Kamis, 27 Mei 2010

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN TERJEMAH AL-QURAN UNTUK ANAK DENGAN METODE LITERAL

A. Judul Penelitian
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN TERJEMAH AL-QURAN UNTUK ANAK DENGAN METODE LITERAL
B. Bidang Ilmu
Bahasa Arab
C. Pendahuluan
Motivasi orang mempelajari bahasa Arab sangat beragam, mulai dari tujuan bisnis sampai tujuan agama. Tujuan bisnis ini lebih didasarkan pada kondisi negara-negara Arab sebagai ‘petro dolar’, penghasil minyak terbesar di dunia sehingga berbondong-bondong orang asia termasuk Indonesia masuk ke negara-negara Arab sebagai tenaga kerja, di samping itu ada juga yang belajar bahasa Arab untuk menjadi penterjemah, diplomat, guru dan lain sebagainya. Motivasi pertama ini ternyata tidak begitu signifikan bila dibandingkan dengan motivasi kedua, yaitu motivasi agama. Terbukti banyaknya lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Arab sebagai alat memperdalam agama seperti pondok pesantren. Sementara itu kursus-kursus bahasa Arab untuk profesi, sebagaimana bahasa asing lain, amatlah jarang. Hal ini bisa dipahami karena sumber utama hukum dan norma Islam –al-Quran dan Hadis- berbahasa Arab.
Belakangan ini marak penyelenggaraan program pembelajaran terjemah al-Quran terutama di daerah perkotaan. Fenomena ini relatif baru karena biasanya orang yang ingin belajar al-Quran atau agama harus pergi ke pondok pesantren, madrasah diniyah atau lembaga pendidikan agama yang lain untuk mempelajari bahasa Arab terlebih dahulu dan itupun memakan waktu yang relatif lama minimal 3 – 4 tahun. Program pembelajaran terjemah al-Quran yang sekarang marak itu cukup memberi harapan besar bagi siapapun yang mau mendalami al-Quran tanpa memandang backround pendidikan dan profesinya. Dengan menggunakan metode sedemikian rupa sehingga lama pembelajaran tidak dalam hitungan tahun lagi, tapi bulan, hari bahkan hitungan jam, misalnya program terjemah al-Quran “Istiqlal” sistem 40 jam.
Tidak dipungkiri bahwa dari sisi kuantitas mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam bahkan penduduk muslim terbesar di dunia, namun dari sisi kualitas keberagaman perlu kita kaji kembali. Pembelajaran baca tulis al-Quran (baca: Taman Pendidikan al-Quran/TPQ) yang mengalami kebangkitan sejak awal tahun 90-an sampai sekarang masih semarak di mana-mana. Ini merupakan fenomena yang cukup menggembirakan, hanya saja muncul satu pertanyaan: cukupkah al-Quran –yang berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman hidup muslim- itu dibaca dan ditulis saja? Bagaimanakah kelanjutan pembelajaran al-Quran pasca TPQ (baca: belajar baca tulis al-Quran)?
Berbagai macam program terjemah al-Quran telah ditawarkan, bermacam-macam metode dan strategi sudah diciptakan, meski demikian porsi program, metode dan strategi pembelajaran terjemah al-Quran untuk anak yang telah ditulis dan ditawarkan bisa dibilang amat langka. Banyak contoh metode terjemah al-Quran sebut saja metode Granada, metode Istiqlal, metode Bahasa Arab Qurani. Metode-metode di atas sangat sulit diterapkan untuk anak-anak, selain lebih menekankan pendekatan gramatikal juga penggunaan bahasa yang penuh istilah linguistik, terlebih lagi pola penterjemahan global (baca: kalimat).
Para pakar pembelajaran bahasa untuk anak di antaranya Scott, Lee, dan Borridge (dalam Rahmawati, 2000) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran anak, di antaranya adalah harus berpijak pada dunia anak. Dunia anak adalah dunia bermain, bercanda dan bergembira. Dari sinilah perlu ada sebuah metode pembelajaran terjemah yang sesuai dengan dunia anak.


D. Perumusan Masalah
- Bagaimanakah efektifitas penerapan metode literal dalam pembelajaran terjemah al-Quran
- Bagaimanakah pola pengembangan pembelajaran terjemah al-Quran untuk anak dengan metode literal

E. Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk:
- mengetahui efektifitas penerapan metode literal dalam pembelajaran terjemah al-Quran
- mengembangkan pola pembelajaran terjemah al-Quran untuk anak dengan metode literal


F. Tinjauan Pustaka
a. Konsep terjemah
Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah diambil dari bahasa Arab tarjamah. Bahasa Arab sendiri juga memungut istilah itu dari bahasa Armenia, turjuman (Didawi, 1992: 37) yang berarti orang yang mengalihkan tuturan bahasa satu ke bahasa lain.
Az-Zarqani (dalam Syihabuddin, 2002:6) mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah memiliki empat makna, yaitu:
(a) Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. Makna terdapat dalam puisi berikut:
إن الثمانين – وبلغتها – قد أحوجت سمعي إلى ترجمان
Usia 80 tahun, dan aku telah mencapainya, pendengaranku memerlukan penerjemah
(b) menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dengan bahasa Indonesia pula.
(c) Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan lebih lanjut dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya.
(d) Memindahkan tuturan dari suatu bahasa ke bahasa lain, seperti mengalihkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Karena itu penerjemah bisa juga disebut pengalih bahasa.
Makna etimologis di atas memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menterjemah berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik tuturan itu sama dengan bahasa yang dijelaskannya atau berbeda.
Lebih lanjut Az-Zarqani mendefinisikan terjemah sebagai berikut:
التعبير عن معنى كلام في لغة بكلام آخر من لغة أخرى مع الوفاء بجميع معانيه ومقاصده .
Terjemah adalah sebuah ungkapan tentang arti sebuah kalimat dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dengan memenuhi semua arti dan maksudnya


b. Asumsi-asumsi dalam penerjemahan
Menurut Syihabuddin (2002:14-15) ada beberapa asumsi dalam kegiatan penterjemahan, baik pada bidang teori, praktik, pengajaran, maupun evaluasi terjemahan, yaitu:
1. Penerjemahan merupakan kegiatan yang kompleks. Artinya bidang ini menuntut keahlian penerjemah yang bersifat mulidisipliner, yaitu kemampuan dalam bidang teori menerjemah, penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran berikut kebudayaannya secara sempurna, pengetahuan tentang berbagai bidang ilmu, dan kemampuan berfikir kreatif.
2. Budaya suatu bangsa berbeda dengan bahasa yang lain, karena itu pencarian ekivalensi antara keduanya merupakan kegiatan utama yang dilakukan seorang penerjemah.
3. Penerjemah berkedudukan sebagai komunikator antara pengarang dan pembaca. Dia sebagai pembaca yang menyelami makna dan maksud nash sumber, dan sebagai penulis yang menyampaikan pemahamannyakepada orang lain melalui sarana bahasa supaya orang lain memahaminya.
4. Terjemahan yang baik ialah yang benar, jelas dan wajar.
5. Terjemahan bersifat otonom, artinya terjemahan hendaknya dapat menggantikan nash sumber atau nash terjemahan itu memberikan pengaruh yang sama kepada pembaca seperti pengaruh yang ditimbulkan nash sumber.
6. Penerjemah dituntut untuk menguasai pokok bahasan, pengetahuan tentang bahasa sumber dan pengetahuan tentang bahasa penerima.
7. Pengajaran menterjemah dituntut untuk mengikuti landasan teoritis penerjemahan dan kritik terjemah.

2. Prinsip dan Strategi Pembelajaran Bahasa Arab untuk Anak
Salah satu prinsip umum pembelajaran adalah bahwa pembelajaran hendaknya dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik individual siswa yang menyangkut perkembangan emosional, perkembangan intelektual, kondisi sosial dan lingkungan budaya (Muhaiban, 2004).
Di samping prinsip di atas para ahli pembelajaran bahasa untuk anak di antaranya Scott, Lee, dan Borridge (dalam Rahmawati, 2000) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran yaitu:
1. Berpijak pada dunia anak
2. Berangkat dari sesuatu yang sudah diketahui dan mudah
3. Dikaitkan dengan hal-hal yang menjadi interes anak
4. Menggunakan bahasa sederhana
5. Tugas diorientasikan pada efektifitas kegiatan
6. Bahan dikombinasikan antara yang fiksi dan nonfiksi
7. Materi diorientasikan pada dua komponen bahasa (kosa kata dan struktur) dan empat ketermpilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
8. Budaya nasional dan asing diperkenalkan secara bertahap
9. Pokok-pokok pembelajaran dan tugas-tugas disesuaikan dengan usia pembelajar
Untuk memilih dan menentukan strategi pembelajaran bahasa Arab untuk anak, guru hendaknya terlebih dahulu memahami dengan baik prinsip-prinsip pembelajaran dan karakteristik siswa yang akan diajar. Karakteristik siswa tersebut antara lain menurut Muhaiban (2004): (1) siswa masih belajar dan senang berbicara tentang lingkungan mereka, (2) senang bermain, (3) senang mempraktekkan sesuatu yang baru diketahui atau dipelajari, (4) cenderung bertanya, (5) cenderung senang mendapatkan perhargaan, dan (6) cenderung mau melakukan sesuatu karena dorongan dari luar.
Adapun menurut Yudhi Heriwibowo (2002:20) secara umum ada tiga hal yang biasanya sangat disukai anak, yaitu: (1) gambar dengan warna-warna yang mencolok, (2) suara atau lagu, (3) cerita dan dongeng. Dalam mengajarkan bahasa yang didukung media jangan sampai tidak menyertakan tiga unsur di atas dan menghindai kesan terlalu serius dan kaku.
Asy-Sya’ban (dalam Ainin, 2002) juga mengemukakan beberapa prinsip yang harus dilperhatikan oleh guru dalam pemilihan materi, yaitu materi pembelajaran dimulai (1) dari hal yang diketahui oleh siswa ke hal yang belum diketahui, (2) dari yang paling mudah ke hal yang paling sulit, (3) dari yang paling sederhana ke hal yang paling kompleks, (4) dari yang kongkrit ke hal yang abstrak, dan (5) dari hal yang praktis ke hal yang teoritis.

Metode Literal dalam Pembelajaran Terjemah
Model penterjemahan literal adalah model penterjemahan kata demi kata yang oleh Larson dan Smalley (dalam Widyamartaya, 1994:24) disebut glossing atau interlinear translation. Di sini penterjemah mencara ekuivalen kata satu lawan satu. Menurut Bathgate model terjemahan kata demi kata atau terjemahan lurus, yang juga disebut literal translation, merupakan uji pertama penterjemahan. Bila hasilnya memadai baik dari segi makna maupun segi siruasi, selesailah. Model ini punya peranan penting dalam proses penterjemahan, sekurang-kurangnya menyadarkan kita bahwa penterjemah yang baik harus selalu mengupayakan kata yang setepat-tepanya.
Syihabuddin (2002) berpendapat bahwa objek metode ini merentang mulai penerjemahan kata demi kata, frase demi frase, kolokasi demi kolokasi, bahkan kalimat demi kalimat. Namun semakin panjang unit terjemahan literal, maka semakin sulit metode ini diterapkan.
Metode penterjemahan literal tampak pada contoh berikut ini:
وكما أن القشرة السفلى ظاهرة النفع بالإضافة إلى القشرة السفلى فإنها تصون اللب وتحرسه عن الفساد عند الادخار وإذا فصلت امكن أن ينتفع بها حطبا لكنها نازلة القدر إلى اللب وكذلك مجرد الاعتقاد من غير كشف كثير النفع بالإضافة إلى الكشف والمشاهدة التي تحصل بانتشار الصبر وانفساحه وإشراق نور الحق به
Sebagaimana kulit terbawah itu tampak manfaatnya dengan dikaitkan kepada kulit teratas, maka ia menjaga isi dan memeliharanya dari kerusakan ketika menyimpan. Apabila dipisahkan mungkin bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, tetapi turun kadarnya dengan dikaitkan kepada isi, begitu juga semata-mata keyakinan, tanpa tersingkap banyak manfaatnya di samping pada penyingkapan dan penyaksian yang berhasil dengan terbukanya dada dan kelapangannya, tersinarnya nur kebenaran padanya (Terjemah Ihya’ Ulumuddin, 1981:283).

Contoh di atas menunjukkan bahwa penerjemah mengalihkan nash sumber ke nash penerima secara literal, yaitu huruf demi huruf, kata demi kata, frase demi frase, klausa demi klausa, dan struktur demi struktur dialihkan secara persis dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia tanpa mempedulikan apakah urutan itu berterima atau tidak dalam bahasa penerima.
Meskipun prosedur literal kurang mampu menghasilkan terjemahan yang jelas, pemakaiannya tidak terelakkan, terutama dalam penerjemahan nash yang menggunakan metode setia dan metode semantis. Prosedur inipun ditempuh oleh penerjemah pada saat dia menjumpai struktur nash yang rumit sehingga diperlukan analisis struktur dan semantis yang rinci.


G. Kontribusi Penelitian
H. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pengembangan (developmental research), karena penelitian ini berusaha mengkaji masalah praktis, maksudnya masalah yang menghasilkan produk (Nurchasanah, 2001). Produk penelitian ini berupa alternatif model pengembangan media komputer untuk pembelajaran bahasa Arab untuk anak usia TK.
Karena penelitia ini adalah penelitian pengembangan, maka penelitian ini tidak memiliki data sebagai objek yang diteliti, tetapi sebenarnya memiliki sumber informatif yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan model, seperti hasil penelitian terdahulu, informasi dan pendapat dari guru-guru TK dan dari teman-teman sejawat dan dari para pakar.
Hasil penelitian terdahulu dipakai sebagai dasar untuk melihat jenis media yang selama ini digunakan. Sedangkan informasi dan pendapat dari guru, teman sejawat, dan para pakar dimanfaatkan sebagai bahan pengembangan model. Selain itu dimanfaatkan juga teori-teori tentang media, pembelajaran bahasa, psikologi anak, komputer pendidikan sebagai landasan teoritis. Informasi-informasi tersebut diperoleh dengan cara berdiskusi dan memberikan angket kepada sasaran (guru-guru TK). Guru-guru yang harus mengisi angket adalah guru-guru TK Islam dan TK yang mengajarkan bahasa Arab di Kota Malang.
Adapun realisasi pendekatan pengembangan akan terlihat pada strategi pelaksanaan berikut ini:
a. Pengkajian Teori
Hasil pengkajian teori dimanfaatkan sebagai landasan teoritis pengembangan model. Teori-teori yang dimaksud adalah teori tentang media pembelajaran untuk anak, komputer anak, pengajaran bahasa, psikologi anak.
b. Survey
Survey dilakukan terhadap hasil penelitian terdahulu. Selain itu, dilakukan pula analisis terhadap informasidan pendapat yang diberikan oleh guru TK, teman sejawat, dan para pakar yang diperoleh dari kegiatan berdiskusi dan mengisi angket.
c. Pengembangan model
Hasil pengkajian teori dan hasil survey dipakai sebagai landasan pengembangan model. Setelah model dikembangkan dilakukan pemantapan dengan cara berdiskusi dengan teman sejawat dan para pakar.
d. Uji Model
Model yang sudah dikembangkan diuji efektifitas pemakaiannya. Efektifitas model yang dikembangkan akan bisa dilhat dari: (1) hasil yang diukur setelah sasaran (anak-anak) menggunakan model media komputer yang sudah dikembangkan, (2) keaktifan sasaran pada waktu belajar dengan menggunakan media komputer, dan (3) kegairahan dan ekspresi simpatik anak terhapat permainan yang digunakan.
e. Revisi Model
Hasil uji model dan saran-saran dari para pakar dan teman sejawat, serta saran-saran dari para guru dipakai sebagai dasar merevisi model jika diperlukan revisi.
Setelah model pembelajaran bahasa Arab dengan media komputer dihasilkan, akan dicobapakaikan di TK untuk mengukur efektifitasnya. Efektifitas pemekeian ini akan dilihat dari:
a. keberhasilan tujuan pembelajaran di TK
b. responsi pada waktu belajar: kecepatan menghafal, keberanian berbicara dan kecerian dalam belajar
c. efektifitas waktu yang digunakan untuk belajar bahasa Arab.


I. Jadwal Pelaksanaan
J. Personalian Penelitian
K. Perkiraan Biaya Penelitian
L. Lampiran-Lampiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar