayuan asmara, puji-pujian senandung kasmaran, dan kidung cinta.
Substansi penghormatan yang sesungguhnya menurut Islam adalah bukan pada bahasanya, tetapi apa isi dan makna bahasa tersebut. Meski dengan tulisan atau bahasa Jawa sekalipun, jika isi dan makna tulisan tersebut tentang asma-asma Allah SWT atau kalimat-kalimat yang harus diagungkan, maka sesungguhnya itulah hakekat yang secara substansial mesti dihormati dan dijunjung setinggi-tingginya. Orang seringkali tidak mampu memilah-milah yang sakral dari yang profan. Sakralisasi terhadap bahasa Arab, pada akhirnya tidak akan menempatkan bahasa Arab pada posisi menguntungkan, tetapi sebaliknya malah akan menambah beban psikologis bahasa Arab semakin tidak ringan. Oleh karena itu sekularisasi bahasa Arab merupakan hal yang amat mendesak direalisasikan. Yang dimaksud sekularisasi di sini adalah melepaskan bahasa Arab dari “baju” atau “image” ajaran Islam, artinya menempatkan hal yang profan pada tempatnya, dan yang sakral juga pada tempatnya. Arab bukan hanya Islam, dan karena itu tidak identik dengan Islam. Dan Islam tidak hanya fiqh, akhlak, hadits, tashawwuf dan sebagainya. Dalam Islam juga ada politik, sosial-ekonomi, sastra-budaya, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan di negara-negara Arab saat ini -bahkan sudah cukup lama- terjadi perubahan struktur sosial, pergeseran wacana, perubahan perilaku sosial-politik masyarakat. Hal-hal tersebut dalam tataran tertentu belum dipahami dan dialami bangsa Indonesia. Sikap inklusif masyarakat Mesir misalnya, perlu dielaborasi agar wacana beragama dan bermasyarakat di Indonesia tidak lagi diwarnai golok, carok, jargon-jargon seram dan menakutkan. Perubahan-perubahan positif yang bersifat inklusif itulah yang perlu dikembangkan di Indonesia. Perkembangan dunia keilmuan dan juga bahasa-sastra di negara-negara Arab perlu ditransformasi, agar setidaknya terjadi interaksi kultural.
Momentum perang Irak yang terangkum dalam berita dan tayangan beberapa stasiun TV Arab seperti Al-Jazeerah, dan Al-Arabiyyah beberapa waktu lalu, bisa menjadi contoh kecil paling aktual mengenai interaksi kultural dan dinamika bahasa Arab sesungguhnya, dalam sirkulasi arus informasi dan komunikasi masyarakat global, di samping bahasa Inggris. Masyarakat semestinya semakin sadar kalau fungsi bahasa Arab tidak lagi hanya berkutat pada pusaran upacara-upacara ritual keagamaan Islam saja, melainkan telah amat jauh menembus batas fungsi-fungsi sebagai “bahasa yang hidup” dengan dinamika yang amat tinggi di berbagai aspek kehidupan modern.
Tidak terlambat bagi para pakar, pemerhati, dan peminat bahasa Arab di Indonesia untuk secara intens mensosialisasikan dan memperjuangkan signifikansi pembebasan bahasa Arab dari muatan-muatan ideologis yang besifat supranatural dan “samawi”. Ide sekularisasi bahasa Arab setidaknya bisa menjadi “state of the arts” bagi kajian-kajian dan berbagai studi linguistik Arab secara menyeluruh yang tujuannya tak lain adalah menghindarkan bahasa Arab jatuh ke wilayah esoterik. Membiarkan status quo bahasa Arab dalam cengkeraman agama (Islam), berarti sama halnya membiarkan bahasa Arab hidup dalam pasungan, oleh karenanya mesti segera dibebaskan. Sebab jika tidak, maka terulangnya kembali tragedi yang pernah menimpa bahasa Yunani dan bahasa Sansekerta pada bahasa Arab, bukanlah hal yang mustahil.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang (UM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar