Senin, 09 November 2009

BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF GENDER

BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF GENDER
(Upaya Mendudukkan Bahasa Arab Sebagai Produk Budaya dalam Studi Islam)
Moh. Roqib 

ملخص: اللغة العربية وليدة الحضارة العربية. ومسيرة هذه الحضارة كان ومازال يسودها النظام الأبوي. وهذا النظام الأبوي من نظر علم الاجتماع يؤدي إلى التحيز الجنسي في جميع مجالات الحياة. واللغة العربية باعتبارها وليدة الحضارة العربية الأبوية لتتأثر أنظمتها بها. ومن ثم إن هذا التحيز الجنسي الاجتماعي يؤدي إلى التحيز الجنسي في أنظمة اللغة العربية.

الكلمات الرئيسئة: الحضارة العربية، النظام الأبوي، اللغة العربية، التحيز الجنسي


Tulisan ini merupakan bagian awal dari perbincangan terkait dengan bahasa agama yang merupakan bagian dari produk manusia yang profan dan tidak perlu berlebihan dalam mengkultuskannya menjadi bagian dari ajaran agama yang profan. Dalam perspektif sosiologis, tulisan ini akan mengemukakan data-data historis dengan serba singkat terkait dengan bahasa Arab yang selama ini menjadi pusat kajian setiap Muslim. Pada tulisan berikutnya data-data historis, khususnya yang terkait dengan bahasa Arab, akan diberikan porsi pembahasan yang lebih memadai. Perbincangan ini lebih tepat sebagai pembuka perbincangan selanjutnya yang lebih fokus pada studi keislaman..
Pembahasan ini menarik karena bahasa agama seringkali dijadikan standar ajaran termasuk yang terkait dengan status sosial dan relasi jender. Bias-bias jender kemudian diklaim sebagai ajaran agama karena ditemukan dalam bahasa agama. Banyak hal ditemukan dalam fenomena sosial yang historis tetapi ditarik pada wilayah religius dan normatif sehingga hal-hal yang bersifat sosial dan merupakan produk budaya pada saat itu dirubah menjadi bagian dari dasar ajaran yang mempengaruhi pemikiran dan keberagamaan seseorang atau masyarakat.

FUNGSI SOSIAL BAHASA
Bahasa merupakan sistem aturan yang disepakati tentang rumus-rumus suara atau pernyataan yang digunakan untuk alat transfer pemikiran / pemahaman dan perasaan di antara sesama anggota masyarakat (Al-Khuly, 1982: 15). Bahasa memiliki peran sosial sebagai alat bagi anggota masyarakat untuk menjalankan relasi sosialnya baik pemikiran, perasaan maupun sentuhan seni. Dalam pernyataan yang ditimbulkan oleh bahasa terdapat perbedaan-perbedaan yang mengharuskannya mengalami perbedaan arti. Setiap kata memiliki arti. Kata yang diucapkan kedua setelah yang pertama walaupun redaksinya sama, akan memiliki arti yang berbeda. Apabila kata yang diulang memiliki arti yang sama maka kata yang diulang itu tidak memiliki arti dan hal demikian tidak akan dilakukan oleh orang yang memiliki nalar kebijakan (Al-‘Askary, 1979: 13-15).
Setiap bahasa memiliki fungsi. Ilmu yang mengkaji tentang fungsi bahasa dalam konteks sosial adalah sosiolinguistik (Soeharso, 1993: 463). Sosiolinguistik mempelajari ciri dan fungsi pelbagai bahasa serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1993: 4), dengan demikian mengkaji bahasa berarti memperhitungkan bahasa dengan masyarakat penutur bahasa itu (Rahardi, 2001: 13). Untuk itu harus dilakukan analisa bahasa yang mengkaji berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat berdasarkan status, fungsi prilaku yang berlaku di masyarakat terhadap bahasa (Choir, 1994: 71).
Tingkah laku manusia yang berkembang dari tingkat wacana sampai tingkat aksi, berujung pada peradaban yang diikuti oleh perkembangan bahasa. Hingga saat ini di dunia terdapat beribu-ribu macam bahasa (Tarigan, 1985: 2). Peradaban manusia selalu berkembang atau bergeser sesuai dengan perkembangan pola fikir manusia. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa bahasa adalah bagian dari peradaban manusia, semakin maju peradaban manusia akan semakin baik pula bahasanya. Hal ini terkait dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, alat berfikir dan alat pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, manusia dituntut berbahasa secara komunikatif agar mampu menerjemahkan informasi yang berkembang dan berubah. Dengan demikian bahasa juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi masyarakat itu sendiri karena ia berfungsi sebagai alat sosialisasi apa pun yang ada di masyarakat (Keraf, 1997: 130).
Bahasa memiliki fungsi dasar sebagai alat komunikasi antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, atau masyarakat dengan bangsa lain (Yusuf dan Anwar, 1995: 187). Secara kronologis fungsi bahasa adalah untuk menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi, alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan sebagai alat untuk kontrol sosial. Sebagai alat untuk mengungkap pikiran dan rasa seseorang bahasa dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitar penutur bahasa tersebut seperti pendengar, topik pembicaraan, kode yang digunakan, lokasi kejadian, dan amanat atau pesan pembicaraan (Chaer dan Agustina, 1995: 18).
Dengan demikian fungsi bahasa secara rinci adalah (1) sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini Roqib (1993: 17) menjabarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sebagai berikut (a) sebagai media peribadatan yang dilakukan secara bersama-sama seperti salat jamaah dan do’a (istighatsah), (b) untuk bermunajat (memohon) dan membaca sendiri (untuk diri sendiri) dengan nada tinggi, (c) untuk dialog-dialog sosial misalnya memberikan penghargaan, penghormatan, dan sopan santun pada orang lain pada upacara-upacara, (d) untuk menyembunyikan pemikiran pembicara dari realitas yang sebenarnya misalnya karena ia seorang politisi atau diplomat, (e) bahasa juga membantu seseorang untuk berfikir, karena tanpa bahasa seseorang tidak akan mampu berfikir. (2) Bahasa menciptakan sikap nasionalisme dan kesatuan bangsa. (3) Secara psikis bahasa merupakan media ekspresi rasa sebagai ungkapan rasa sedih, menangis, atau tertawa. (4) Dari sisi seni (suara) bahasa berfungsi sebagai pengisi waktu luang seperti untuk anak-anak atau orang dewasa dengan merasakan suara yang merdu dan indah dalam bentuk lagu-lagu.
Bahasa Arab, sebagaimana bahasa yang lain, memiliki fungsi sebagai alat komunikasi, transfer, dan pernyataan seseorang baik secara lisan maupun secara tertulis. Sesuatu yang ditransfer bisa berupa pemikiran, pengertian, perilaku, dan kesenangan, atau secara global yang ditransfer adalah pemikiran (Ya’qub, 1982: 22). Dengan demikian proses pengajaran bahasa bagi orang asing adalah pemahaman terhadap kebiasaan yang terkait dengan pemakai bahasa tersebut dengan cara malakukan pelatihan secara intensif (Abanamy dan Al-Muni’, tanpa tahun: 1).

BAHASA PRODUK PERADABAN
Sebagaimana produk peradaban yang lain, bahasa terkait dengan budaya yang berkembang di masyarakat di mana bahasa itu tumbuh dan berkembang. Sebagaimana disebutkan di depan bahwa dalam konteks sosial secara keilmuan bahasa sangat terkait dengan kehidupan sosial karenanya tumbuh ilmu sosiolinguistik yang mengkaji faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial, bagaimana konfensi pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku-sosial, apakah ada korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa (Chair dan Agustina, 1995: 5-6). Dengan sosiolinguistik perubahan bahasa dapat dipahami dengan mempelajari dorongan-dorongan sosial yang memacu bentuk-bentuk yang bervariasi di tengah lingkungan yang beraneka ragam (Ohoiwutun, 1997: 9).
Menarik apa yang dinyatakan oleh Chaer dan Agustina (1995: 47), bahwa perkembangan bahasa banyak bergantung pada penutur atau pengguna bahasa itu sendiri, baik variasi maupun struktur bahasa yang sudah ada. Masyarakat penutur bahasa adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai verbal repertoir yang sama, mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Verbal repertoir (semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur) diperoleh oleh penuturnya secara beragam dari pengalaman atau interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Hal itu mungkin diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya interaksi simbolik seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa atau daerah (Chaer dan Agustina, 1995: 48) yang dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan lahjah.
Terkait dengan relasi gender, bahasa mengalami proses yang panjang. Sebelum industri menjadi nyawa zaman, di seluruh muka bumi ini laki-laki dan perempuan hidup secara sangat terbedakan, mengalami diferensiasi tinggi, atau tergenderkan. Tugas dan alat masuk ke kawasan khas perempuan berbeda dari tugas dan alat di wilayah laki-laki. Ragam tuturan dan bahasa tubuh mereka berlainan ( Ivan Illich, 1998: viii) dan begitulah bahasa tersebut berkembang.
BAHASA ARAB SEBAGAI BUDAYA ARAB
Ibarat udara yang selalu kita hirup setiap hari, demikian pendapat dari Hidayat (1996: 3-4), bahasa juga bisa terkena polusi yang pada urutannya akan mendatangkan polusi dan penyakit pada sistem berfikir baik pada level individual maupun sosial. Bahasa pada sekali waktu dipahami sebagai alat (tool) dalam pengertian bahasa digunakan untuk berbuat sesuatu. Mengingat bahasa dan manusia tidak dapat dipisahkan, maka sesungguhnya kualitas dan gaya bahasa seseorang merupakan indikator kualitas kepribadiannya serta kultur dari mana ia dibesarkan. Bahasa adalah cermin jiwa.
Kebenaran dan kesucian bahasa Kitab Suci secara empiris bersifat relasional. Artinya apa yang dianggap suci dan meaningfull bagi sekelompok umat beragama tidak bisa secara serta merta diberlakukan bagi kelompok yang lain (Hidayat, 1996: 8). Bahasa agama juga menggunakan bahasa yang berkembang di mana agama tersebut diturunkan, dengan demikian tidak lepas dari proses sosial yang melingkupinya. Bahasa agama yang telah terbakukan dalam bahasa kitab suci juga akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan peradaban dan pola fikir masyarakat pemeluknya.
Bahasa, termasuk bahasa agama (dan bahasa Arab) adalah pandu realitas sosial. Bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran seseorang tentang masalah dan proses sosial. Pandangan seseorang tentang dunia dibentuk oleh bahasa; dan karena bahasa berbeda pandangan seseorang tentang dunia pun berbeda. (Rakhmat, 1994: 275-276). Kata tidak bermakna oranglah yang memberi makna. Ketika orang mendapatkan makna baru tetapi belum ditemukan kosa kata baru maka kreatifitas manusia akan menelurkan kosa kata yang sesuai dengan tradisi dan perkembangan yang ada. Hal yang sama juga terjadi pada bahasa agama (Arab bagi orang Islam).
Perkembangan Islam dan akulturasi budaya Arab karena bersentuhan dengan budaya asing (ajam), telah memotivasi sebagian ahli bahasa untuk membuat standar dan analog-analog kata dan pernyataan yang fasih sebagaimana sebelum terjadi proses akulturasi budaya tersebut. Abu al-Aswad al-Du’aly melakukan kerja mulia tersebut atas perintah dari khalifah terakhir Ali ibn Abi Thalib. Keterkaitan Arab dengan negara raksasa waktu itu, Parsi dan Romawi lewat perkawinan, perdagangan, pendidikan dan lainnya telah mempengaruhi model bacaan dan menimbulkan beberapa kesalahan (arti sebagaimana yang selama ini dipahami) yang cukup meresahkan karena merubah i’rab (bacaan akhir kata) sekaligus merubah arti (Al-Hasyimi, tanpa tahun: 61). Kondisi seperti ini, terkait dengan bahasa Arab sebagai bahasa agama diyakini sangat membahayakan karena terkait dengan ajaran agama terutama tentang hukum halal-haram.
Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa bahasa merupakan media untuk mengekspresikan fikiran dan perasaan penutur bahasa, lebih dari itu bahasa juga dapat menjadi ukuran (standar) pengetahuan masyarakat karena bahasa merupakan rumus atau tanda terhadap sesuatu yang mereka ketahui, bahasa juga media petunjuk perkembangan dan ketinggian peradaban suatu masyarakat (Shalih, 1962: 20). Karenanya bahasa Arab yang telah bersentuhan dengan budaya asing (ajam /non-Arab) mengalami perkembangan termasuk proses ta’rib (pengaraban). Bagi sebagian masyarakat tertentu segala sesuatu asal ditulis dengan bahasa Arab diklaim sebagai bagian dari ajaran agama karena bahasa Arab merupakan media kumunikasi dan bahasa Alquran dan al-Hadis dalam Islam.
Secara sosiologis, orang-orang di jaman Jahiliah (yakni jaman pra-Islam) merupakan masyarakat yang sangat tidak mengharapkan kelahiran anak perempuan. Memang ada beberapa pengecualian, hanya saja masyarakat secara keseluruhan memandang kelahiran seorang anak perempuan sebagai kabar buruk (Qs. 16: 58-59). Disebabkan kehinaan yang mereka terima karena lahirnya anak perempuan, orang-orang Arab pra-Islam itu melakukan praktik yang lazim berlaku (di kalangan mereka), yakni menguburkan bayi perempuan hidup-hidup, mereka juga melecehkan anak-anak perempuan dengan menisbatkannya pada Malaikat-malaikat. Dominasi peran laki-laki mungkin karena kekuatan fisik, dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan yang dikenakan fungsi reproduksi atas kaum perempuan (Hathout, 1996: 24-25). Bahasa Arab dikembangkan pada awalnya, dalam perspektif jender, saat kondisi sebagian masyarakat Arab melakukan kebencian yang luar biasa terhadap perempuan. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan, bahasa sangat terkait dengan kehidupan sosialnya.
Kondisi bias gender tersebut terus berkembang, hanya terhenti pada jaman Nabi Saw. dan al-Khulaf’ al-Rasyidun, kemudian sejak abad kesepuluh / keenam belas, jumlah dan proporsi perempuan dalam koleksi-koleksi biografis merosot drastis. Selain itu proporsi perempuan yang sedikit lebih besar dalam beberapa kamus periode ini mencakup perempuan-perempuan yang hidup pada abad-abad sebelumnya. Keberadaan seri koleksi biografis seratus tahun untuk abad-abad kesebelas/ketujuh belas, kedua belas/kedelapan belas, dan ketiga belas / kesembilan belas, memperkuat pandangan bahwa perempuan secara sistematis disingkirkan dari literatur biografi pada abad-abad sebelum modern (Roded, 1995: 229).
Proporsi besar perempuan-perempuan berilmu dan ahli hadis dalam kamus-kamus biografis klasik, juga pengaruh kuat studi hadis terhadap ulama, menurut Roded (1995: 229) karena peningkatan birokratisasi karir di bidang ilmu pengetahuan pada periode Usmaniah dan karena formalisasi tasawuf menjadi tarikat-tarikat peran-peran perempuan tersebut merosot tajam.
Pada jaman Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidun menurut Mernissi (1999: 151), perempuan memiliki peranan besar. Mereka berargumen sebagai sahabat-sahabat Nabi dan mengundang yang lain untuk berpartisipasi. Bukti paling kuat bahwa Allah dan Nabi menetapkan Islam sebagai penganjur kesetaraan pada abad ke-7 adalah bahwa, pada saat itu, kaum perempuan dapat meraih kedudukan tertinggi yaitu kedudukan sebagai sahabat. Ada peran penting bagi perempuan karenanya harus diberdayakan sebab ada logika yang mendasari yaitu jika seseorang mendidik seorang laki-laki berarti ia hanya mendidik seorang person, tapi bila ia mendidik seorang perempuan berarti ia telah mendidik seluruh keluarga, demikian kata presiden Tanzania Nyerere yang dikutip dalam sampul buku Tiada Jalan Pintas: Panduan untuk Pendamping Kelompok Perempuan. Akan tetapi, setelah beberapa dasawarsa kemudian setelah lewat masa pemerintahan khalifah pertama dengan naiknya Dinasti Umayyah ke panggung kekuasaan, para perempuan dari kalangan bangsa Arab mengambil alih. Pada masa awal sampai masa keemasan Islam, sebagai telah digambarkan di atas, bahasa Arab tumbuh dan berkembang sampai pada apa yang dikenal sekarang ini.

BUDAYA PATRIALKAN DALAM BAHASA ARAB
Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam atau yang dikenal dengan jaman Jahiliah, kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah dan buruk. Kaum perempuan saat itu dianggap tidak lebih berharga dari pada komoditi, perempuan diperlakukan seperti harta benda, misalnya yang menonjol adalah bahwa jika seorang suami meninggal dunia, saudara tuanya atau yang lain mendapat warisan untuk memiliki jandanya. Penguburan bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik kekerasan (violence) yang merupakan implikasi dari ideologi yang merendahkan kaum perempuan, yang menyebar ke dunia Arab pra-Islam.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa dalam konteks sosial secara keilmuan bahasa sangat terkait dengan kehidupan sosial karena tumbuh ilmu sosiolinguistik yang mengkaji faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial, bagaimana konfensi pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah-laku sosial, apakah ada korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa. Dengan Sosiolinguistik, perubahan bahasa dapat dipahami dengan mempelajari dorongan-dorongan sosial yang memacu bentuk-bentuk yang bervariasi di tengah lingkungan yang beraneka ragam
Secara sosiolinguistik budaya patrialkal juga sangat berpengaruh dalam perkembangan bahasa karena terkait dengan lima hal yaitu (1) who speak, siapa yang berbicara, terkait dengan bahasa Arab berarti orang-orang Arab beserta budaya yang melingkupinya, (2) what language, dengan menggunakan bahasa apa, dalam hal ini adalah bahasa Arab, (3) to whom (dengan siapa ia berbicara) dengan masyarakat Arab, (4) when, kapan terjadi peristiwa itu? pada saat bahasa Arab tersebut berkembang yaitu pada masa Jahiliyah dan awal Islam, dan (5) to what end, sampai kapan peristiwa itu berakhir, yaitu sampai bahasa Arab mencapai kemapanan yaitu saat puncak peradaban Islam teraih.
Puncak peradaban bangsa Arab pada saat itu benar-benar patriakhis dengan menempatkan laki-laki sebagai pusat peradaban. Peran-peran perempuan semakin minim walaupun pada awal Islam sangat mendapatkan apresiatif tinggi dan perempuan menemukan kehormatannya yang hakiki. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah peradaban bangsa Arab budaya patrialkhal kembali berkembang bersamaan dengan perkembangan bahasa Arab, sehingga bias-bias gender otomatis ditemukan juga dalam bahasa Arab.
Dengan demikian perkembangan bahasa banyak bergantung pada penutur atau pengguna bahasa itu sendiri, baik variasi maupun struktur bahasa yang sudah ada. Masyarakat penutur bahasa adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai verbal repertoir yang sama, mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Verbal repertoir (semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur) diperoleh oleh penuturnya secara beragam dari pengalaman atau interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Hal itu mungkin diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya interaksi simbolik seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa atau daerah.
Bentuk maskulin dan feminine baik yang digunakan dengan maksud untuk membedakan maupun bermakna umum merupakan bagian penting. Perspektif mengenai jenis kelamin, terutama pemahaman mengenai apa yang termasuk tabiat feminin dan maskulin serta peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, didasarkan pada konteks kultural seseorang. Bahasa yang memiliki gender (jenis kelamin) seperti bahasa Arab, melahirkan “prior text” tertentu bagi orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Inggris, Indonesia, dan bahasa lainnya tidak akan serupa ‘prior text’-nya dengan bahasa Arab. Perbedaan ini menjadi nyata ketika menafsirkan ayat dan kesimpulan yang ditarik dari ayat-ayat yang berhubungan dengan jenis kelamin (Muhsin, 1992: 9). Hal yang lebih detail terkait dengan ayat dan data sejarah bisa dibaca dalam bagian ke-2 buku Pendidikan Perempuan (Roqib: 2003). Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana aspek sosiologis sangat mempengaruhi terhadap perkembangan bahasa.

PENUTUP
Sebagai produk, peradaban bahasa --termasuk bahasa agama-- bersifat manusiawi yang qabilun li al-taghyir wa al-niqash, karenanya bisa diteliti dan dikritisi. Mentaqdiskan bahasa, jika salah kaprah dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan, paling tidak syirik khofi. Terkait dengan studi gender bahasa Arab sebagai bahasa agama cukup potensial mengalami bias-bias gender.
Dalam konteks kajian keislaman, mengkritisi bahasa yang tidak lepas dari aspek sosio-kultural, adalah kewajiban awal bagi muslim untuk menuju maqashid al-syariah yang dikehendaki Tuhan. Selain itu juga sebagai upaya mencari metode yang tepat guna menerapkan teks (Alquran dan al-Sunnah) yang berbahasa Arab tersebut dalam konteks sosial masa kini dan di sini. Metode yang oleh Kutowijoyo (2001) disebut dengan Strukturalisme transendental. Pemahaman terhadap latar belakang sosio-historis kebahasaaraban merupakan upaya untuk menggabungkan strukturalisme dengan aspek kesejarahan Arab lima belas abad silam yang merupakan masyarakat pra–industrial dan masyarakat kesukuan (tribal society).


DAFTAR RUJUKAN


Abanamy, Abdul Muhsin dan Muni’ Al-Muni’, Muni’. Tanpa tahun. Mudzakkirah fi Thuruq Tadris al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Natiqin biha. Indunisia: Ma’had al-Islamiyah wa al-‘Arabiyah.

Al-Asykari, Abu Hilal. 1979. Al-Furuq fi al-Lughah. Bairut: Dar al-Fikr.

Al-Hasyimi, Sayid Ahmad. Tanpa tahun. Al-Qawa’id al-Asasiyah li al-Lughah al-‘Arabiyah. Jakarta: Dinamika.

Al-Khuly, Muhammad Ali. 1982. Asalib Tadris al-Lughah al-Arabiyah. Riyadl: Mathabi’ al-Farazdaq wa al-Tijarah al-Mamlakah al-Sa’udiyah.

Chair, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hathout, Hassan. 1996. Revolusi Seksual Perempuan: Obstetri dan Ginekologi dalam Tinjauan Islam. Terjemhan oleh Tim Penerjemah Yayasan Ibnu Sina (Islamic Perspectives in Obstetrics & Gynaecology). Bandung: Mizan.

Hidayat, Komaruddin. 1996. Tradisi, Kemoderenan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS

Illich, Ivan. 1998. Matinya Gender. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi (Gender). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Keraf, Gorrys. 1997. Komposisi. Flores: Nusa Indah

Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah

Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Struturalisme Transendental. Bandung: Mizan.

Muhsin, Aminah Wadud. 1992. Wanita di dalam Alquran. Terjemahan oleh Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka

Mernissi, Fatima. 1999. Pemberontakan Wanita !: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Terjemahan oleh Rahmani Astuti. Bandung : Mizan.

Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguitik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro.

Rakhmat , Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode, Yogyakarta.

Roded, Ruth. 1995. Kembang Peradaban: Citra Wanita di mata Para Penulis biografi Muslim. Terjemahan oleh Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.

Roqib, Muhammad. 1993. Kitab Durus al-Lughah al-Arabiyah ‘ala al-Thariqah al-Haditsah: Dirasah Tahliliyah min Jihah al-Thariqah. Skripsi Tidak Diterbitkan Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Roqib, Muhammad. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta : Gama Media.

Soeharso, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: Grafindo Persada.

Shalih, Subhi. 1962. Dirasat fi Fiqh al-Lughah. Bairut: Mansyurat al-Maktabah al-Ahliyah.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.

Ya’qub, Amil Badi’. 1982. Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Khashaishuha. Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah.

Yusuf, Tayar dan Anwar, Saiful. 1995. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa. Jakarta: Rajawali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar