Senin, 09 November 2009

PENGEMBANGAN BAHASA SANTUN MENURUT PRINSIP ALQURAN

PENGEMBANGAN BAHASA SANTUN MENURUT PRINSIP ALQURAN

Sofyan Sauri

ملخص: تعتمد هذه الدراسة على المظاهر اللغوية بالجميع الذين بدأوا إهمال القيم التهذيبة(politeness) . تعود التهذيب اللغوي في القرآن إلى ستة أسس: قولا شديدا، قولا معروفا، قولا بليغا، قولا مشورا، قولا كريما، وقولا لينا. وتنتج التفسير و التحليل اللغوي في الدراسة 26 قيمة أدبية في التهذيب اللغوي. ونتمكن باستفادتها في المجال التربوي.

الكلمات الرئيسة: القرآن, الأسس في اللغة، اللغة التهذيبية.


Dewasa ini, bahasa yang digunakan di kalangan remaja kita tidak lagi menunjukkan ciri dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi etika dan kelemahlembutan. Budaya dan adat ketimuran yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia mungkin tidak lagi menjadi bagian dari jati diri bangsa, jika pergeseran budaya ini tidak diantisipasi secara dini.
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia sejak awal penciptaannya sebagaimana diisyaratkan oleh Alquran surat al-Rahman ayat 4, “allamahu al bayan” artinya: “Allah mengajarkan (manusia) pandai berbicara” (QS, 55:4). Kata ‘al-bayan dan al-qaul” menurut Rahmat (1993) merupakan dua kata kunci yang dipergunaka Alquran untuk berkomunikasi.
Dalam hal bahasa dan berbahasa ini, antara lain Dahlan (2001) menegaskan bahwa Alquran menampilkan enam prinsip yang sesogyanya dijadikan pegangan saat berbicara. Pertama, Qaula Sadidan, (QS.4 an-Nisa :9), yaitu berbicara dengan benar. Kedua, Qaulan Ma’rufa, (QS. an-Nisa .8), yaitu berbicara dengan menggunakan bahasa yang menyedapka hati, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura. Ketiga, Qaulan Baligha, (QS. 4 an-Nisa: 63), yaitu berbicara dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, tepat. Ini berarti bahwa bicaranya efektif. Keempat, Qaulan Maysuran, (QS. 17 al-Isra:28), yaitu berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa. Kelima, Qaulan Karima, (QS. 17 al-Isra: 23), yaitu berbicara kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia. Keenam, Qaulan Layyinan, (QS. 20 Thaha:44), yaitu berbicara dengan lembut.
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses pelestarian dan pewarisan budaya berbahasa ini adalah pendidikan. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun, sebab mereka adalah generasi penerus yang akan hidup pada zamannya. Bila anak dibiarkan dengan bahasa mereka, tidak mustahil bahasa santun yang sudah ada pun bisa hilang dan selanjutnya lahir generasi yang arogan, kasar, dan kering dari nilai-nilai etika dan agama. Pengamatan menunjukkan bahwa akibat dari ungkapan bahasa yang kasar dan arogan di kalangan remaja, seringkali menyebabkan perselisihan dan perkelahian antar mereka. Sebaliknya, mereka yang terbiasa berbahasa santun pada umumnya mampu berperan sebagai anggota masyarakat yang baik.
Ucapan dan perilaku santun tersebut merupakan salah satu gambaran dari manusia utuh yang menjadi tujuan pendidikan, yaitu manusia yang berkepribadian (Sumaatmadja dalam Mulyana, dkk, 1999:18). Kesantunan berbahasa terkait langsung dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Jika masyarakat menerapkan norma dan nilai secara ketat, maka berbahasa santun pun menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas makalah ini akan difokuskan kepada pertanyaan prinsip-prinsip apa saja yang diajarkan Alquran berkaitan dengan berbahasa santun.
Untuk mengungkap ayat-ayat Alquran digunakan metode hermenetika atau tafsir, yaitu menafsirkan atau menginterpretasi ayat-ayat yang diteliti. Menginterpretasi berfungsi menunjukkan arti: mengkatakan, menuturkan, mengungkap, membiarkan tampak, membukakan sesuatu yang merupakan pesan realitas (Poespoprodjo, 1987:192). Karena itu menafsirkan tidak berarti menerjemahkan atau memindahkan bahasa, tetapi mengungkap makna yang dikandung suatu kalimat, wacana, atau ayat.
Menafsirkan ayat didasarkan kepada makna yang dikandung dalam struktur bahasanya, disesuaikan dengan kaidah-kaidah baku dalam penafsiran Alquran mempertimbangkan makna yang dikaitkan dengan ungkapan yang sama dalam konteks ayat yang lain. Hasil yang diperoleh dari penafsiran itu diperkuat, diperkaya, atau dikembangkan dengan hasil penafsiran para ahli tafsir. Penafsiran tersebut kemudian dikembangkan dan diberi interpretasi dalam perspektif pendidikan.

KAJIAN BERBAHASA SANTUN DALAM ALQURAN
Santun dalam istilah Alquran bisa diidentikkan dengan akhlak dari segi bahasa, karena akhlak berarti ciptaan, atau apa yang tercipta, datang, lahir dari manusia dalam kaitan dengan perilaku. Perbedaan antara santun dengan akhlak dapat dilihat dari sumber dan dampaknya. Dari segi sumber, akhlak datang dari Allah Sang Pencipta, sedangkan santun bersumber dari masyarakat/budaya. Dari segi dampak dapat dibedakan, kalau akhlak dampaknya dipandang baik oleh manusia atau masyarakat sekaligus juga baik dalam pandangan Allah. Sedangkan santun dipandang baik oleh masyarakat, tetapi tidak selalu dipandang baik menurut Allah. Kendatipun demikian dalam pandangan Islam, nilai-nilai budaya bisa saja diadopsi oleh agama sebagai nilai-nilai yang baik menurut agama. Inilah yang dikenal dengan istilah ma’ruf. Ma’ruf berasal dari kata ‘urf, yaitu kebiasaan baik yang berlaku di masyarakat yang juga dipandang baik menurut pandangan Tuhan.
Alquran diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Karena itu, Alquran memberikan tuntunan berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi manusia. Dalam berkomunikasi Hasnan (1993:15) menyebutkan bahwa ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya.
Alquran menampilkan enam prinsip yang seyogyanya dijadikan pegangan dalam berbicara, yaitu:

a. Qaulan sadidan (QS. 4:9; 33:70)
Perkataan qaulan sadidan diungkapkan Alquran dalam konteks pembicaraan mengenai wasiat. Al- Maraghi (1943: Juz 3:64) melihat konteks ayat yang berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak yatim, juga tentang perintah terhadap mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan yang bernada kasih sayang. Rahmat (1994:77) mengungkap makna qaulan sadidan dalam arti pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak bohong, tidak berbelit-belit. Senada dengan itu, At- Thabari (1988, juz.3: 273) dan Al- Baghawi (725H:405) menambahkan makna qaulan sadidan dengan kata adil. Sementara Al-Buruswi (1996: juz 4:447), menyebutkan qaulan sadidan dalam konteks tutur kata kepada anak-anak yatim yang harus dilakukan dengan cara yang lebih baik dan penuh kasih sayang, seperti kasih sayang kepada anak sendiri.
Memahami pandangan para ahli tafsir di atas dapat diungkapkan bahwa qaulan sadidan dari segi konteks ayat mengandung makna kekuatiran dan kecemasan seorang pemberi wasiat terhadap anak-anaknya yang digambarkan dalam bentuk ucapan-ucapan yang lemah lembut (halus), jelas, jujur, tepat, baik dan adil. Lemah lembut artinya cara penyampaian menggambarkan kasih sayang yang diungkapkan dengan kata-kata yang lemah lembut. Jelas mengandung arti terang sehingga ucapan itu tidak ada penafsiran lain. Jujur artinya transparan; apa adanya; tidak ada yang disembunyikan. Tepat artinya kena sasaran; sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan sesuai pula dengan situasi dan kondisi. Baik berarti sesuai dengan nilai-nilai, baik nilai moral-masyarakat maupun ilahiyah. Sedangkan adil mengandung arti isi pembicaraan sesuai dengan kemestiannya; tidak berat sebelah atau memihak.
b. Qaulan ma’rufan (QS. 4:5, QS.2:235, 4:5 dan 8, 23:32(
Secara bahasa arti ma’ruf adalah baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (Shihab 1998:125). Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat lingkungan penutur. Amir (1999:85) menyebut arti qaulan ma’rufan sebagai perkataan yang baik dan pantas. Baik artinya sesuai dengan norma dan nilai, sedangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkannya.
Apabila dilihat dari konteks ayat, Alquran menggunakan kalimat tersebut dalam konteks peminangan, pemberian wasiat dan waris. Karena itu qaulan ma’rufan mengandung arti ucapan yang halus sebagaimana ucapan yang disukai perempuan dan anak-anak; pantas untuk diucapkan oleh maupun untuk orang yang diajak bicara..
Al- Buruswi (1996 juz 22:504) menyebutkan qaulan ma’rufan sebagai ungkapan bahasa yang baik dan halus seperti ucapan seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dipersuntingnya. Sementara At- Thabari (1988,Juz 22:3)) menyebutkan qaulan ma’rufan mengandung nada optimisme (harapan) dan do’a. Dalam bagian lain ia menyebutkan qaulan ma’rufan mengandung arti ucapan yang dibolehkan yang indah, baik dan benar. Sementara Ash- Shiddiqi (1977:258) menyebutnya sebagai perkataan yang baik, yaitu kata-kata yang tidak membuat orang lain atau dirinya merasa malu. Senada dengan itu Khozin (725:203 dan 404) menyebutkan qaulan ma’rufan sebagai perkataan yang baik, benar, menyenangkan dan disampaikan dengan tidak diikuti oleh celaan dan cacian. Sementara Al-Jauhari (tt.Juz,2:10) mengartikannya sebagai ucapan yang sesuai dengan hukum dan ketentuan akal yang sehat (logis).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa qaulan ma’rufan itu mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus, baik, indah, benar, penuh penghargaan, dan menyenangkan, serta sesuai dengan kaidah hukum dan logika. Dalam pengertian di atas tampak bahwa perkataan yang baik itu adalah baik dalam arti, bahasa yang digunakan yaitu bahasa yang dapat dipahami oleh orang yang diajak bicara dan diucapkan dengan cara pengungkapan yang sesuai dengan norma dan diarahkan kepada orang (obyek) yang tepat.
c. Qaulan balighan (QS.4:63)
Qaulan balighan diartikan sebagai pembicaraan yang fasih jelas maknanya, dan terang, serta tepat mengungkapkan apa yang dikehendakinya. Al- Buruswi (1996 juz 5:175) memaknai qaulan balighan , dari segi cara mengungkapkannya, yaitu perkataan yang menyentuh dan berpengaruh pada hati sanubari orang yang diajak bicara. Menyentuh hati artinya cara maupun isi ucapan sampai dan terhayati oleh orang yang diajak bicara. Sedangkan berpengaruh kepada hati artinya kata-kata itu menjadikan terpengaruh dan merobah perilakunya.
Lebih lanjut Al- Maraghi (1943:129) mengaitkan qaulan balighan dengan arti tabligh sebagai salah satu sifat Rasul (Tabligh dan baligh berasal dari kata dasar yang sama- balagha), yakni Nabi Muhammad diserahi tugas untuk menyampaikan peringatan kepada umatnya dengan perkataan yang menyentuh hati mereka. Senada dengan itu, Ibnu Katsir (1410:743) menyatakan makna kalimat ini yaitu menasehati dengan ungkapan yang menyentuh sehingga mereka berhenti dari perbuatan salah yang selama ini mereka lakukan.
Dari sisi lain Ash- Shiddiqi (1977:358) memaknai qaulan balighan dari segi gaya pengungkapan, yaitu perkataan yang membuat orang lain terkesan. Sementara Rahmat (1994:81) mengartikannya dari sudut komunikasi, yakni ucapan yang fasih, jelas maknanya, tenang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki, karena itu qaulan balighan diterjemahkannya sebagai komunikasi yang efektif. Efektifitas komunikasi ini terjadi apabila komunikator menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya. Qaulan balighan mengandung arti pula bahwa komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus sehingga komunikasi dapat terjadi secara tepat atau efektif.
Pandangan para ahli di atas, qaulan balighan diartikan sebagai ucapan yang benar dari segi kata, dan efektif dari segi sasaran atau ranah yang disentuhnya.
d. Qaulan maysura (QS.17:28)
Menurut bahasa qaulan maysuran artinya perkataan yang mudah. Almaragi (1943, jilid 2:190) mengartikannya dalam konteks ayat ini yaitu ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan.
Dilihat dari situasi dan kondisi ketika ayat ini diturunkan (asbab nuzul) sebagaimana diriwayatkan oleh Saad bin Mansur yang bersumber dari Atha Al-Khurasany (tt:290) ketika orang-orang dari Muzainah meminta kepada Rasulullah supaya diberi kendaraan untuk berperang fi sabilillah. Rasulullah menjawab; “Aku tidak mendapatkan lagi kendaraan untuk kalian”. Mereka berpaling dengan air mata berlinang karena sedih dan mengira bahwa Rasulullah marah kepada mereka. Maka turunlah ayat ini sebagai petunjuk kepada Rasulullah dalam menolak suatu permohonan supaya menggunakan kata-kata yang lemah lembut.
Katsir (2000 jilid 3:50) menyebutkan makna qaulan maysuran dengan ucapan yang pantas, yakni ucapan janji yang menyenangkan, misalnya ucapan: “Jika aku mendapat rizki dari Allah, aku akan mengantarkannya ke rumahmu”.
Dalam tafsir Departemen Agama RI disebutkan bahwa qaulan maysuran apabila kamu belum bisa memberikan hak kepada orang lain, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. Dalam pada itu kamu berusaha untuk mendapatkan rizki dari Tuhanmu sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Dari konteks ayat yang ada, maka qaulan maysuran merupakan ucapan yang membuat orang mempunyai harapan dan menyebabkan orang lain tidak kecewa. Dapat pula dikatakan bahwa qaulan maysuran itu perkataan yang baik yang di dalamnya terkandung harapan akan kemudahan sehingga tidak membuat orang lain kecewa atau putus asa. Sementara At-Thabari (1988, Juz 15:67) menambahkan makna indah dan bernada mengharapkan. Sementara itu, Hamka (1983 Juz 15:50) mengartikan qaulan maysuran adalah kata-kata yang menyenangkan, bagus, halus, dermawan, dan sudi menolong orang.
Qaulan maysuran, dilihat dari segi asbab nuzul, kaitan teks maupun konteksnya adalah ucapan yang membuat orang lain merasa mudah, bernada lunak, indah, menyenangkan, halus, lemah lembut dan bagus, serta memberikan optimisme bagi orang yang diajak bicara. Mudah artinya bahasanya komunikatif sehingga dapat dimengerti dan berisi kata-kata yang mendorong orang lain tetap mempunyai harapan. Ucapan yang lunak adalah ucapan yang diucapkan dengan pantas atau layak. Sedangkan ucapan yang lemah lembut adalah ucapan yang baik dan halus sehingga tidak membuat orang lain kecewa atau tersinggung. Dengan demikian qaulan maysuran memberikan rincian operasional bagi tata cara pengucapan bahasa yang santun.
e. Qaulan layyinan (QS. 20:44)
Qaulan layyinan dari segi bahasa berarti perkataan yang lemah atau lembut. Berkata layyinan adalah berkata lemah lembut. Lemah lembut mengandung makna strategi sebagaimana diungkapkan Al- Maraghi, (1943:156) bahwa ayat ini berbicara dalam konteks pembicaraan Nabi Musa menghadapi Firaun. Allah mengajarkan agar Nabi Musa berkata lemah lembut agar Firaun tertarik dan tersentuh hatinya sehingga dapat menerima dakwahnya dengan baik. Katsir (2000:243) menyebut qaulan layyinan sebagai ucapan yang lemah lembut.
Senada dengan itu, Ash- Shiddiqi (1968:829) memaknai qaulan layyinan sebagai perkataan yang lemah lembut yang di dalamnya terdapat harapan agar orang yang diajak berbicara menjadi teringat pada kewajibannya atau takut meninggalkan kewajibannya. At- Thabari (1988:169) menambahkan arti baik dan lembut pada kata layyinan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan qaulan layyinan adalah ucapan baik yang dilakukan dengan lemah lembut sehingga dapat menyentuh hati orang yang diajak bicara. Ucapan yang lemah lembut dimulai dari dorongan dan suasana hati orang yang berbicara. Apabila ia berbicara dengan hati yang tulus dan memandang orang yang diajak bicara sebagai saudara yang ia cintai, maka akan lahir ucapan yang bernada lemah lembut. Dampak kelemahlembutan itu akan membawa isi pembicaraan kepada hati orang yang diajak bicara. Komunikasi yang terjadi adalah hubungan dua hati yang akan berdampak pada terserapnya isi ucapan oleh orang yang diajak bicara. Akibatnya ucapan itu akan memiliki pengaruh yang dalam, bukan hanya sekedar sampainya informasi, tetapi juga berubahnya pandangan, sikap, dan perilaku orang yang diajak bicara.
f. Qaulan kariman (QS.17:23)
Dari segi bahasa qaulan kariman berarti perkataan mulia. Perkataan yang mulia adalah perkataan yang memberi penghargaan dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara.
Al- Maraghi (1943:62) menafsirkan qaulan kariman dengan menunjuk kepada pernyataan Ibn Musyayyab yaitu ucapan mulia itu bagaikan ucapan seorang budak yang bersalah di hadapan majikannya yang galak. Katsir menjelaskan makna qaulan kariman dengan arti lembut, baik, dan sopan disertai tata krama, penghormatan dan pengagungan.
Melihat gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa qaulan kariman memiliki pengertian mulia, penghormatan, pengagungan, dan penghargaan. Ucapan yang bermakna qaulan kariman berarti ucapan yang lembut berisi pemuliaan, penghargaan, pengagungan, dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara. Sebaliknya ucapan yang menghinakan dan merendahkan orang lain merupakan ucapan yang tidak santun.
Enam prinsip komunikasi sebagaimana yang diungkapkan di atas, berdasarkan analisis para ahli tafsir mengandung pengertian bahwa Alquran menuntun orang agar berbahasa santun. Adapun ciri bahasa santun menurut enam prinsip di atas adalah ucapan yang memiliki nilai :
1) kebenaran, 2) kejujuran, 3) keadilan, 4) kebaikan, 5) lurus, 6) halus, 7) sopan, 8) pantas, 9) penghargaan, 10) khidmat, 11) optimisme, 12) indah 13) menyenangkan, 14) logis, 15) fasih, 16) terang, 17) tepat, 18) menyentuh hati, 19) selaras, 20) mengesankan, 21) tenang, 22) efektif, 23) lunak, 24) dermawan, 25) lemah lembut, dan 26) rendah hati.
Berdasarkan kajian dan analisis di atas, di bawah ini diungkapkan prinsip dan makna berbahasa santun sebagai berikut:
1) benar, artinya: betul (tidak salah); lurus; adil. (Poerwadarminta, 1985). Sesuatu dianggap benar, harus berdasarkan ukuran dan sumber yang jelas. Kebenaran yang bersumber dari manusia atau masyarakat adalah kebenaran yang relatif, karena manusia atau masyarakat itu berkembang dan berubah. Kebenaran yang mutlak hanya datang dari Allah Yang Maha Mutlak. Benar, dalam ukuran manusia adalah sesuainya ucapan dengan kenyataan (realita). Sementara realita di kalangan manusia diartikan dalam pengertian yang beragam. Karena itu, kebenaran menurut manusia pun akan beragam pula. Dalam hal ini mengungkapkan sesuai dengan kriteria kebenaran dan tidak bohong.
2) jujur, artinya: lurus hati, tidak curang (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang jujur adalah ungkapan bahasa yang isinya mengandung kebenaran apa adanya, sesuai dengan data atau realita. Penyampaiannya dilakukan dengan polos; tanpa mempengaruhi atau memihak;
3) adil, artinya: tidak berat sebelah (tidak memihak), sepatutnya, tidak sewenang-wenang (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang adil adalah ungkapan bahasa yang isinya sesuai dengan kemestiannya, tidak berat sebelah atau mengandung subyektifitas tertentu;
4) baik, artinya: elok; patut; teratur; apik; rapih; beres; tak ada celanya; berguna; tidak jahat, tentang kelakuan budi pekerti (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang baik adalah ungkapan bahasa yang diucapkan sesuai dengan kaidah pengucapan atau bahasa, isinya menunjukkan nilai kebaikan dan kebenaran, dan diucapkan sesuai dengan situasi dan kondisi;
5) lurus, artinya: lempang (betul; tidak bengkok atau tidak lengkung); tegak benar; jujur; terus terang tepat; benar; betul, sebetulnya; sebenarnya (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang lurus adalah ungkapan bahasa yang tepat sesuai dengan tujuannya, baik berkaitan dengan isinya yang benar maupun berkaitan dengan caranya yang tidak menyimpang atau bertele-tele;
6) halus, artinya: tidak kasar; (budi bahasa); sopan; beradab (Poerwadarminta, 1985); Bahasa yang halus adalah bahasa yang sesuai dengan tingkat dan derajat orang yang mengucapkan dan mendengarnya. Dalam bahasa Sunda terdapat undak-usuk bahasa yang digunakan pada tingkat masyarakat tertentu. Bahasa halus untuk tingkatan yang tinggi, misalnya ucapan dari anak ke ayah atau dari bawahan ke atasan. Yang dimaksud halus dalam bahasa santun adalah ekpresi berbahasa yang menggambarkan kehalusan budi pembicara serta penghargaan terhadap lawan bicaranya;
7) sopan, artinya: hormat dengan takdzim, beradab (tingkah laku, tutur kata, dan perkataan); tahu adat; baik budi bahasanya, adat istiadat yang baik; tata krama; peradaban; kesusilaan (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang sopan adalah ungkapan bahasa yang isi maupun caranya sesuai dengan norma masyarakat;
8) pantas, artinya: patut; layak; sesuai dengan; sepadan; sesuai benar (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang pantas adalah ungkapan bahasa yang sesuai dengan tingkat atau status orang yang mengucapkan dan mendengarnya;
9) penghargaan, artinya: perbuatan (hal) menghargai; penghormatan; dan perhatian (Poerwadarminta, 1985). Bahasa penghargaan adalah ungkapan bahasa yang mengandung penghargaan, ucapan yang tidak merendahkan orang yang diajak bicara, karenanya orang yang diajak bicara merasa diperhatikan, dihargai, dan dihormati;
10) khidmat, artinya: melayani atau cara memberikan pelayanan dengan penuh hormat (Poerwadarminta, 1985). Bahasa khidmat adalah ungkapan bahasa yang disampaikan dengan gaya atau cara mengungkapkan bahasa yang memberikan perhatian kepada orang yang diajak bicara. Apabila seseorang berbicara dengan berorientasi kepada orang yang menjadi lawan bicaranya, maka orang itu akan merasa dilayani dan diperhatikan dengan baik;
11) optimisme, artinya: sikap atau pandangan hidup yang dalam segala hal dipandang kebaikannya saja (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang optimis adalah ungkapan bahasa yang dilakukan dengan gaya dan pilihan kata yang membuat orang lain merasa memiliki harapan dan masa depan yang lebih baik ;
12) indah artinya: elok, bagus benar, mahal harganya; sangat berharga (Poerwadarminta, 1985); Bahasa yang indah adalah ungkapan bahasa yang menarik; tidak membuat orang lain bosan dan menyenangkan hati orang yang mendengarkannya;
13) menyenangkan, artinya; menjadikan senang; menyukakan hati; memuaskan hati (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang menyenangkan adalah ungkapan bahasa yang mengandung isi dan disampaikan dengan cara dan gaya bahasa yang menyenangkan orang lain yang mendengarkannya;
14) logis, artinya: masuk pada akal; sesuatu kejadian yang memang telah demikian seharusnya (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang logis adalah ungkapan bahasa yang isinya masuk akal dan disampaikan dengan cara yang wajar;
15) fasih, artinya: bersih dan baik (pemakaian bahasa); lancar dan baik lafalnya (dalam berbahasa dan bercakap-cakap) (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang fasih adalah ungkapan bahasa yang diucapkan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat yang jelas, terang dan dapat dimengerti;
16) terang, artinya: jelas; tegas; sah; tak meragukan; sudah terbukti kebenarannya; sudah mengerti benar; sudah ketahuan; sudah berketentuan (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang terang adalah ungkapan bahasa yang jelas dan tidak mengundang penafsiran yang berbeda bagi orang yang mendengarnya;
17) tepat, artinya: kena benar (kepada sasarannya), tujuannya, persis, cocok, jitu, dan kena (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang tepat adalah ungkapan bahasa yang mengenai sasaran dan diungkapkan dalam kata-kata yang sesuai dengan situasi dan kondisi
18) menyentuh hati, artinya: kena di hati (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang menyentuh hati adalah ungkapan bahasa yang isi maupun kata-katanya berkenaan dengan hati dan perasaan;
19) selaras, artinya: setara; sesuai; sepadan; sama keadaannya (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang selaras adalah bahasa yang sesuai baik isi maupun caranya dengan kenyataan, situasi dan kondisi;
20) mengesankan, artinya: meninggalkan, memberi kesan (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang mengesankan adalah bahasa yang mampu memberikan kesan kepada pendengarnya;
21) tenang, artinya: tidak gelisah, tidak ribut, tidak kacau, tidak tergesa-gesa (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang tenang adalah ungkapan bahasa yang diucapkan sesuai dengan kondisi jiwa yang tenang, karena itu ucapan tidak disampaikan secara terburu-buru atau tergesa-gesa;
22) efektif, artinya: ada efeknya (pengaruhnya, kesannya), manjur; mujarab; mempan (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang efektif adalah ungkapan bahasa yang singkat, jelas, tidak bertele-tele dan kena sasaran;
23) lunak, artinya: lembut; tidak keras; tidak lekas marah; sabar; tidak terlampau keras mempertahankan pendiriannya (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang lunak adalah ungkapan bahasa yang diucapkan dengan lemah lembut;
24) dermawan, artinya: pemurah hati; suka berderma; (bersedekah, beramal) (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang dermawan adalah ungkapan bahasa yang mengandung penghargaan kepada orang lain;
25) lemah lembut artinya: tidak keras; tidak keras hati; baik hati; peramah (Poerwadarminta, 1985). Bahasa yang lemah-lembut adalah pengembangan dari bahasa yang halus dari segi cara menuturkannya yang mengungkapkan kerendahan hati dan kasih sayang terhadap lawan bicara sehingga lawan bicaranya itu merasa dihargai dan diberi perhatian;
26) rendah hati, yaitu ungkapan bahasa yang menunjukkan kerendahan hati; tidak sombong atau takabur (Poerwadarminta, 1985).

PRINSIP-PRINSIP BERBAHASA SANTUN DALAM ALQURAN
Berdasarkan kajian berbahasa santun dalam Alquran di atas, dapat diambil prinsip-prinsip yang berisi patokan-patokan nilai yang seyogyanya terkandung dalam berbahasa. Alquran menitikberatkan kepada dimensi nilai yang dapat diterima semua masyarakat secara universal. Prinsip-prinsip tersebut seperti berikut ini.
a. Prinsip kebenaran, yaitu ungkapan bahasa yang mengandung pesan yang sesuai dengan kriteria kebenaran berdasarkan ukuran dan sumber yang jelas.
b. Prinsip kejujuran, yaitu ungkapan bahasa yang isinya mengandung kebenaran apa adanya, sesuai dengan data atau realita.
c. Prinsip keadilan, yaitu ungkapan bahasa yang isinya sesuai dengan kemestiannya, tidak berat sebelah atau mengandung subyektifitas tertentu.
d. Prinsip kebaikan, adalah ungkapan bahasa yang sesuai dengan kaidah pengucapan atau bahasa, isinya menunjukkan nilai kebaikan dan kebenaran, dan diucapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
e. Prinsip kelemahlembutan, yaitu bahasa yang mengungkapkan kerendahan hati dan kasih sayang terhadap lawan bicara sehingga lawan bicaranya itu merasa dihargai dan diberi perhatian.
f. Prinsip penghargaan adalah ungkapan bahasa yang tidak merendahkan orang sehingga pendengar merasa diperhatikan, dihargai, dan dihormati.
g. Prinsip kepantasan, yaitu ungkapan bahasa yang sesuai dengan tingkat atau status orang yang mengucapkan dan mendengarnya.
h. Prinsip ketegasan, yaitu ungkapan bahasa yang jelas, tidak bertele-tele dan sesuai dengan keharusannya.
i. Prinsip kedermawanan, yaitu ungkapan bahasa yang mengandung penghargaan kepada orang lain.
j. Prinsip kehati-hatian, yaitu ungkapan bahasa yang mempertimbangkan pesan dan caranya sehingga terhindar dari kesalahan.
k. Prinsip kebermaknaan, yaitu ungkapan bahasa yang berisi atau mengandung arti; bukan omong kosong.
Ke sebelas prinsip tersebut merupakan implementasi dari peran manusia sebagai individu, anggota masyarakat, dan makhluk Allah yang bertugas sebagai khalifah dan hamba-Nya. Tugas kemanusiaan itu menjadi acuan dalam berkomunikasi dengan bahasa. Karena itu dalam prinsip di atas tergambarkan peran manusia sebagai makhluk bermartabat di hadapan manusia lainnya dan sebagai hamba di hadapan Allah. Karena itu berbahasa santun merupakan gambaran dari manusia yang memiliki kesalehan sosial.

SIMPULAN
Berdasarkan kajian terhadap berbahasa santun dalam Alquran, dapat diambil suatu simpulan, bahwa kesantunan berbahasa dalam prespektif Alquran mengacu pada prinsip-prinsip: kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan, kelemahlembutan, peghargaan kepantasan, ketegasan, kedermawanan, kehati-hatian, dan kebermaknaan.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Baghawi, Muhammad, H. (tt). Tafsir Al Khozin, Beirut: Al Maktabah Al Tijariyyah.
Al-Buruswi, Ismail,H. (1996). Terjemahan Tafsir Ruhul Bayan Juz 5. Bandung: CV Dipenogoro.
Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr.
Alquran dan Terjemahannya. (1989). Jakarta: Departemen Agama RI.
Al-Thabari, J. (1988). Jamiu al bayan an ta’wili Al Quran Juz 4,5,15, 16,22. Bairut:Dar el Fikr.
Amir,M. (1999). Etika Komunikasi Masa dalam pandangan Islam. Jakarta: Logos.
Ashiddiqi, H. (1977). Tafsir al-Bayan Jilid 1,2. Bandung: Al- Maarif.
Assamarkandi, A. (1987). Tanbihul Ghafilin. Surabaya; PT Bina Ilmu.
Assuyuti, J. (1983). Ad-Dur Al-Mantsur fi At-Tafsir bi al-Ma’tsur. Bairut:Dar Al Fikr.
Dahlan, M,D. dan Syihabuddin. (2001). Kunci-kunci Menyingkap Isi Al Quran. Bandung: Pustaka Fithri.
Dahlan,M,D. Penyunting. (1995). Terjemahan tafsir Ruhul Bayan. Juz 1. Bandung:Dipenogoro.
Dahlan, M,D. (2001) Nilai Al Quran dalam Memelihara Tutur Kata. (makalah tidak diterbitkan 4 Desember 200).
Dahlan,M,D. (2002). Karakteristik Penelitian Kualitatif (Versi McMilan & Schumacher, 2001. PPS UPI.
Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasnan,I. (1993). “Audientia” Komunikasi Menurut Pendekatan Islam. Jurnal Komunikasi:I (1), 15-21.
Kamus Besar bahasa Indonesia. (1999). Jakarta: Balai Pustaka.
Katsir, I. (1410H). Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma’arif.
Khozin. (725 H). Tafsir Al-Khozin. Bairut Lubnan: dar el-Fikr.
Mulyana, dkk. (1999). Cakrawala Pendidikan Umum. Bandung: Ikatan Mahasiswa dan Alumni Pendidikan Umum PPS IKIP Bandung.
Muthahhari, M. (1990). Perspektif Al Quran tentang Manusia dan Agama (terjemahan). Bandung: Mizan.
Purwadarminta, W,J,S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rakhmat, J. (1994). “Audienta” Prinsip-Prinsip Komunikasi Menurut Al Quran: Jurnal Komunikasi. I (1). 35-56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar