Kamis, 27 Mei 2010

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Portofolio

1. Pengertian Portofolio
Istilah portofolio memang baru muncul di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, namun substansinya sebenarnya sudah sering dipraktikkan sejak lama oleh guru-guru meskipun dalam bentuk yang belum sistematis seperti sekarang. Sehingga dapat dikatakan bahwa portofolio sebenarnya barang lama yang dikemas dengan kemasan baru.
Selama ini orang lebih mengenal istilah portofolio dalam lapangan pemerintahan, yakni digunakan untuk menyebut salah satu jabatan menteri, yakni menteri yang tidak memimpin departemen. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah minister without portfolio, artinya adalah menteri yang tidak memimpin deparetemen, alias menteri Negara. Dalam lapangan pendidikan dan pengajaran, yang telah dikenal agak luas adalah portofolio sebagai suatu cara penilaian (portfolio based assessment). Sedangkan istilah portofolio sebagai model pembelajaran relatif masih belum dikenal secara luas.
Portofolio sebenarnya dapat diartikan sebagai suatu wujud benda fisik, sebagai suatu proses social pedagogis, maupun sebagai adjective. Sebagai suatu wujud benda fisik, portofolio itu adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya hasil tes awal (pre-test), tugas-tugas, catatan anekdot, piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes akhir (post-test), dan sebagainya. Sebgai suatu proses sosial pedagogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran peserta didik baik yang berwujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapun sebagai suatu adjective, portfolio sering kali disbanding dengan konsep lain, misalnya dengan konsep pembelajaran dan penilaian. Jika disandingkan dengan konsep pembelajaran, maka dikenal istilah pembelajaran berbasis portofolio (portfolio based learning), sedangkan jika disandingkan dengan konsep penilaian, maka dikenal istilah penilaian berbasis portofolio (portfolio based assessment).
Portofolio berarti koleksi dokumen atau tugas-tugas yang diorganisasikan dan dipilih untuk mencapai tujuan dan sebagai bukti nyata dari seseorang yang memiliki pertumbuhan dalam bidang pengetahuan, disposisi, dan keterampilan (Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Kewarganegaraan (Citizenship), SMU, 2001).
Shaklee at. al, (1997:143) menyatakan bahwa “portofolio merupakan sesuatu yang berharga dan merupakan inovasi pendidikan”, secara lengkap diungkapkan sebagai berikut:
This is the most worthwhile educational innovation I have done in a long time. After twenty-seven years in the classroom, I have finally learned how to use my observations and notes to make better decisions for my students. What else could be more important?

Portofolio merupakan temuan yang sangat berharga di bidang pendidikan. Setelah dua puluh tujuh tahun mengajar, akhirnya saya mengetahui bagaimana menggunakan pengamatan dan catatanku untuk membuat keputusan yang lebih baik bagi siswaku.
Sedangkan Paulson dan Meyer (1991) mendifinisikan portofolio sebagai:
A purposeful collection of student work that exhibit the student’s efforts, progress and achievements in one or more areas. The collection must include student participation in selecting contents, the criteria for selection, the criteria for judging merit and evidence of student self-reflection.

Portofolio merupakan sebuah kumpulan karya siswa yang memiliki tujuan menunjukkan usah siswa, perkembangan dan prestasi siswa dalam satu bidang atau lebih. Kumpulan tersebut harus melibatkan siswa dalam memilih isi, criteria pemilihan, dan kriteria penilaian.
Portofolio tidak hanya untuk merancang pengajaran tetapi juga digunakan untuk evaluasi pengajaran. Sebagaimana diketahui bahwa dalam proses belajar-mengajar guru berfungsi sebagai perancang, pelaksana, dan penilai. Dalam ketiga fungsinya ini guru hendaknya melaksanakan dengan baik. Evaluasi merupakan unsur pengajaran yang sangat penting karena hanya dengan evaluasi guru dapat mengetahui tingkat perkembangan siswanya dan sekaligus mengetahui sejauh mana keberhasilan pengajaran yang dilakukannya.
Dari berbagai penjelasan di atas, Dasim (2003) menyimpulkan bahwa portofolio merupakan kumpulan pekerjaan peserta didik dengan maksud tertentu dan terpadu yang diseleksi menurut panduan-panduan yang ditentukan. Panduan-panduan ini beragam tergantung pada mata pelajaran dan tujuan penilaian portofolio itu sendiri. Portofolio biasanya merupakan karya terpilih dari seorang siswa. Tetapi dapat juga berupa karya terpilih dari satu kelas secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan untuk memecahkan masalah.
Istilah “karya terpilih” merupakan kata kunci dari portofolio. Maknanya adalah bahwa yang harus menjadi akumulasi dari segala sesuatu yang ditemukan para siswa dari topik mereka harus memuat bahan-bahan yang menggambarkan usaha terbaik siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, serta mencakup pertimbangan terbaiknya tentang bahan-bahan mana yang paling penting. Oleh karena itu, portofolio bukanlah kumpulan bahan-bahan yang asal comot dari sana sini, tidak ada relevansinya satu sama lain, ataupun bahan yang tidak memperlihatkan signifikansinya sama sekali.

2. Prinsip Dasar Portofolio
Jika diamati secara seksama, sekurang-kurangnya ada lima prinsip dasar yang di bawakan model pembelajaran portofolio ini. Kelima prinsip dasar yang dimaksud adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, mengajar yang reaktif (reactive teaching), dan prinsip belajar yang menyenangkan (joyfull learning). Prinsip-prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Prinsip Belajar Siswa Aktif (student active learning)
Proses pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Portofolio berpusat pda siswa. Dengan demikian model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktivitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan.
Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidenfikasi masalah dengan menggunakan teknik burse ide (brain strorming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, di samping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.
Dalam fase kegiatan lapangan, aktivitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-lain. Mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat skets, membuat kliping, bahkan ada kalanya mengabdikan peristiwa penting dalam video.
Pada fase pelaporan aktivitas mereka terfokus pada pembuatan portofolio kelas. Segala bentuk data dan informasi disusun secara sistematis dan disimpan pada sebuah bundel (portofolio seksi dokumentasi). Adapun data dan informasi yang paling penting dan menarik (eyes catching) ditempel pada portofolio seksi penanyangan, yaitu papan panel yang terbuat dari kardus bekas atau bahan lainyang tersedia. Setelah portofolio selesai dibuat, dilakukanlah public hearing dalam kegiatan show-case dihadapanb dewan juri. Kegiatan ini merupakan puncak penampilan siswa, sebab segala jerih payah siswa diuji dan diperdebatkan di hadapan dewan juri.
b. Kelompok Belajar Kooperatif (cooperative learning)
Proses pembelajaran dengan model ini juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerja sama antarsiapa? Tiada lain adalah kerja sama antarsiswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerja sama antarsiswa jelas terlihat pada sat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama. Semua pekerjaanm disusun, orang-orangnya ditentukan, siapa mengerjakan apa, merupakan satu bentuk kerjasama itu.
Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga sering kali harus dilakukan kerja sama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olah raga di sekolah. Dalam hal ini perlu dicari jalan keluarnya, yakni membicarakannya dengan guru olah raga sekolah. Apakah jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerja sama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal serupa juga sering kali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerja sama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.
Kerja sama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas perpakiran untuk mengetahui kebijakan mengenai perpakiran. Mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya. Kegiatyan para siswa itu tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggung jawab kegiatan sekolah.
c. Pembelajaran partisipatorik
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning by doing). Salah satunya bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Mengapa terdapat pelakonan hidup berdemokrasi? Sebab dalam tiap langkah dalam model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktek hidup berdemokrasi.
Sebagai contoh pada saat memilih masalah untukkajian kelas memiliki makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung adigium yang menyatakan bahwa “democracy is not heredity but learning”(demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Sebab dalam kenyataannya tidak ada jaminan anak dari seorang ayah yang democrat akan menjadi seorang democrat pula. Yang mungkin terjadi adalah seorang ayah yang democrat, mendidik dan membina anaknya tentang hidup berdemokrasi dalam suasana pergaulan yang demokritis, sehingga pada suatu ketika ia menjadi seorang democrat pula. Dengan demikian, menjadikan seorang democrat harus melalui proses pendidikan yang demokratis pula.
Oleh karena itu mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.
d. Reaktive Teaching (reactive teaching)

Untuk menerapkan model pembelajaran berbasis portofolio, guru perlu menciptakan strategi yang tepat agar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi. Motivasi yang tinggi akan dapat tercipta jika guru dapat meyakinkan siswa akan kegunaan materi pelajaran bagi kehidupan nyata. Guru juga harus dapat mencipotakan situasi sedemikian rupa sehingga materi pelajaran selalu menarik, tidak membosankan. Guru harus memiliki sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa. Jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari cara untuk mengubahnya. Inilah tipe guru yang reaktif.
Guru yang reaktif di antaranya apat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
♪ Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
♪ Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
♪ Selalu berupaya membangkitkan mootivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.
♪ Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.
Model pembelajaran berbasis portofolio menyaratkan guru yang reaktif, sebab tidak jarang pada awal pelaksanaan model ini, siswa ragu dan bahkan malu untuk mengemukakan pendapat. Hal tersebut terjadi oleh karena secara empirik potensi dan kemampuan siswa bervariasi. Ada siswa yang sudah terbiasa mengemukakan pendapat, berdiskusi, bahkan berdebat, akan tetapi siswa yang lain banyak yang tidak demikian. Dalam keadaan seperti itu, guru hendaknya dapat memberikan dorongan dan motivasi. Caranya adalah dengan memberikan penghargaan kepada setiap pendapat siswa bagaimanapun kualitasnya. Jika setiap pendapat siswa dihargai, lama- kelamaan pada diri mereka muncul kepercayaan dirinya untuk tidak malu-malu lagi mngemukakan pendapat.
e. Prinsip Dasar Belajar yang Menyenangkan (joyfull learning).
Salah satu teori belajar menegaskan bahwa sesulit apapun materi pelajaran apabila dipelajari dalam suasana yang menyenangkan pelajaran tersebut akan mudah dipahami. Sebalaiknya walaupun materi pelajaran tidak terlampau sulit untuk dipelajari, namun apabila suasana belajar membosankan, tidak menarik, apalagi siswa belajar di bawah tekanan, maka pelajaran akan sulit dipahami. Atas dasar pemikiran tersebut, maka agar para siswa mudah memahami materi pelajaran, mereka harus belajar dalam suasana yang menyenangkan, penuh daya tarik dan penuh motivasi.
Model pembelajaran berbasis portofolio menganut prinsip dasar bahwa belajar itu harus dalam suasana yang menyenangkan (joyfull learning). Melalui model ini para siswa diberi keleluasaan untuk memilih tema belajar yang menarik bagi dirinya. Misalnya kelas yang sedang mempelajari bahasa merencanakan membuat proyek belajar, yaitu mengidentifikasi sejumlah masalah aktual yang ada di masyarakat, kemudian memilih salah satu di antaranya untuk bahan kajian kelas. Fase selanjutnya mereka terjun ke masyarakat mencari data dan informasi untuk memecahkan masalah tersebut. Pengalaman terjun ke masyarakat adalah salah satu pengalaman belajar riil yang menyenangkan bagi mereka, di samping melatih sejumlah kompetensi untuk hidup bermasyarakat, seperti misalnya memiliki kemampuan melakukan wawancara, melakukan observasi membuat laporan perjalanan, mampu bergaul dengan masyarakat, menyelami aspirasi mereka, dan sebagainya. Kompetensi-kompetensi tersebut kelak di kemudian hari sangat bermanfaat bagi para siswa untuk hidup di masyarakat. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada hakikatnya pendidikan dilakukan untuk membuat siswa siap menghadapi hidupnya.

B. Portofolio sebagai Proses Belajar Mengajar (Portfolio Based Learning)
Portofolio sebagai proses belajar mengajar diawali oleh isu/masalah yang memerlukan suatu pemecahan (problem solving). Wujudnya suatu tampilan yang dituangkan pada panel atau poster berukuran kurang lebih 100 cm yang berasal dari kardus/papan/gabus/steroform yang pada umumnya berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) berjajar, dan dapat berdiri tanpa penyangga. Namun tidak menutup kemungkinan berbentuk lain sesuai dengan daya kreatifitas siswa, dengan syarat tetap komunikatif. Portofoilio sebagai proses belajar dilakukan secara kelompok.
Dengan demikian, yang dimaksud portofolio di sini adalah suatu kumpulan pekerjaan siswa dengan maksud tertentu dan terpadu yang diseleksi menurut panduan-panduan yang ditentukan. Panduan-panduan ini beragam tergantung pada mata pelajaran dan tujuan penilaian portofolio. Biasanya portofolio merupakan karya terpilih dari seorang siswa, tetapi dalam model pembelajaran ini setiap portofolio berisi karya terpilih dari satu kelas secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif memilih, membahas, mencari data, menganalisis, dan mencari pemecahan terhadap suatu masalah yang dikaji.
Setiap portofolio harus memuat bahan-bahan yang menggambarkan usaha terbaik siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, serta mencakup pertimbangan terbaiknya tentang bahan-bahan mana yang paling penting untuk ditampilkan. Tampilan portofolio berupa tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis, melukiskan proses berfikir yang didukung oleh seluruh data yang relevan. Secara utuh melukiskan “integrated learning experience” atau pengalaman belajar yang terpadu dan dialami oleh siswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan.
Strategi pembelajaran (instruksional strategy) yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi inquiry learning, discovery learning (belajar penemuan), problem solving learning (belajar memecahkan masalah), dan research oriented learning (belajar mengamati) yang dikemas dalam model “Project” oleh John Dewey.
Portofolio sebagai PBM ini terbagi dalam dua bagian yakni:


1) Portofolio Tampilan
Portofolio tampilan pada umumnya berbentuk papan empat muka berlipat kurang lebih berukuran 100 cm, namun tidak menutup kemungkinan berbentuk lain sesuai daya kreatifitas siswa, dengan syarat tetap komunikatif. Bentuk lain tersebut seperti segi tiga sama sisi, lingkaran, oval ataupun bentuk-bentuk lainnya yang secara berurutan menyajikan:
a. rangkuman permasalahan yang dikaji
b. berbagai alternatif untuk mengatasi masalah
c. usulan kebijakan untuk mengatasi masalah
d. membuat rencana tindakan.
2) Portofolio Dokumentasi
Portofolio dokumentasi dikemas dalam map ordener, file atau sejenisnya yang disusun secara sistematis mengikuti urutan/langkah-langkah portofolio tampilan. Portofolio tampilan dan dokumentasi selanjutnya disajikan dalam suatu simulasi atau dengar pendapat (public hearing) yang dapat menghadirkan pejabat setempat yang terkait dengan masalah yang dikaji. Acara dengar pendapat dapat dilakukan di masing-masing kelas atau dalam suatu acara “show case” atau “gelar kemampuan/kasus” bersama dalam suatu acara sekolah, misalnya di akhir triwulan atau akhir semester. Bila dikendaki, arena “show case” tersebut dapat pula dijadikan arena “contest” atau kompetisi untuk memilih kelas portofolio terbaik, dan selanjutnya dikirim ke dalam “show case and contest” antarsekolah dalam lingkungan kota/kabupaten, propinsi atau bahkan ke tingkat nasional.

C. Portofolio Penilaian (Assessment Based Portfolio)
1. Pengertian Portofolio Penilaian
Suatu penilaian selalu berkaitan antara mengajar dan belajar. Dalam portofolio penilaian, guru dalam kelas adalah pasangan suatu tim, siswa bekerja dengan guru unutk menetapkan tujuan pembelajaran. Guru adalah seseorang yang memberikan bantuan, memimpin, dan memberi petunjuk, tetapi guru bukan sebagai pusat (guru sentris) melainkan siswalah yang menjadi pusat dalam proses belajar mengajar (siswa sentris). Siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang didasari oleh pengetahuan dan keaktifannya sebagai anggota masyarakat.
Portofolio penilaian (assessement) merupakan koleksi sistematis dari siswa dan guru untuk menguji proses dan prestasi belajar. Portofolio bukan objek, melainkan perantara penilaian oleh siswa dan guru yang menggambarkan aktifitas dan proses, yaitu memilih, membandingkan, berbagi pengetahuan, mempertimbangkan/merenungi, membuat keputusan, dan tidak hanya mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan tetapi juga menguatkan dengan argumentasi yang tepat. Hal ini sesuai dengan pembelajaran merekonstruksi untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui, mengerti, dan lakukan; semua itu penting untuk keaktifan penilaian.
Portofolio penilaian merupakan pengajaran praktek (melakukan) dan mempunyai beberapa standar perencanaan yang kuat, yakni mendorong adanya interaksi antarlingkungan terkait seperti interaksi antarsiswa, guru, dan masyarakat yang saling melengkapi, serta menggambarkan belajar siswa secara mendalam, yang pada akhirnya dapat membantu siswa menjadi sadar untuk meningkatkan dirinya sebagai pembaca dan penulis yang baik.
Rencana dan implementasi pembelajaran ini, menggunakan waktu-waktu untuk belajar, waktu untuk praktek, melakukan, dan melatih. Waktu untuk melakukan pendidikan (pembelajaran) tidak terasa seperti jika mereka menerima pelajaran secara konvensional, apalagi jika siswa mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memperluas wawasannya sehingga siswa memperoleh kecakapan yang lebih baik. Akhirnya para siswa, anggota keluarga, orang tua, dan lebih penting lagi guru mempunyai keyakinan akan kebaikan-kebaikan dalam pelaksanan portofolio.
Portofolio penilaian ini dapat dilakukan selama periode tertentu, misalnya portofolio penilaian bulanan, triwulan (tengah semester), semester, maupun tahunan; tergantung dari program dan kebutuhan guru dan siswa. Tetapi biasanya penilaian dilakukan guru berkaitan dengan waktu pembagian rapor, karena guru dalam memberikan penilaian berdasarkan hasil ulangan (tes) saja, baik formatif maupun sumatif.

2. Tujuan Penilaian
Dalam evaluasi pengajaran bahasa dikenal adanya istilah tes, pengukuran, dan penilaian. Penggunaan ketiga istilah tersebut seringkali dirancukan. Untuk mempertegas perbedaan konsep yang terkandung dalam ketiaga istilah tersebut, Rofi’uddin (1994) menjelaskan sebagai berikut. Tes adalah sejumlah tugas yang harus dikerjakan testi (orang yang dites) dan berdasarkan prestasinya mengerjakan tugas-tugas tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang aspek-aspek tertentu dari kepribadian testi. Aspek-aspek tertentu yang dimaksud dapat berupa prestasi akademik, bakat, sikap, minat, penyesuaian sosial, dan sebagainya. Hasil testi dalam mengerjakan tugas lazimnya diwujudkan dalam bentuk angka yang secara teknis disebut dengan skor. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa tes merupakan alat yang digunakan untuk mengukur aspek-aspek tertentu dari kepribadian testi. Dengan menggunakan tes akan dapat digambarkan prestasi serta bakat testi. Ibarat mengukur panjangnya suatu benda, tes dapat disepadankan dengan penggaris atau meteran.
Pengukuran merupakan suatu proses melukiskan aspek-aspek tertentu dari tingkah laku ke dalam bentuk angka-angka dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan tes. Pengukuran dapat juga diartikan sebagai proses pengenaan angka terhadap benda atau gejala berdasarkan aturan tertentu. Ibarat mengukur panjangnya suatu benda, pengukuran dapat disepadankan dengan proses mengetahui panjangnya suatu benda dengan menggunakan penggaris atau meteran. Ada juga yang menyepadankan dengan penyekoran (scoring), yakni pengangkaan terhadap hasil kerja testi dengan menggunakan pedoman tertentu.
Penilaian dapat diartikan sebagai proses membandingkan hasil pengukuran dengan patokan atau criteria tertentu dalam rangka memperoleh gambaran kualitas aspek kepribadian yang diukur. Untuk lebih jelasnya, dapat dikemukakan ilustrasi penilaian kemampuan membaca, seperti berikut. Dalam menilai kemampuan membaca, kegiatan penilaian baru dapat dilakukan kegiatan pengukuran. Pengukuran kemampuan membaca dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang berupa tes membaca yang berisi sejumlah tugas (perintah atau pertanyaan) yang harus dikerjakan testi. Hasil pekerjaan testi selanjutnya diskor dengan menggunakan kunci jawaban atau rambu-rambu yang telah disiapkan, dan selanjutnya diwujudkan dalam bentuk angka atau skor. Skor tersebut delanjutnya dibandingkan dengan mennggunakan patokan atau criteria tertentu. Hasil pembandingan inilah yang selanjutnya disebut dengan nilai membaca atau kualitas kemampuan membaca.
Hubungan antara ketiga istilah tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri. Tes yang merupakan alat ukur yang dimanfaatkan untuk mengukur aspek-aspek tertentu dari kepribadian testi. Dengan menggunakan tes dilakukanlah kegiatan pengukuran yang menghasilkan skor. Skor yang dihasilkan oleh kegiatan pengukuran ini selanjutnya dibandingkan dengan patokan atau kriteria tertentu sehingga akhirnya diperoleh nilai; dan kegiatan inilah yang dimaksud dengan penilaian. Kegiatan pengukuran pada dasarnya menjawab pertanyaan ‘berapa banyak’ (how much), sedangkan kegiatan penilaian menjawab pertanyaan ‘apa kualitasnya’ (what value). Tes tidak akan berfungsi jika digunakan untuk mengukur sesuatu; pengukuran tidak dapat dilakukan tanpa adanya alat ukur; dan penilaian tidak dapat dilakukan, tanpa didahului oleh kegiatan pengukuran. Hasil pengukuran yang berupa skor belum dapat menggambarkan sesuatu sebelum diikuti dengan kegiatan penilaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga istilah tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri.
Penilaian secara umum dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar, pertumbuhan serta perkembangan sikap dan perilaku yang dicapai siswa. Penilaian harus mencakup tiga aspek kemampuan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (Fajar, 2002). Terdapat dua cara yang dapat dilakukan dalam penilaian, yaitu (1) tes dan (2) non tes.
a. Tes
Tes sebaiknya menggunakan berbagai cara, seperti tes essai, jawaban singkat, dan pilihan gangga dengan porsi yang seimbang. Tes dapat dilaksanakan pada setiap akhir pokok bahasan atau beberapa pokok bahasan yang dinamakan tes formatif, dan tes yang dilaksanakan pada akhir semester yang dinamakan tes sumatif. Di samping itu tes juga dapat dilakukan dengan lisan maupun tertulis.
b. Non Tes
Non tes dapat dilakukan melalui pemberian tugas, pengumpulan kerja siswa (portofolio), membaca,menyimpulkan, melakukan pengamatan, melakukan penelitian, wawancara, meresume, kliping, dan sebagainya. Sedangkan untuk penilaian sikap, guru perlu membuat pedoman pengamatan dengan menggunakan skala sikap.
Tujuan dari penilaian adalah untuk mengukur seberapa jauh tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan, dikembangkan, dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diamalkan/diterapkan, dan dipertahankan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu penilaian juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, yang digunakan sebagai feed back/umpan balik bagi guru dalam merencanakan proses pembelajaran selanjutnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan, memperbaiki, dan menyempurnakan proses pembelajaran yang dilaksanakan.

3. Prinsip-prinsip Penilaian
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan penilaian berdasarkan Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2002, adalah:
a. Valid, artinya penilaian harus memberikan informasi yang akurat tentang hasil belajar siswa, misalnya apabila pembelajaran menggunakan pendekatan eksperimen maka kegiatan melakukan eksperimen harus menjadi salah satu objek yang dinilai.
b. Mendidik, artinya penilaian harus memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian belajar siswa. Hasil penilaian harus dinyatakan dan dapat dirasakan sebagai penghargaan bagi siswa yang berhasil atau sebagai pemicu semangat belajar bagi yang kurang berhasil.
c. Berorientasi pada kompetensi, artinya penilaian harus menilai pencapaian komptensi yang dimaksud dalam kurikulum.
d. Adil, artinya penilian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar belakang social-ekonomi, budaya, bahasa, dan gender.
e. Terbuka, artinya criteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka bagi semua pihak (siswa, guru, sekolah, orang tua, dan pihak lain yang terkait).
f. Berkesinambungan, artinya penilaian dilakukan secara berencana, bertahap, dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya.
g. Menyeluruh, artinya penilaian dapat dilakukan dengan berbagai teknik dan prosedur termasuk mengumpulkan berbagai bukti hasil belajar siswa. Penilian terhadap hasil belajar siswa meliputi pengetahuan (koginitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap dan nilai (afektif) yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
h. Bermakna, artinya penilaian hendaknya mudah dipahami, mempunyai arti, berguna, dan bisa ditindaklanjuti oleh semua pihak.

4. Instrumen Penilaian
Untuk memperoleh hasil penilaian Pendidikan Agama Islam (PAI), guru dapat menyiapkan istrumen penilaian yang berupa:
• Soal tes tertulis
• Soal tes lisan
• Lembar observasi
• Lembar portofolio
• Lembar skala sikap
• Lembar chek list
• Lembar pedoman wawancara
• Lembar pedoman pengamatan
• Lembar pedoman penelitian, dan sebagainya.
Lembar-lembar instrumen di atas dapat disusun sesuai dengan kebutuhan dan kreatifitas guru, atau bahkan mengikutsertakan siswa dalam perancangannya. Dengan mengikutsertakan siswa, diharapkan siswa akan lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, di samping itujuga melatih dan membiasakan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
5. Karakteristik Penilaian Portofolio

Kemp dan Toperof (2001) menjelaskan bahwa penilaian portofolio memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Portofolio merupakan sebuah bentuk penilaian yang dilakukan oleh siswa bersama-sama dengan guru.
b. Portofolio bukan sekedar kumpulan karya siswa, melainkan kumpuan karya siswa terpilih (terbaik) di mana siswa terlibat dalam pemilihan dan panilaian karya tersebut.
c. Portofolio memberikan contoh karya siswa yang dapat menunjukkan perkembangan dalam jangka waktu tertentu. dengan melakukan peniaian terhadap karyanya sendiri (self-assessment), siswa mulai mengenali kelebihan dan kekurangan dalam karyanya. Kelemahan-kelemahan tersebut kemudian menjadi focus tujuan pengembangan.
d. Kriteria pemilihan dan penilaian isi portofolio hendaknya jelas baik bagi guru maupun bagi siswa.


6. Elemen Penting Penilaian Portofolio

Ada beberapa elemen penting dalam penilaian portofolio, sebagaimana dijelaskan oleh Kemp dan Toperof (2001), yakni:
a. Prakata (cover letter). Dalam prakata dijelaskan tentang penulis dan perkembangan kumpulan karyanya dari waktu ke waktu.
b. Daftar isi yang memberi petunjuk kepada pembaca untuk mengetahui halaman sebuah karya.
c. Isi baik inti (yang wajib dikumpulkan siswa) maupun tambahan (pilihan siswa). Isi inti wajib dikumpulkan sebagai dasar untuk mengetahui kemampuan dasar siswa dalam rangka menentukan tugas yang akan diberikan. Isi pilihan memberikan kesempatan bagi setiap siswa untuk menampilkan karya terbaiknya sesuai dengan keunikan setiap siswa. Siswa boleh memasukkan karya terbaiknya atau karya yang penuh dengan kesulitan.
d. Tanggal untuk setiap karya yang dimasukkan untuk mengetahui kapan karya tersebut dibuat.
e. Draft karya siswa baik yang sudah direvisi maupun yang belum direvisi.
f. Refleksi yang mungkin muncul dalam tahapan yang berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Refleksi ini dapat berbentuk pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang saya pelajari darinya?
- Apa yang sudah saya kuasai dengan baik?
- Mengapa saya memilih karya ini untuk dimasukkan dalam portofolio?
- Apa yang ingin saya tingkatkan dalam masalah ini?
- Bagaimana perasaan saya tentang kemampuan saya?
- Apa yang masih menjadi masalah (sulit)?
7. Langkah-langkah Penerapan Penilaian Portofolio

Lebih jauh Kemp dan Toperof (2001) menjelaskan langkah-langkah penerapan portofolio. Secara umum, langkah-langkah tersebut dapat dibedakan ke dalam empat tahap, yakni tahap persiapan, pelaksanaan, penilaian, dan tindak lanjut (follow up).
1) Tahap Persiapan

a. Menentukan tujuan portofolio. Dalam menentukan tujuan portofolio, guru berpatokan pada kurikulum yang berlaku. Tujuan haruslah ditentukan terlebih dahulu agar portofolio yang dilaksanakan selalu mengarah untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Mengenalkan portofolio kepada siswa. Agar siswa memiliki ketertarikan terhadap portofolio, guru memberikan penjelasan tentang portofolio baik mengenai pengertian, ruang lingkup, tujuan, dan cara mengerjakannya. Dengan mengenal portofolio dan tujuannya diharapkan siswa memiliki semangat dalam melaksanakan setiap tugas portofolio.
c. Menentukan isi portofolio. Tidak setiap unit materi pelajaran harus dimasukkan ke dalam materi portofolio karena terbatasnya waktu dan sulitnya mengontrol. Untuk materi yang perlu pengembangan dan tidak mungkin diselesaikan di dalam kelas yang cocok untuk dimasukkan ke dalam materi portofolio.
d. Memberikan petunjuk pelaksanaan portofolio. Agar pelaksanaan tugas portofolio sesuai dengan yang diharapkan, guru menjelaskan petunjuk pelaksanaanya. Dalam memberikan petunjuk pelaksanaan disampaikan juga kriteria penilaian agar siswa mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin untuk mendapatkan nilai yang bagus. Hal ini penting karena tugas yang tidak jelas petunjuk pelaksanaanya dan kriteria penilaiannya hanya akan membuat siswa bingung.
2) Tahap Pelaksanaan
Setiap portofolio dilaksanakan sesuai dengan tujuan masing-masing. Karena tujuan dan petunjuk telah ditentukan di awal, maka pelaksanaan portofolio menjadi lebih mudah. Dalam pelaksanaan portofolio, guru terkadang memberikan tugas kelompok. Tugas kelompok ini biasanya bersifat pengamatan dan lebih berat. Tugas individu biasanya lebih ringan dan berhubungan langsung dengan perkembangan pengetahuan siswa. Beberapa tugas individu diselesaikan di dalam kelas untuk mengetahui keaslian karya siswa.
3) Tahap Penilaian
Pada tahap penilaian, guru mengoreksi karya setiap siswa sesui dengan fokus penugasan. Penilaian tidak selamanya dilakukan oleh guru melainkan juga oleh siswa secara bertukaran. Ketika penilaian dilakukan oleh siswa guru memberikan beberapa petunjuk kriteria penilaian. Dengan demikian dapat dihindarkan sikap subjektif siswa. Setelah sebuah karya dikoreksi dan dinilai, guru memberikan cacatan kecil sebagai umpan balik kepada siswa. Catatan tersebut berisi komentar tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut. Dengan demikian siswa mengetahui kekurangan dan kesalahannya sehingga mampu memperbaikinya di kemudian hari. Hal ini sengaja dilakukan untuk menumbuhkan motivasi pada diri siswa untuk membuat karya yang lebih baik lagi.
4) Tahap Tindak Lanjut
Pada tahap ini guru membuat rencana untuk mengadakan lomba karya terbaik baik individu maupun kelompok. Lomba ini biasanya diadakan di akhir semester bersamaan dengan acara lomba antarkelas (meeting class). Karya-karya yang dilombakan meliputi artikel, kliping, laporan, hafalan, dan sebagainya. Pada semester genap, lomba biasanya diadakan sehari sebelum kenaikan kelas. Dengan demikian siswa merasa bahwa usaha kerasnya dihargai dan dikritisi sehingga mampu menambah motivasi belajar yang lebih keras lagi untuk menjadi yang terbaik.

8. Kelebihan-kelebihan Penilaian Portofolio
Berikut ini dapat dicatat beberapa alasan mengapa guru menggunakan penilaian portofolio, yakni:
a. Penilaian portofolio sesuai dengan tujuan pengajaran. Karya siswa yang dinilai adalah karya siswa yang diajarkan di dalam kelas dan tidak terpisah dari aktivitas kelas seperti tes.
b. Penilaian portofolio memiliki tujuan yang jelas. Tujuan portofolio telah ditentukan di awal.
c. Penilaian portofolio memberikan gambaran tentang kopetensi siswa, baik kedalaman, keluasan, maupun perkembangannya.
d. Penilaian portofolio dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai ragam keterampilan baik lisan maupun tulis.
e. Penilaian portofolio membangkitkan kesadaran belajar mandiri dan aktif (self-learning and active-learning). Siswa dapat merefleksi diri tentang perkembangan kemampuannya.
f. Penilaian portofolio melayani setiap siswa dalam kelas yang heterogen.
g. Penilaian portofolio mengembangkan keterampilan sosial. Dalam Penilaian portofolio siswa ju8ga diberi tugas untuk mengerjakan tugas di samping individual juga dalam kelompok.
h. Penilaian portofolio dapat meningkatkan m otivasi belajar untuk meraih tujuan.
i. Penilaian portofolio cara yang efisien dalam menunjukkan kemampuan.
j. Penilaian portofolio memberikan kesempatan bagi dialog antara guru dan siswa.

9. Hasil Penilaian Portofolio
Hasil penilaian akhir siswa terdiri dari perpaduan antara tes formatif, tes sumatif dan tugas-tugas yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi. Pada akhir satuan waktu (semester atau tahun), guru perlu membuat keputusan akhir tentang kemampuan yang telah dikuasai siswa berkatian dengan indikasi pencapaian yang telah ditetapkan secara nasional.
Hasil penilaian yang telah diolah, harus ditindaklanjuti. Bagi siswa yang mencapai nilai di bawah rata-rata perlu dilakukan perbaikan dengan berbagai cara sesuai dengan tipe kelemahan yang dimiliki siswa. Perbaikan bisa berupa diadakan tes ulang, pemberian tugas tambahan, membaca atau memberikan penjelasan-penjelasan ulang kepada siswa yang bersangkutan. Bagi siswa memperoleh nilai di atas rata-rata perlu dilakukan pengayaan melalui penambahan tugas-tugas yang disesuiakan dengan cirri kelebihan dan minat mereka.
Selain itu, perlu memberikan tugas-tugas ekstra kepada semua siswa sesuai dengan minat, perhatian, dan kesenangan mereka, misalnya melakukan pengamatan kegiatan para gelandangan, pengamen jalanan, kenakalan remaja, berbagai kesenian daerah, masyarakat tradisional, petani di desa, nelayan, dan sebagainya sesuai dengan kondisi daerah setempat.
Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru harus bersikap optimal, yaitu:
1. Memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dari sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara.
2. Membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan.

10. Pelaporan Hasil Penelitian Portofolio
Hasil akhir penilaian harus benar-benar dipertimbangkan oleh guru dari berbagai aspek seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Hasil penilaian akhir tersebut didokumentasikan oleh sekolah dan dituangkan dalam buku laporan siswa (rapor) yang selanjutnya disampaikan kepada orang tua siswa.
Laporan hasil belajar siswa ini dapat dimanfaatkan oleh siswa, orang tua, dan para pendidik (guru) untuk:
1. Mendiagnosis hasil belajar siswa.
2. Memprediksi masa depan siswa.
3. Sebagai umpan balik proses belajar-mengajar (PBM) dan kurikulum sekolah.
4. Kepetinngan seleksi dan setifikasi, dan
5. Untuk menetapkan kebijakan dalam pengelolalan kegiatan belajar mengajar (KBM).

FORMAT
PENILAIAN AKHIR UNTUK BUKU RAPOR

No. Nama Siswa Rata-rata Tes Harian Tes Sumatif Rata-rata Tugas Rata-rata Nilai Nilai X Nilai Akhir
1.
2.
3.
4.
5.










KETERANGAN:
1. Nilai harian yang dituliskan adalah nilai harian jadi, artinya setelah melalui remedial (bagi anak yang memperoleh nilai ulangan kurang dari enam).
2. Nilai X adalah nilai yang diperoleh guru dari pengamatan sikap dan tingkah laku yang dapat dimanfaatkan untuk penentuan nilai akhir, apakah siswa tersebut pantas atau tidak mendapatkan nilai dari hasil perhitungan dengan rumus. Sebagai contoh siswa yang bernama X memperoleh rata-rata 7,69 dengan nilai X BS maka sewajarnya apabila mendapat nilai akhir 8,00. Tetapi apabila X dengan nilai rata-rata nilai 7,69 dengan nilai X C, akan mendapatkan nilai akhir 7,00.
3. BS : Baik Sekali B: Baik C : Cukup D : Kurang
4. Rumus Penilaian :
RTH : Rata-rata Tes Harian
TS : Tes Sumatif
RT : Rata-rata Tugas
RN : Rata-rata Nilai
NA : Nilai Akhir
5. Format yang dikemukakan di atas tidak baku, hanya merupakan salah satu contoh. Guru dapat membuat sendiri format yang diinginkan sesuai dengan kreatifitas dan kebutuhannya.
Dalam memberikan penilaian, guru hendaknya terlebih dahulu menetapkan kriteria-kriteria penilaian. Untuk setiap kriteria, diberi skor dengan skala 6 – 10, di mana angka 10 merupakan skor tertinggi. Dalam penilaian digunakan lembar penilaian portofolio setiap seksi/kelompok maupun penilaian secara keseluruhan baik portofolio tampilan maupun portofolio lisan. Dari skor yang diperoleh kemudian dibuat criteria kualitas skor tersebut sebagai berikut:
6 = Cukup
7 = Lebih dari cukup
8 = Baik
9 = Sangat baik
10 = Istimewa

NO. PENILAIAN KELOMPOK PORTOFOLIO SKOR KET.
1. A. Kriteria Portofolio Tampilan Kelompok 1
1. Kelengkapan
2. Kejelasan
3. Informasi dan sumber-sumbernya
4. Grafis
5. Kelengkapan dokumentasi

B. Kriteria Portofolio Lisan Kelompok 1
Menjelaskan masalah:
1. bagaimana seriusnya masalah yang dikaji?
2. Seberapa luas masalah tersebut tersebar?
3. Mengapa masalah itu harus ditangani pemerintah?
4. Haruskah seseorang juga bertanggung jawab terhadap masalah tersebut?
5. Apakah hukum atau peraturan untuk mengatasi masalah tersebut ada dan memadai?
6. Signifikansi (seberapa besar tingkat kebermaknaan informasi yang dipilih siswa berkaitan dengan portofolionya?)
7. Pemahaman (seberapa baik tingkat pemahaman siswa terhadap hakikat dan ruang lingkup masalah?)
8. Argumentasi (seberapa baik alasan yang diberikan siswa bahwa masalah itu signifikan?)
9. Responsif (seberapa besar tingkat kesesuaian jawaban siswa dengan pertanyaan lanjutan yang diajukan?)
10. Kerjasama Kelompok (seberapa besar kontribusi anggota kelompok terhadap penyajian?)

SKOR KELOMPOK 1





PEDOMAN PENILAIAN PORTOFOLIO TAMPILAN
KESELURUHAN

Penskoran sama dengan Pedoman Penilaian Setiap kelompok, yakni:
6 = cukup,
7 = lebih dari cukup,
8 = baik,
9 = amat baik,
10 = istimewa.

NO. PENILAIAN KELOMPOK PORTOFOLIO SKOR KET.
A.








B.




C.




D.




Persuasif, memberikan alasan yang meyakinkan Bahwa:
1. Masalah yang dikaji adalah penting
2. Kebijakan yang diusulkan mengarah pada masalah.
3. Kebijakan yang diusulkan adalah konstitusional.
4. Kebijakan memperoleh dukungan politik.

Kegunaan:
1) Kebijakan yang diusulkan adalah realisitis.
2) Pendekatan-pendekatan untuk memperoleh dukungan adalah realistis.
3) Mempertimbangkan hambatan-hambatan nyata

Koordinasi, bagian-bagian Portofolio
1. Berkaitan dengan yang lain
2. Menghindari penggunaan informasi/ duplikasi

Refleksi:
1. Menunjukkan refleksi pengalaman belajar
2. Menunjukkan terjadinya proses belajar
SKOR TOTAL
PEDOMAN PENILAIAN PORTOFOLIO LISAN
KESELURUHAN

Penskoran sama dengan Pedoman Penilaian Setiap kelompok, yakni:
6 = cukup,
7 = lebih dari cukup,
8 = baik,
9 = amat baik,
10 = istimewa.

NO. PENILAIAN KELOMPOK PORTOFOLIO SKOR KET.
A.




B.



C.



D.



E.
Signifkansi,
Seberapa besar tingkat kebermaknaan informasi yang dipilih siswa berkaitan dengan bagian portofolionya yang disajikan?

Pemahaman,
Seberapa baik tingkat pemahaman siswa terhadap hakikat dan ruang lingkup masalah?

Argumentasi,
Seberapa baik alasan yang diberikan siswa bahwa masalah yang dipilinya signifikan?

Responsif,
Seberapa besar tingkat kesesuian jawaban siswa dengan pertanyaan lanjutan yang diajukan juri?

Kerjasama kelompok,
1. Seberapa besar kontribusi para anggota kelompok terhadap penyajian?
2. Apakah bukti tanggung jawab bersama?
3. Apakah para penyaji menghargai pendapat para siswa lainnya?
SKOR TOTAL


D. Keterampilan Menulis
1. Hakikat dan Tujuan Menulis
Istilah tulisan dipakai untuk menyatakan sebuah karya tulis yang disusun berdasarkan tulisan atau pernyataan gagasan orang lain. Penulis mengkompilasikan (meringkas kemudian menggabungkan ringkasan-ringkasan ini menjadi satu) pelbagai bahan informasi, sehingga tersusun suatu tulisan baru yang utuh. Soeseno (1995:1) menyatakan bahwa tulisan yang disusun oleh penulis dengan cara kompilasi ini kadang kala menghasilkan suatu tulisan yang lebih baik dari tulisan aslinya.
Menulis berbeda dengan mengarang. Kalau menulis merupakan kompilasi dari pelbagai macam gagasan dan ide-ide orang lain, maka mengarang merupakan hasil imajinasi, rekaan, dan fantasi pengarangnya sendiri (Soeseno, 1995). Berbeda dengan Brotowidjoyo (1993:2) yang mengatakan bahwa menulis atau mengarang menggunakan istilah menulis
Menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan grafik itu. Gambar atau lukisan mungkin dapat menyampaikan makna-makna, tetapi tidak menggambarkan kesatuan bahasa. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Dengan kriteria yang seperti itu, maka dapatlah dikatakan bahwa menyalin atau mengkopi huruf-huruf atau menyusun atau menset suatu naskah dalam huruf-huruf tertentu untuk dicetak bukanlah menulis kalau orang tersebut tidak memahami bahasa beserta representasinya (Lado, 1979: 143).
Menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para pelajar berfikir. Juga menolong kita berfikir kritis, mempermudah kita merasakan dan menikmati hubungan-hubungan, memperdalam daya tanggap atau persepsi kita, memecahkan masalah yang kita hadapi, menyusun urutan bagi pengalaman. Tulisan dapat membantu kita menjelaskan pikiran-pikiran kita. Tidak jarang kita menemui apa yang sebenarnya kita pikirkan dan rasakan mengenai orang-orang, gagasan-gagasan, masalah-masalah, dan kejadian-kejadian hanya dalam proses menulis yang actual. Menulis adalah suatu bentuk berfikir, tetapi justru berfikir bagi membaca tertentu dan bagi waktu tertentu. Secara singkat, D’Angelo (1980: 5) menyatakan bahwa menulis adalah belajar berfikir dalam dengan cara tertentu.
Menulis dilihat dari segi haikatnya dapat dibagi atas tiga aspek. Yakni (1) menulis sebagai proses berpikir, (2) menulis sebagai proses berpikir meliputi serangkaian aktivitas, (3) menulis sebagai proses berpikir yang terdiri atas serangkaian aktivias berkaitan erat dengan membaca.
2. Menulis sebagai Keterampilan Proses
Menulis merupakan suatu proses menuangkan gagasan atau pikiran dalam bentuk tertulis, Rubin (1995:128) menggolongkannya sebagai proses berfikir. Dan lebih luas Murray menyatakan bahwa menulis adalah proses berfikir yang berkesinambungan, mencobakan, dan mengulas kembali (dalam Temple, 1993). Menulis sebagai proses berpikir bahwa sebelum dan atau saat setelah menuangkan gagasan dan perasaan secara tertulis diperlukan keterlibatan proses berpikir. Proses berpikir menurut Moore dkk. (1986) memiliki sejumlah esensi: mengingat, menghubungkan, memonitor, mereviu, mengevaluasi, dan menerapkan. Melalui proses berpikir, gagasan yang dituangkan ke dalam kalimat/paragraf dapat dianalisis kelogisannya. Rubin (1995) mengemukakan bahwa dengan menulis mendorong kita untuk memperhatikan kelogisan penyusunan kata dalam kalimat dan kalimat dalam paragraf.
Menulis dan proses berpikir berkaitan erat dalam menghasilkan suatu karangan yang baik. Dan karangan yang baik merupakan manifestasi dari keterlibatan proses berpikir. Dengan demikian, proses berpikir sangat menentukan lahirnya suatu karangan yang berkualitas. Syafi’ie (1988) mengemukakan bahwa salah satu substansi retorika menulis adalah penalaran yang baik. Hal itu berarti bahwa penulis harus mampu mengembangkan cara-cara berpikir rasional. Tanpa melibatkan proses berpikir rasional, kritis, dan kreatif akan sulit menghasilkan karangan yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
Pappas (1994) mengemukakan bahwa menulis sebagai proses berpikir merupakan aktivitas yang bersifat aktif, dan penuangan makna. Pada saat menulis, siswa dituntut berpikir untuk menuangkan gagasannya berdasarkan skemata, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki secara tertulis. Dalam proses tersebut diperlukan kesungguhan mengolah, menata, mempertimbangkan secara kritis, dan menata ulang gagasan yang dicurahkan. Hal tersebut diperlukan agar tulisan yang dihasilkan dapat terpahami pembaca dengan baik.
3. Menulis sebagai proses berpikir meliputi serangkaian aktivitas
Menulis sebagai proses berpikir yang menghasilkan kreativitas berupa karangan, baik karanga ilmiah maupun karangan yang berbau sastra. Karangan sebagai bukti kreativitas diperoleh melalui serangkaian aktivitas menulis. Rangkaian aktivitas menulis adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Willis dkk. (1989) dan Tompkins (1994) yakni: pramenulis, pengedrafan, perbaikan, penyuntingan, dan publikasi. Menurut Rofi’uddin (1997) menulis dapat dipandang sebagai rangkaian aktivitas yang bersifat fleksibel. Sedang menurut Graves, rangkaian aktivitas tersebut tidak dilaksanakan secara linear tetapi secara rekursif-simultan (dalam Cox dan Zarrillo, 1993). Artinya, pada saat satu tahapan telah dilakukan dan tahap selanjutnya akan dikerjakan, siswa dapat kembali pada tahap sebelumnya.
Menulis sebagai proses berpikir yang tediri atas serangakian tahapan dikaitkan dengan pembelajaran, memebri kesempatan bagi siswa untuk memperoleh bimbingan dari guru secara nyata untuk mencapai keterampilan menulis yang diharapkan. Melalui tahapan tersebut siswa dapat mengetahui keterbatasannya secara jelas dan sekaligus berupaya meningkatkan kemampunaanya secara bertahap dan berkesinambungan.
4. Menulis sebagai proses berpikir meliputi serangkaian aktivitas berkaitan erat dengan membaca
Menulis sebagai proses berpikir yang terdiri atas serangakaian aktivits berkaitan erat dengan membaca. Hal itu dapat (1) dilihat dari segi sebelum menulis diperlukan berbagai pengetahuan awal dan informasi yang berkaitan dengan topik yang didrafkan. Untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan tersebut, membaca merupakan sarana yang paling tepat, (2) dilihat dari segi saat-setelah menulis, membaca merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dengan kegiatan menulis pada tahap perbaikan, penyuntingan. Penulis pada dasarnya adalah membaca berulang-ulang terhadap tulisannya. Burn, Roe, Ross (1996:383) mengemukakan bahwa membaca dan menulis saling mendukung satu dengan lainnya. Demikian pula, Rubin (1995) mengemukakan bahwa menulis membentuk siswa menjadi penganalisis yang handal apada sat membaca… penulis sekaligus sebagai pembaca yang melihat secara menyeluruh gagasannya dan mencoba menentukan apa yang ditulisnya memiliki makna dan diekspresikannya secara akurat apa yang ingin disampaikannya.
Pappas (1994) mengemukakan bahwa menulis sebagai proses merupakan aktivitas yang bersifat aktif, konstruktif, dan penuangan makna. Pada saat menulis, siswa melakukan kegiatan berpikir untuk menuangkan ide atau gagasannya berdasarkan skemata awal atau pengalaman dan pengetahuannya dalam dunia nyata ke dalam bentuk bahasa tulis. Dalam proses tersebut diperlukan kesungguhan mengolah, mempertimbangkan, mengatur, dan menata ulang gagasan-gagasan sehingga tulisan tersebut dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.
Menulis sebagai proses, Tompkins (1994) membaginya atas lima tahap: yakni (1) pramenulis, (2) pengedrafan, (3) perbaikan, (4) penyuntingan, dan (5) publikasi. Kelima tahapan tersebut menurut Graves dan Calkins, siswa hendaknya menjadi partisipan aktif dalam setiap tahap proses menulis mulai dari pramelunis sampai publikasi. Siswa memerlukan lingkungan kelas yang memungkinkan mereka untuk memahami hakikat yang interaktif dan rekursif (dalam Stewig dan Sabesta). Dengan mengalami kelima tahap tersebut guru yang secara aktif memberi bimbingan secara tidak langsung, kemampuan menulis siswa diharapkan dapat meningkat secara bertahap.
Pembelajaran menulis dengan berlandas pada hakikat menulis sebagai proses, memberi kesempatan kepada siswa untuk menjadi penulis yang baik. Dinyatakan demikian, karena siswa memperoleh kesempatan dan bimbingan untuk memperbaiki tulisannya secara bertahap sampai mencapai tingkat yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi isi dan bahasa maupun dari segi penampilan bentuk. Secara psikologis, melalui pengalaman tersebut siswa dapat merasa mampu dan percaya diri untuk menuangkan dan menata ulang gagasannya secara tertulis dan baik (Routman, 1994). Dengan tumbuhnya rasa percaya diri, siswa dapat berminat dan termotivasi secara kontinu untuk meningkatkan kemahiran menulisnya menjadi penulis yang baik dan berhasil.
D’Angelo (1980: 25) menyatakan bahwa setiap tulisan pasti memiliki tujuannya sendiri-sendiri. Tetapi dalam kebanyakan tujuan menulis, ada satu tujuan yang menonjol atau dominan; dan yang dominan inilah yang memberi nama atas keseluruhan tujuan tersebut.
Sehubungan dengan tujuan menulis, Hipple (1973: 309-311) merangkumnya sebagai berikut:
a) Assignment purpose (tujuan penugasan).
b) Altruistic purpose (tujuan altruistic).
c) Persuasive purpose (tujuan persuasif).
d) Informational puprpose (tujuan informational, tujuan penerangan)
e) Self-expressing purpose (tujuan pernyataan diri).
f) Creative purpose (tujuan kreatif).
g) Problem-solving purpose (tujuan pemecahan masalah).
Tujuan penugasan merupakan suatu tujuan yang berangkat bukan dari kemauan diri sendiri, akan tetapi karena ditugaskan, seperti siswa yang diberi tugas merangkum, sekretaris yang diugasi membuat laporan atau notulen. Tujuan altruistic adalah tujuan di mana penulis bertujuan menyenangkan para pembaca, ingin merolong para pembaca memahmi, menghargai perasaan dan penalarannya, ingin membuat hidup pembaca lebih mudah dengan karyanya itu. Selanjutnya, tulisan persuasif bertujuan untuk meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan. Kemudian, ujuan informational adalah tujuan memberikan informasi/penerangan para pembaca. Sedangkan, tulisan pernyataan diri bertujuan memperkenalkan atau menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca. Adapun tulisan kreatif bertujuan pernyataan diri dengan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai norma artistic, atau seni yang ideal, seni idaman. Dan dalam tulisan pemecahan masalah, penulis ingin menjelaskan, menjernihkan, menjelajahi serta meneliti secara cermat pikiran-pikiran dan gagasan-gagasannya sendiri agar dapat dimengerti dan diterima oleh para pembaca.
5. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa
Keterampilan berbahasa sangat erat hubungannya dengan proses-proses yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan banyak latihan. Metatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan, 1980: 1 dan Dawson [et all], 1963: 27).
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspressif. Dalam kegiatan menulis, penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Kemampuan menulis tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan terus menerus (Tarigan, 1986: 3-4).
Keterampilan menulis dalam kehidupan modern sangat dibutuhkan, dan menulis merupakan ciri orang terlepajar. Sehubungan dengan itu, ada seorang penulis yang mengatakan bahwa “menulis dipergunakan orang untuk mencatat/merekam, meyakinkan, melaporkan/memberitahukan, dan mempengaruhi; dan maksud serta tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh orang-orang yang dapat menyusun pikirannya dan mengutarakannya dengan jelas, kejelasan ini tergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian kata-kata, dan struktur kalimat (Morsey, 1976: 122).
Sehubungan dengan menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa, maka tugas seorang penulis adalah mengatur/menggerakkan suatu proses yang mengakibatkan suatu perubahan tertentu bayangan/kesan sang pembaca (Young [et all], 1970: 217). Perubahan yang dimaksud adalah (a) perubahan yang mengakibatkan adanya rekonstruksi terhadap kesan, (b) perubahan yang memperluas atau mengembangkan bayangan, (c) perubahan yang merubah kejelasan atau kepastian yang telah mempertahankan beberapa bagian bayangan tersebut, dan (d) tidak ada perubahan sama sekali.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang penulis hendaknya mengetahui maksud dan tujuan menulis, baik sebelum dan sewaktu menulis. Tanpa tujuan yang jelas sulit rasanya mengharapkan hasil tulusan yang bagus.
6. Menulis Sebagai Suatu Cara Berkomunikasi
Pada prinsipnya fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang tidak langsung (Tarigan, 1986: 22). Komunikasi adalah suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang pasti terjadi sewaktu-waktu bila manusia berkenalan dan berhubungan dengan orang lain. Proses komunikasi berlangsung melalui tiga media (a) visual (atu non verbal), (b) oral (lisan), dan (c) written (tulis).
Dalam proses komunikasi biasanya terdapat empat aspek yang harus diperhatikan. Keempat aspek tersebut adalah (1) communicator (orang/alat penghubung) yang biasa disebut dengn encoder (penyandi), (2) massage (pesan) yang disebut juga dengan symbol (lambang-lambang), (3) channel (saluran) atau media, dan (4) audience (pendengar pembaca) yang disebut juga dengan istilah decoder (pengalih sandi) (Emery dalam Tarigan, 1986:19).
Tulisan dipergunakan orang terpelajar untuk merekam, meyakinkan, melaporkan, serta mempengaruhi orang lian, dan maksud serta tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengan baik oleh para penulis yang dapat menyusun pikiran serta mengutarakannya dengan jelas; kejelasan tersebut tergantung pada pikiran, susunan/organisasi, penggunaan kata-kata, dan struktur kalimat yang cerah (Morsey, 1976: 132).
Proses menulis sebagai cuatu cara berkomunikasi, atau hubungan antar penulis dan pembaca, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut.
Setiap penulis mempunyai pikiran atau gagasan yang ingin disampaikan atau diturunkan kepada orang lain. Dalam hal ini dia harus menerjemahkan ide-idenya itu ke dalam sandi-sandi tulis. Sang pengarang memanfaatkan sejumlah sarana mekanis untuk merekam sandi tulis tersebut. Setelah selesai perekaman, maka dapat diteruskan kepada orang lain melintasi waktu dan ruang.
Pikiran dan gagasan penulis sampai ke pihak pembaca. Pembaca melihat tulisan tersebut. Dia menerjemahkan sandi tulisan itu ke dalam sandi lisan kembali dan mendapatkan serta menemui kembali pikiran atau gagasan sang penulis. Akhirnya sang pembaca memahami pikiran atau gagasan tersebut.
7. Menulis sebagai Proses
Menulis sebagai aktivitas berpikir kreatif dan kompleks merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki oleh setiap siswa. Agar keterampilan tersebut dapat dimiliki siswa dengan baik, masalah menulis perlu dipandang sebagai suatu proses dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini agar (1) siswa mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman alamiah yang relevan dengan hakikat menulis sebagai proses yang memiliki serangkaian aktivitas, (2) guru memiliki sejumlah strategi yang dapat membantu dan membimbing ssiswa mencapai keterampilan menulis. Dengan demikian, siswa dan guru memandang keterampilan menulis bukan sebagai suatu keterampilan yang sulit dan rumit untuk dicapai.
Menulis sebagai proses mengandung arti bahwa menulis meliputi serangkaian aktivitas. Namun rangkaian aktivitas tersebut tidak bersifat berurutan secara ketat tetapi bersifat luwes dan berulang-ulang. Flowes dan Hayes menyatakan bahwa proses menulis tidak bersifat linear melainkan bersifat interaktif dan rekursif (dalam Manzano, 1992:57). Yakni antara tahap yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan berulang secara fleksibel.
Pembelajaran menulis sebagai proses di sekolah mengisyaratkan kepada guru untuk memberikan bimbingan nyata dan terarah yang dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa. Hal ini setiap tahap dari proses menulis masing-masing mempunyai strategi yang dapat membantu siswa untuk memahami dan mengalami kompleksitas alamiah menulis dalam rangka menghasilkan karangan yang baik. Misalnya pada tahap pramenulis, guru dapat menggunakan strategi curah pendapat, pengklasteran, temu pendapat, dan sebagainya.
Adapun aktivitas dan strategi yang dapat dilakukan dalam menulis sebagai proses, berikut ini dipaparkan satu persatu.
a. Tahap Pra-menulis
Menurut Murray (dalam Tompkins dan Hoskisson, 1991:9) pramenulis memegang peranan yang penting dalam menulis. Arah pada tahap ini meliputi (1) pencurahan topik sesuai tema, (2) pemilihan topik berdasarkan tema, (3) pengembangan topik, (4) penulisan judul, dan (5) penulisan kerangka karangan. Adapun strategi yang dilakukan guru untuk membantu dan membimbing siswa melakukan pramenulis adalah sebagai berikut.
1) Curah pendapat
Syafi’ie (1988) mengemukakan bahwa untuk menentukan pokok permasalahan yang akan ditulis dapat dilakukan penjajagan ide melalui curah pendapat. Melalui curah pendapat, skemata, pengetahuan, pengalaman alamiah siswa dapat tergali untuk diarahkan dalam menentukan topik dengan alasan tertentu. Adapun langkah-langkah curah pendapat tersebut adalah : (a) guru menentukan tema berdasarkan minat, pengetahuan siswa atau pertimbangan tertentu, (b) guru mengadakan tanya jawab dengan siswa untuk menggali dan mencurahkan gagasan pengalaman, minat, hobi, skemata, dan pengalaman siswa yang berkaitan dengan tema secara lisan atau tertulis tanpa mengadakan koreksi terhadap jawaban siswa, (c) berdasarkan tanya jawab tersebut, secara bersama-sama mengelompokkan jawaban yang relevan dengan tema. Selanjutnya, guru bersama siswa atau siswa secara kelompok atau individu menentukan topik yang digemarinya.
2) Pengklasteran
Pengklasteran atau pemetaan sebelum menulis draf memudahkan siswa untuk melihat hubungan antara tema dan topik, antara topik dengan gagasan pokok, antara gagasan pokok dengan detil penjelasnya yang dapat menjadi dasar penyusunan kerangka. Menurut Tompkins (1991) menawarkan beberapa bentuk pengklasteran: (a) klaster cerita, (b) klaster 5w, (c) klater laporan, (d) klaster sesori detil. Kaitannya dengan deskripsi, klaster laporan dan sensori detil kelihatannya yang dapat diterapkan meskipun tidak secara utuh atau perpaduan antara keduanya. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
(1) Guru dan siswa menentukan tema yang dipusatkan pada pusat lingkaran.
(2) Guru bersama siswa mengembangkan tema menjadi beberapa topik/subtopik dan detil penjelanya yang ditempatkan di sekeliling pusat lingkaran dengan dihubungkan garis.
(3) Berdasarkan pengembangan tersebut siswa dan guru menyusun kerangka karangan.
Penerapan strategi pengklasteran sensori detil tersebut dipadukan dengan strategi penyusunan pertanyaan dan jawaban (Punk, 1993) yang berkaitan dengan topik terpilih untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang topik yang akan ditulis. Berdasarkan pertanyaan dan jawaban siswa menulis judul dan menyusun kerangka karangan.
b. Tahap Pengedrafan
Pada tahap ini siswa mengembangkan kerangka karangan yang telah disusun berdasarkan topik ke dalam draf. Dengan kata lain, siswa mengembangkan gagasan pokok dan detil penjelasannya dalam bentukan rangkaian kalimat dan paragraf dengan selalu memperhatika tema dan topik. Jadi permasalahan pokok dalam tahap pembelajaran pengedrafan ini adalah sebagaimana membantu atau membimbing siswa sehingga dapat mengembangkan gagasan pokok dan detil-detil penjelasannya ke dalam rangkaian kalimat dan paragraf yang dapat terpahami dengan baik. Pada tahap ini guru mendorong dan membangkitkan minat dan keberanian siswa untuk memulai menulis tanpa memperhatikan ketepatan aspek mekanik. Di samping itu, menyadarkan bahwa draf yang dihasilkan masih brsifat sementara atau masuh akan diperbaiki dan disunting melalui proses temu pendapat secara berpasangan/kelompok atau dalam konferensi dengan guru.
Adapun strategi yang digunakan guru untuk membantu dan membimbing siswa dalam menulis draf adalah strategi pengenalan model teks. Melalui pengenalan model teks tersebut, siswa memperoleh pemahaman bentuk karangan, kerincian dan kejelasan pengungkapannya, dan ciri tekstualnya. Dengan demikian siswa merasa terpandu dalam menulis sesuai bentuk karangan yang diharapkan, yakni deskripsi. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1) Siswa membaca model teks diskriptif secara kelompok/individu.
2) Guru mengarahkan siswa menjawab pertanyaan berkaitan berkaitan rincian detil topik dalam bacaan.
3) Siswa menulis/membaca kalimat yang di dalamnya terdapat pemakaian kata seperti, bagaikan (ciri tekstual deskriptif).
4) Tiap kelompok melaporkan hasil kerja kelompoknya.
Setelah selesai proses pengenalan model teks, siswa menulis draf berdasarkan kerangka yang telah disusun ke dalam paragraf sampai akhirnya menghasilkan draf awal yang bersifat sementara. Draf awal ini kemudian diperbaiki untuk menghasilkan tulisan yang bagus.
c. Tahap perbaikan
Pada tahap perbaikan ini siswa menata ulang kerincian dan kejelasan penggambaran objek dalam draf dengan cara mengganti, menambah, menghilangkan, menukar, kata/kalimat yang tidak sempurna, kurang tepat melalui perbaikan kesejawatan, baik secara kelompok kecil atau berpasangan serta balikan langsung dari guru.
Pada tahap pembelajaran perbaikan, keberadaan guru adalah bagaimana membantu dan membimbing siswa agar dapat menambah. Mengurangi, dan menghilangkan gagasan yang tidak relevan, mendukung, dan tepat dangan objek yang diganbarkan. Strategi yang dapat dilakukan guru adalah temu pendapat dengan pola PSQ, yakni strategi yang mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan positif (P), atau saran-saran (sugestion), atau pertanyaan (question) (Suhor dalam Suwignyo, 1997) terhadap draf temanya dalam temu pendapat, baik secara berpasangan atau berkelompok. Berdasarkan pernyataan, saran, atau pertanyaan tersebut siswa merencanakan dan melakukan perbaikan terhadap draf karangannya.
Strategi kedua yang dapat diterapkan guru untuk membantu dan mengarahkan siswa melakukan perbaikan terhadap draf karangannya adalah pemberian penuntun. Strategi perbaikan tersebut dilakasanakan dengan memberi daftar pengecekan perbaikan dan rambu-rambu pertanyaan evaluatif untuk menuntun dan memudahkan siswa melakukan perbaikan terhadap draf karangannya atau draf teman sejawatnya. Strategi tersebut dilakukan dalam bentuk temu pendapat secara berpasangan atau secara berkelompok.
Strategi ketiga yang dapat dipergunakan guru untuk membantu siswa memperbaiki karangannya adalah balikan guru. Strategi ini mengharuskan guru memberikan balikan terhadap karangan siswa yang telah mereka perbaiki sebagai perbaikan final. Adapun bentuk balikan guru tersebut: (a) tertulis manakala jumlah siswa terbatas, (b) lisan, manakala jumlah siswa banyak, dan (c) pojok menulis, manakala karangan siswa beragam topiknya.

d. Tahap Penyuntingan
Penyuntingan draf karangan merupakan tahap menulis sebagai proses yang perlu dialami siswa agar tulisannya dapat lebih baik. Fokus pembelajaran penyuntingan menyangkut aspek mekanik draf, yakni: (a) penulisan huruf kapital, penulisan kata dasar, kata ganti, kata depan, dan lain-lain, (b) pemenggalan kata, dan (c) pemakaian tanda baca: titik, koma, seru, tanya, dan lain-lain. Jadi, dalam penyuntingan menyangkut bagaimana strategi dapat membimbing siswa sehingga dapat memperbaiki kesalahan penulisan pemenggalan, dan pemakaian tanda baca dengan benar berdasarkan kaidah baku bahasa Indonesia (EYD).
Strategi apa yang dapat dilakukan oleh guru untuk membimbing siswa melakukan penyuntingan terhadap draf teman/diri sendiri. Tompkins (1994) memberikan langkah-langkah antara lain proofreading, yakni membaca secara seksama dan perlahan untuk menemukan kesalahan mekanik dalam draf. Kesalahan yang ditemukan dibahas melalui kelompok, atau meminta balikan guru, atau siswa sendiri yang menyuntingnya. Penyuntingan kelompok dan memanfaatkan balikan guru relatif sama dengan pembelajaran perbaikan. Bedanya adalah, pada tahap penyuntingan yang diperbaiki aspek mekanik bukan isi dan kebahasaan draf karangan. Di samping itu, dalam proses penyuntingan pun dapat memanfaatkan daftar pengecekan penyuntingan sebagaimana yang disarankan Tompkins (1994) dan Gurning (1993). Penggunaan draf pengecekan penyuntingan tersebut membantu siswa melakukan penyuntingan sekaligus mempermudah guru melakukan pemantauan terhadap tingkat kemampuan dan kemajuan siswa dalam menyunting draf karangan.
8. Prinsip Pembelajaran Menulis
Agar pembelajaran menulis terlaksana secara terarah dan efektif, perlu ada prinsip-prinsip yang dapat dipedomani guru. Dixon dan Nessel (1983) mengemukakan beberpa prinsip mengenai pembelajaran menulis. Prinsip pembelajaran menulis tersebut dipaparkan berikut ini.
1) Dalam kegiatan menulis, siswa harus berdasar pada topik pribadi yang bermakna. Prinsip ini menngisyaratkan bahwa topik yang dipilih merupakan topik yang dipahami dan digemari oleh siswa.
2) Sebelum menulis hendaknya diberi percakapan. Prinsip ini mengisyaratkan agar kegiatan berbicara tentang pengalaman, pengetahuan, dan kegemaran siswa kaitannya dengan topik. Hal ini taraf kesulitan menulis lebih tinggi disbanding keterampilan berbahasa lainnya dan bersifat ekspresif-produktif. Oleh karena itu, sebelum menulis perlu diberi serangkaian pembahasan secara lisan tentang topik yang akan dikembangkan.
3) Menulis bukan merupakan keterampilan yang mudah. Prinsip ini mengisyaratkan agar keterampilan menulis diajarkan dalam konteks yang menyenangkan, khususnya bagi pebelajar pemula. Mereka perlu mendapatkan pengenalan terbimbing tentang komposisi sederhana agar mereka bergairah menulis atau tidak disertai rasa frustasi.
4) Menulis hendaknya diberikan dalam bentuk komunikasi bukan dalam bentuk tugas latihan. Segala ide yang akan ditulis hendaknya merupakan sesuatu yang dapat mereka gambarkan bahwa melalui tulisan. Ide, dan gagasan kita dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
5) Menghindari pengoreksian kesalahan. Kesalahan tatabahasa, penyusunan frasa, dan kesalahan mekanik sebagai akibat keterbatasan kebahasaan mereksa hendaknya disikapi sebagai sesuatu yang wajar. Pengoreksian kesalahan tatabahasa dan mekanik dilaksanakan setelah siswa lancar dan tidak mengalami kesulitan menulis.
6) Antara tugas menulis dan tugas membaca atau keterampilan berbahasa lainnya hendaknya ada hubungan yang jelas. Pembelajaran menulis hendaknya mempunyai keterkaitan dengan cerita yang telah dibaca atau cerita lisan. Mengembangkan materi tulisan, siswa diberi tugas membaca buku bacaan tambahan yang dapat digunakan untuk memperkaya ungkapan dan memperluas isi tulisan siswa.
9. Menulis Deskripsi
Deskripsi pada hakikatnya adalah penjabaran hasil pengamatan semua indra ke dalam kata atau perakitan kata untuk memberi kesan indra kepada orang lain. Karena kemampuan alat indra masing-masing orang tidak sama, deskripsi yang dihasilkannya pun tidak sama, bergantung pada kejelian masing-masing pengamat dalam menangkap kesan yang terlintas lewat indranya (Wahab dan Lestari, 1999:72).
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa deskripsi dapat bersifat subjektif dan objektif, bergantung sejauh mana keterlibatan pengamat terhadap objek yang diamatinya. Semakin jauh keterlibatan seseoang ke dalam deskripsi yang ditulis semakin subjektiflah deskripsi yang disajikan. Sedangkan deskripsi objektif bisa diperoleh dengan cara membatasi pengamatan kepada keadaan fisik objek, tanpa melibatkan reaksi jiwa. Imajinasi suatu objek dapat pula diperoleh melalui kesan pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penciuman.
a. Tulisan Deskripsi sebagai Salah Satu Bentuk Pembelajaran Menulis
Ragam tulisan dilihat dari segi bentuk dan cara pengungkapannya dapat dibagi atas beberapa ragam, misalnya: narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi. Harpin (dalam Beard, 1984:53) mengemukakan beberapa jenis tulisan yang dapat diajarkan di sekolah antara lain adalah tulisan deskripsi.
Adapun yang dimaksud tulisan deskripsi, Tompkins (1994:111) secara singkat menyatakan bahwa deskripsi merupakan karangan yang menggambarkan sesuatu melalui kata-kata. Deskripsi merupakan wacana yang membantu kita memvisualisasikan sesuatu. Fokusnya pada penampakan suatu objek sehingga kita dapat melihatnya secara tepat dan nyata (Temple, 1988). Dengan kata lain, deskripsi adalah tulisan yang memaparkan rincian atau detil tentang objek sehingga imajinasi dan sensivitas pembaca/pendengar bagaikan melihat, mendengarkan, merasakan, atau mengalami langsung objek atau peristiwa tersebut.
Menurut Temple (1988), pembaca tulisan deskripsi mengaharapkan penulis menampilkan keunikan atau penampakan karakteristik atau detil suatu objek. Dengan demikian, untuk menghasilkan tulisan deskriptif yang baik, siswa harus memahami detil karakteristik objek yang akan digambarkan. Dengan memahami detil karakteristik siswa dapat menggambarkan secara utuh suatu objek, sehingga pembaca seolah-olah melihat, merasakan, mengalami peristiwa atau objek tersebut.
Tulisan deskriptif dilihat dari gaya penyampaiannya terbagi atas (a) deskripsi eksipotorik (teknis) dan (b) deskripsi astistik (impresionistik). Deskripsi ekspositorik bertujuan menjelaskan sesuatu dengan rincian yang jelas sebagaimana adanya tanpa menekankan unsur-unsur impresi atau sugesti kepada pembaca. Bahasa yang digunakan adalah bahwa yang formal dan lugas.bentuk deskripsi seperti ini sulit dibedakan dengan eksposisi. Adapun deskripsi artistik adalah deskripsi yang mengarah kepada pemberian pengalaman kepada pembaca sebagaimana berkenalan dengan objek yang disampaikan dengan jalan menciptakan sugesti dan impresi, melalui keterampilan menyampaikan dengan gaya memikat dan pilihan kata yang menggugah perasaan. Dengan kata lain, deskripsi artistik atau literer berusaha menciptakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut melalui imajinasi pembaca, misalnya bila penulis mendeskripsikan sebuah kamar mandi yang kotor maka pembaca diberi imajinasi tentang kejorokan bahan seperti mencium bau tidak sedap dan sebagainya.
b. Teknik Menulis Deskripsi
Tompkins (1994) mengemukakan ada empat macam teknik yang dapat diterapkan dalam menulis deskripsi. Keempat teknik tersebut adalah (1) teknik pemberian informasi spesifik, (2) teknik penggambaran sensoris, (3) teknik perbandingan, (4) teknik dialog. Teknik tersebut dipaparkan pada uraian berikut ini.
1) Teknik Informasi Spesifik
Teknik informasi spesifik merupakan teknik yang mengarahkan siswa untuk menulis deskripsi dengan menambahkan informasi spesifik atau detil tentang objek yang digambarkan. Melalui teknik ini penggambaran anak tentang suatu objek dapat terhindar dari pengungkapan yang bersifat umum menjadi penngungkapan yang bersifat khusus. Untuk menambahkan detil berupa informasi spesifik dapat dilakukan beberapa cara, yakni;
(1) Mengidentifikasi kegiatan dan tingkah laku objek, beruang: memanjat pohon, memburu mangsa sebagai makanan, tidur di gua, dan sebagainya.
(2) Menyebutkan karakter dan personalitas objek, misalnya pemuda tampan: ramah, lincah, sopan, sabar, gemar bergaul, dan lain sebagainya.
(3) Mengidentifikasi atribut objek, misalnya kucing: hitam, kukunya tajam, matanya tajam, giginya runcing, ekornya panjang, kupingnya peka, loncatannya cepat, dan sebagainya.

2) Teknik Penggambaran Sensoris
Teknik penggambaran sensoris mengarahkan siswa untuk menggambarkan suatu objek dengan mengaitkan pengindraan, yakni indra penglihatan, indra pendengaran, indra peraba, indra perasa, dan indra penciuman. Teknik ini menurut Tompkins (1994) kadang-kadang hanya 2 atau 3 jenis sensori yang dapat terkembangkan bergantung pada jenis objek yang tersebut. Contoh teknik ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kuning hijau kuning muda










3) Teknik Perbandingan
Teknik perbandingan merupakan teknik penulisan deskripsi yang mengarahkan siswa untuk menuliskan gagasan secara (1) metaforis, yaitu pengungkapan yang membandingkan sesuatu secara lansung, misalnya bulan diganti dewi malam, macan diganti raja hutan, gadis diganti kembang atau bunga, dan sebagainya, (2) similar yaitu perbandingan yang mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan kata penghubung seperti, bagaikan, bak, contohnya pinggangnya seperti biola, matanya bagaikan bintang kejora.
c. Penilaian Proses dalam Tulisan Deskripsi
Penilaian proses atau asesmen informal menurut latif (1996) adalah penialai yang dilakukan saat pembelajaran berlangsung. Burn dkk. (1996) mengatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menilai perkembangan menulis siswa melalui proses. Cara atau teknik yang dimaksud adalah (1) bertanya jawab atau konferens dengan siswa yang berkaitan dengan menulis deskripsi, pengembangan tema menjadi topik, pengorganisasian dan pemahaman topik, penulisan dan penyusuan kerangka karangan, (2) memantau kegiatan siswa saat melakukan kegiatan menulis sebagai proses, mulai dari pramenulis, pengedrafan, perbaikan, dan penyuntingan dengan menggunakan observasi, catatan lapangan, dan ceklis, dan (3) memantau karangan siswa dari waktu ke waktu untuk mengetahui perkembangan menulis siswa dengan menggunakan asesmen portofolio.
Evaluasi proses sebagaimana yang dikemukakan oleh Latif (1996) bahwa evaluasi proses dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, kesulitan yang dialami, dan pola strategi belajar yang tepat. Hal tersebut sejalan dengan Rofi’uddin (1985:102) bahwa evaluasi proses terutama dikatikan dengan proses belajar siswa yang dapat memberikan balikan kepada guru dan siswa untuk mengatasi kesulitan merencanakan cara mengatasi kesulitas yang dihadapi siswa. Bentuk evaluasi proses yang diarahkan untuk mengetahui siswa yang mengalami kesulitan dalam menulis deskripsi, menurut Herman (1994) digunakan wawancara klinis (dalam Suwignya, 1997).
d. Evaluasi Hasil dalam Tulisan Deskripsi
Menurut Tompkins (1994) untuk menilai hasil karangan ada tiga cara penilaian yang dapat dilakukan, yaitu (1) penilaian holistic, (2) penilaian analitik, dan (3) penilaian aspek yang diutamakan. Untuk menentukan salah satu cara penilaian dari ketiga cara tersebut tergantung pada tujuan penilaian yang dilaksanakan. Dalam penelitian ini, cara yang dipilih adalah cara aspek yang diutamakan. Aspek utama dalam karangan deskripsi, menurut Ellis dkk. Adalah kerincian detil sensoris (1989:181).
Merupakan penialain aspek yang diutamakan, Tompkins (1994) mengemukakan prosedur yang perlu ditempuh, yakni (1) menentukan ciri karangan yang dinilai, ciri tersebut merupakan pembeda dari jenis tulisan lainnya, (2) menghubungkan profil karangan –berdasarkan ciri utama- yang meliputi serangkaian unsur yang akan dinilai, (3) menetapkan kriteria, indikator, dan descriptor, dan (4) penetapan skala dari kualifikasinya.
Pelaksanaan penilaian pembelajaran menulis deskripsi sebagai proses dengan menggunakan penilaian aspek utama karangan terbagi atas empat tahapan, yakni (1) penilaian pada tahap menulis, (2) penilaian hasil pada tahap pengedrafan, dan (3) penilaian hasil pada tahap perbaikan dan penyuntingan.
1) Penilaian pada tahap pramenulis
Aspek utama yang dinilai pada tahap pramenluis adalah pengembangan tema, pemilihan topik berdasarkan tema, pengembangan topik dengan menyusun pertanyaan dan jawaban yang berkaitan dengan topik, menulis judul dan menyusun kerangka karangan. Kegiatan tersebut merupakan penentu terbentuknya karangan deskripsi berupa bentuk unsur pradraf (BUP). Terbentuknya karangan yang bersifat deskriptif pada tahap pramenulis didasarkan pada kriteria keutuhan pada keempat unsur tersebut.
2) Penilaian hasil pada tahap pengedrafan
Pada tahap pengedrafan, aspek yang dinilai dalam bentuk draf adalah pengembangan gagasan dan penggambaran objek. Terbentuknya deskripsi didasarkan pada kerincian pengembangan gagasan dalam draf dan kejelasan penggambaran objek/topik terpilih.
3) Penilaian hasil pada tahap perbaikan dan penyuntingan
Pada tahap perbaikan, yang dinilai adalah hasil karangan siswa yang telah diperbaiki atau bentuk perbaikan draf awal. Kriteria yang digunakan dalam menilai tergambarnya karangan yang deskriptif sana dengan kriteria yang digunakan dalam menilai tergambarnya karangan yang deskriptif sama dengan kriteria yang digunakan pada tahap pengedrafan dengan perubahan sesuai dengan proses perbaikan. Dan pada tahap penyuntingan, yang dinilai adalah hasil karangan siswa yang disunting atau bentuk penyuntingan draf perbaikan. Kriteria yang digunakan dalam menilai hasil penyuntingan adalah ketepatan penerapan ejaan dan penulisan sesuai EYD.

e. Mengembangkan Suatu Karangan dalam Tulisan Despkripsi
Berbicara masalah mengembangkan suatu karangan, ada tiga hal pokok yang harus dicermati, yakni (1) bagaimana mengembangkan paragraf, (2) menggunakan kalimat efektif, dan (3) menggunakan ejaan atau yang sering disebut dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) (Rofi’uddin dkk., 1995). Ketiga hal tersebut, secara rinci akan dipaparkan berikut ini.
f. Mengembangkan Paragraf dalam Tulisan Deskripsi
Paragraf dapat diamati dari dua segi, yaitu segi isi dan struktur. Dari segi isi, paragraf merupakan suatu pernyataan tentang suatu pokok pikiran (ide pokok) yang dikemukakan secara utuh dan lengkap. Dari segi struktur, paragraf adalah sekelompok kalimat yang saling berhubungan dan dirangakian dalam urutan yang teratur dan jelas (Gie, 1984). Secara sederhana, paragraf dapat diartikan sebagai suatu susunan kalimat yang berhubungan satu dengan yang lain yang menyajikan pikiran pokok (ide pokok).
Paragraf merupakan unsur penting dalam suatu tulisan. Pentingnya paragraf dalam tulisan dapat dilihat dari tujuan dan fungsi paragraf dalam tulisan. Paragraf dimaksudkan untuk memudahkan pembaca dalam membaca tulisan dan menangkap isi pesan dan tulisan. Hal itu disebabkan ide pokok yang disajikan penulis sudah dipecah-pecah ke dalam ide-ide yang lebih kecil, disajikan secara sistematis, dan dirangkai secara harmonis satu dengan yang lain. Untuk itu, pembaca dapat memahami pesan dalam tulisan itu sedikit demi sedikit sampai akhirnya memperoleh pemahaman yang utuh setelah membaca seluruh uraian dalam tulisan itu.
Karena pentingnya kedudukan paragraf dalam tulisan, termasuk tulisan deskripsi, maka paragraf itu disusun sebaik mungkin, agar memudahkan pembaca memahami isi tulisan itu. Keraf (1984) menyatakan bahwa suatu paragraf dikatakan baik apabila memenuhi tiga persyaratan, yaitu (1) kesatuan, (2) kesistematisan dan kelengkapan, dan (3) kepaduan.
1) Kesatuan paragraf
Paragraf pada dasarnya untuk mengembangkan topik atau ide pokok. Oleh jarena itu, setiap paragraf harus memiliki kesatuan. Artinya semua kalimat yang terdapat dalam paragraf secara bersama-sama mendukung ide pokok atau gagasan pokok yang dituangkan dalam paragraf. Dengan demikian, dalam sebuah paragraf yang baik hanya terdapat satu pikiran atau gagasan pokok. Ini bukan berarti bahwa dalam sebuah paragraf hanya terdapat satu hal saja. Sebuah paragraf yang memiliki kesatuan dapat saja memiliki sejumlah rincian atau penjelasan, dengan catatan semua rincian atau penjelasan harus secara bersama-sama menunjang gagasan atau ide pokok paragraf. Dalam suatu paragraf tidak diperbolehkan adanya kalimat-kalimat yang menyimpang atau tidak relevan dengan ide pokok paragraf.
Untuk mengenali apakah suatu paragraf memiliki kesatuan gagasan ataukah tidak dapat dilakukan dengan cara mengamati, apakah semua kalimat dalam paragraf saling berhubungan dengan gagasan atau ide pokok paragraf ataukah tidak. Jika kalimat-kalimat yang ada dalam paragraf saling berhubungan dan saling mendukung dalam pemaparan ide pokok paragraf, maka paragraf tersebut dapat dikatakan memiliki kesatuan gagasan. Jika kalimat-kalimat yang terdapat dalam paragraf tidak saling berhubungan dalam pemaparan ide pokok paragraf, maka paragraf tersebut tidak memiliki kesatuan gagasan (Rofi’uddin, tt).
Kesatuan paragraf merupakan hal yang sangat penting, sebab tanpa adanya kesatuan gagasan pembaca akan kesulitan memahami ide pokok yang dikembangkan dalam paragraf tersebut. Di dalam paragraf, ide pokok biasanya diwadahi dalam kalimat topik, dan ide-ide penjelas diwadahi dalam kalimat-kalimat penjelas. Itulah sebabnya, kalimat topik menjadi titik sentral dalam paragraf, karena kalimat-kalimat yang lain dalam paragraf itu harus diacukan untuk mendukung isi kalimat-kalimat topik itu. Letak kaliamat topik dalam paragraf (tulisan ilmiah) bisa di awal, di akhir paragraf, atau gabungan keduanya.
2) Kesistematisan dan Kelengkapan Paragraf
Paragraf yang lengkap adalah paragraf yang didukung oleh semua ide penjelas yang diisyaratkan dalam kalimat topik. Jumlah ide penjelas ini tidak sama antara paragraf yang satu dengan paragraf yang lain. Ide pokok dan ide-ide penjelas dalam paragraf yang baik ditata secara sistematis. Pengurutan ide dalam suatu paragraf dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara alamiah dan secara logis. Urutan alamiah berupa urutan waktu (kronologi) dan ruang (sudut pandang), sedangkan urutan logis berupa urutan klimak-antiklimak, sebab-akibat, umum-khusus, pokok rincian, dikenal-tidak dikenal, dan mudah-sulit. Ide penjelas dalam paragraf dapat berupa: contoh, ilustrasi, rincian kongkrit, bandingan, uraian, fakta/data, alasan, penyebab/akibat, anekdot, dan analog.


3) Kepaduan (Kekohesian dan Kekoherensian) Paragraf
Paragraf yang baik haruslah memiliki kepaduan (kohesi dan koherensi). Kepaduan yang dimaksud adalah adanya rangkaian antar kalimat yang memudahkan pembaca untuk memahami isinya. Kalimat-kalimat yang menyusun paragraf saling terkait antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan antara kesatuan dan kepaduan dapat dijelaskan seperti berikut. Kesatuan lebih banyak berhubungan dengan ide-ide bawahan yang mendukung ide-ide pokok paragraf. Jika semua ide bawahan mendukung ide pokok, maka paragraf dapat dikatakan memiliki kesatuan, dan jika terdapat ide bawahan yang tidak mendukung ide pokok, maka paragraf dapat dikatakan tidak memiliki kesatuan. Kepaduan lebih banyak berhubungan dengan penataan dan penyusunan ide bawahan untuk menopang ide pokok paragraf. Jika susunan dan tatanan ide pokok dalam paragraf bersifat runtut dan tertib, maka paragraf dapat dikatakan memiliki kepaduan. Jika susunan dan tatanan ide pokok dalam paragraf bersifat kacau, maka paragraf dapat dikatakan tidak memiliki kepaduan.
Paragraf yang baik juga memiliki jalinan yang erat antaride, dan antarkalimat pendukungnya. Keterjalinan antaride dan antarkalimat dalam paragraf akan memudahkan pembaca memahami ide yang dituangkan penulis. Jalinan antaride dan antarkalimat dalam kalimat dapat dilakukan dengan menggunakan penanda hubung, baik eksplisit maupun implisit (menggunakan kata-kata penanda atau tanpa kata-kata penanda hubungan).
Penanda hubungan eksplisit (yang lazim disebut penanda kohesi) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penanda gramatikal, logis, dan leksikal. Penanda hubungan gramatikal meliputi jenis pengacauan, penggantian, dan penghilangan. Penanda hubungan logis meliputi hubungan penambahan, penjelasan, penyimpulan, kausalitas, pengontrasan, penegasan, dan lain-lain, dan penanda hubungan leksikal berupa pengulangan atau pernyataan kembali sesuatu yang telah disebutkan.
Hubungan implisit (yang lazim dikenal dengan penanda koherensi) dinyatakan oleh hubungan ide antarkalimat. Ide antarkalimat yang satu mempraanggapkan ide kalimat yang lain. Dengan cara itu, kalimat-kalimat itu dapat disusun menurut alur yang jelas, meskipun tanpa penanda hubungan eksplisit.
Selain penggunaan repitisi dan kata ganti, penggunaan kata transisi juga sangat besar andilnya dalam menyusun paragraf yang memiliki kepaduan (Rofi’uddin, 1992). Kata-kata transisi tersebut disajikan berikut ini.
(1) Kata transisi yang menunjukkan tambahan (aditif) terhadap sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya: lebih-lebih lagi, tambahan (pula), selanjutnya, di samping itu, dan, lalu, seperti halnya, juga, lagi (pula), berikutnya, pertama/kedua, akhirnya, demikian pula, serta, tidak hanya … tetapi. Lanjutan: lalu, kemudian, selanjutnya, lebihan, lebih lagi, lebih-lebih lagi, apalagi.
(2) Kata transisi yang menunjukkan hubungan pertentangan/kontras dengan sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya: tetapi, namun, bagaimanapun juga, walaupun demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun, meskipun. Alahan: walaupun demikian, meskipun demikian. Kolektif: selama … selama itu pula, setiap kali … setiap kali, semakin … semakin.
(3) Kata transisi yang menyatakan perbandingan: sama halnya, seperti, dalam hal yang sama, dalam hal yang demikian, sebagaimana. Kontras: tetapi, akan tetapi, namun.
(4) Kata transisi yang menyatakan akibat atau hasil: sebab itu, oleh sebab itu, karena itu, oleh karena itu, jadi, maka, akibatnya, hasilnya. Hasilan: sampai, sehingga.
(5) Kata transisi yang menyatakan tujuan: untuk maksud itu, untuk tujuan itu, untuk keperluan itu, supaya, agar. Tujuan: agar, supaya, agar supaya.
(6) Kata transisi yang menyatakan rangkuman/singkatan, contoh, dan intensitas: jadi, singkatnya, ringkasnya, pendeknya, pada umumnya, seperti sudah dinyatakan, dengan kata lain, misalnya, yakni, yaitu, sesungguhnya, simpulan, jadi, maka, dengan begitu, dengan demikian, karena … maka, jika … maka.
(7) Kata transisi yang menyatakan waktu: sementara itu, setelah itu, sesudah itu, segera, beberapa kemudian, kemudian, selanjutnya, sebelum itu, eaktu, ketika, sejak, sebelum, mula-mula, awalnya, mulanya, dan akhirnya.
(8) Kata transisi yang menyatakan tempat: di sini, di situ, di sana, dekat, di seberang, berdekatan dengan, berdampingan dengan.
g. Penggunaan Kalimat Effektif dalam Tulisan Deskripsi
Kalimat merupakan unsur karangan terkecil pembawa gagasan yang relatif lengkap. Sebagai pembawa pesan yang relatif lengkap, kalimat merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam menulis karangan (Soedjito, 1998:1). Hal ini disebabkan karangan terdiri atas suatu gagasan besar yang dipecah-pecah menjadi gagasan-gagasan yang lebih kecil yang berbentuk paragraf, dan dipecah lagi menjadi gagasan yang lebih kecil yang tertuang dalam kalimat. Kejelasan gagasan dalam karangan sangat ditentukan oleh jelas atau tidaknya gagasan yang ada dalam kalimat-kalimat yang mendukungnya. Karangan yang didukung oleh kalimat-kalimat yang tidak jelas gagasannya akan membuat pembaca tidak memahami konsep yang ada dalam karangan tersebut. Dalam perwujudannya, kalimat berupa tulisan yang dimulai denan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru.
Dalam menulis diperlukan kemampuan menyusun kalimat yang baik, yang biasa dikenal dengan kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat yang isinya dapat dipahami pembaca secara tepat. Kalimat ini memiliki dua ciri umum, yaitu (1) mampu mewadahi konsep/gagasan yang dimiliki penulis secara tepat, dan (2) mampu menimbulkan kesamaan pandangan atau gagasan antara pembaca dengan penulisnya.
Agar kalimat dalam karangan ilmiah memiliki ciri seperti di atas, maka dalam penyusunannya diperlukan berbagai persyaratan. Secara garis besar, kalimat efektif itu mempunyai ciri-ciri (1) gramatikal, (2) bernalar atau logis, (3) efisien, dan (4) jelas, tidak ambigius (Sudjito, 1988:1-8). Keempat hal yang menjadi syarat ini merupakan syarat yang pelu dimiliki oleh semua kalimat dalam karangan ilmiah. Syarat yang lain, misalnya kepararelan dan kevariasian, hanya berlaku pada kalimat-kalimat tertentu, sedangkan syarat penekanan bersifat relatif mengingat yang tahusecara pasti hanyalah penulis.
1) Gramatikal
Syarat pertama kalimat efektif adalah kegramatikalan atau kebenaran kalimat. Suatu kalimat dikatakan gramatikal atau benar apabila penyusunannya mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang bersangkutan. Ketaatan pada kaidah ini tampak pada struktur yang dibangun dalam kalimat tersebut. selain itu, kaidah tata bahasa selalu dimiliki oleh penutur asli. Maksudnya, penutur asli (misalnya penutur asli bahasa Indonesia) mempunyai kepekaan terhadap kaidah tata bahasanya. Dia dapat mengatakan secara intuitif “kalimat itu tidak lazim” atau “kalimat itu tidak pernah digunakan”. Penutur asli bahasa Indonesia mestinya tidak akan mengatakan “Adik punya baju saya pakai” dengan maksud ‘Baju adik saya pakai’, karena kalimat itu tidak lazim dalam bahasa Indonesia. Kegramatikalan sebuah kalimat dapat dilihat dari segi struktur sintaksis, bentuk kata, dan ketepatan diksi.
Berdasarkan struktur sintaksis, kalimat dikatakan gramatikal apabila urutan kata-kata yang membentuk kalimat itu tepat dan lazim digunakan oleh masyarakat penuturnya.
Kalimat gramatikal harus lengkap, yaitu dapat mengungkapkan informasi (disebut juga proposisi atau makna) secara utuh. Artinya, proposisi atau makna kalimat itu diungkapkan tidak sepotong-potong. Suatu kalimat dapat dikatakan lengkap apabila mempunyai kelengkapan struktur. Kelengkapan struktur kalimat ditandai dengan (1) kemampuan kalimat itu untuk berdiri bebas dan (2) mengandung unsur inti kalimat.
Berdasarkan tata bentukan, kalimat dikatakan gramatikal apabila bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu sesuai dengan kaidah pembentukan kata. Kesalahan kata yang digunakan dalam kalimat biasanya berupa (1) ketidaklengkapan pembentukan dan (2) ketidakcermatan pembentukan kata.
Selanjutnya, berdasarkan ketepatan diksi, sebuah kalimat dikatakan gramatikal apabila dalam kalimat itu tidak terdapat pemakaian kata yang tidaklazim. Kata-kata digunakan dengan makna yang tepat serta sesuai dengan perilakunya, khususnmya kata-kata yang mempunyai (makna) kolokasi dan sinonim.
Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kegramatikalan kalimat tergantung pada (1) ketepatan dan kelaziman urutan kata, (2) ketepatan fungsi kata, (3) kelengkapan unsur struktur, (4) ketepatan penggunaan pembentukan kata, dan (5) ketepatan pemilihan kata (diksi).
2) Logis
Suatu kalimat dikatakan logis apabila informasi (proposisi) kalimat tersebut dapat diterima oleh akal atau nalar. Logis tidaknya kalimat dilihat dari segi maknanya, bukan strukturnya. Kelogisan kalimat tampak pada gagasan dan pendukungnya yang dipaparkan dalam kalimat. Suatu kalimat dikatakan logis apabila (1) gagasan yang disampaikan masuk akal, (2) hubungan antargagasan dalam kalimat masuk akal, dan (3) hubungan gagasan pokok dan gagasan penjelas juga masuk akal.
Kelogisan kalimat didukung oleh ketepatan diksi dan bentukan kata yang digunakan. Diksi yang tepat akan dapat membantu memperjelas informasi yang dikandungnya. Kelogisan kalimat juga ditentukan oleh pembentukan kata. Kalimat tidak logis dapat disebabkan oleh penggunaan logika bahasa yang salah.
3) Efisien
Kalimat efektif atau hemat adalah kalimat yang padat isi bukan padat kata. Artinya, kalimat itu hanya menggunakan kata sesedikit mungkin, tetapi dapat menyampaikan informasi secara tepat dan jelas. Pengungkapan informasi dengan menggunakan banyak kata merupakan pemborosan. Penggunaan kata yang berlebihan menjadikan kalimat menjadi berbelit-belit dan sulit dipahami. Kalimat efisien ditandai dengan tiadanya unsur kalimat yang tak ada manfaatnya (atau tidak ada unsur mubadir).
4) Jelas
Tujuan menyusun kalimat adalah untuk menyampaikan informasi (proposisi) kepada orang lain. Tujuan itu dapat tercapai bila proposisi kalimat itu dapat dipahami dengan mudah oleh para pembaca. Kalimat yang proposisinya mudah dipahami itulah yang dinamakan kalimat jelas. Sebaliknya, kalimat yang mempunyai kemungkinan banyak tafsir dinamakan kalimat ambigius. Kalimat yang ambigius dalam karang-mengarang harus dihindari, sebab dapat menimbulkan salah pengertian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Karya ilmiah herus ditulis dengan menggunakan kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menyampaikan pesan sebagaimana yang dikehendaki penulis. Kalimat efektif memiliki empat persyaratan pokok, yaitu gramatikal, logis, efisisen, dan jelas. Suatu kalimat dikatakan gramatikal apabila kalimat tersebut disusun berdasarkan kaidah ketatabahasaan. Suatu kalimat dikatakan logis apabila informasi yang disampaikan penulis dapat diterima oleh akal sehat. Suatu kalimat dikatakan efisien apabila dalam kalimat tersebut tidak ditemukan unsur yang mubazir. Kejelasan kalimat berhubungan dengan ketidakambigiusan makna kalimat (Sadjito, 1988).

E. Belajar Bahasa Kedua
1. Mengapa Belajar Bahasa Kedua?
Ada beberapa alasan dapat diajukan orang untuk mendalami pemakaian dan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu alasan yang dapat diajukan ialah karena banyak hal yang menarik di dalamnya. Bahkan boleh juga dikatakan bahwa di dalamnya terdapat banyak rahasia yang perlu diungkap. Untuk mengungkapkannya, seseorang dapat menggunakan bermacam-macam metode, bergantung kepada bidang studi yang dikuasai oleh orang tersebut. Seseorang dapat saja menggunakan psikologi, linguistik, sosiologi, sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolingustik, dan sebagainya untuk menjawab teka-teki yang ada dalam proses pemerolehan dan pemakaian bahasa kedua.
Tujuan untuk mendalami sesuatu acapkali didorong oleh pertimbangan-pertimbangan atau alasan yang bersifat praktis. Kegunaan temuan penelitian seringkali lebih ditonjolkan daripada tujuan lainnya. Namun, kalangan ilmuwan akan mengatakan bahwa penelitian bermanfaat bagi pengembangan ilmu. Jadi, apa yang dilakukan orang di dalam sebuah penelitian, pada akhirnya bermanfaat juga. Untuk itu, David Cook (1965:9) mengungkapkan pendiriannya sebagai berikut:
We sometimes overlook the fact that there is much that we can know and need to know about our universe and ourselves that is not necessarily useful at the moment of discovery. By the same token, we are too prone to reject knowledge for which we cannot find an immediate practical application. You much of what those who apply knowledge has discovered in their practical pursuits was made possibly by those who were only pursuing knowledge for it own sake. In an ultimate sense all knowledge is practical.

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk menjawab dengan lebih tepat pertanyaan mengapa kita mendalami dan meneliti pemerolehan dan penggunaan bahasa kedua daripada hanya sekedar untuk memenuhi kehausan intelektual. Sebagai misal, kita dapat memetik manfaat studi ini dari segi pengajaran bahasa. Hasil itu akan sangat besar manfaatnya bagi profesi pengajaran bahasa, khususnya bagi guru-guru dan tenaga lapangan yang terlibat di dalam proses belajar-mengajar bahasa. Begitu pula bagi pembelajar bahasa itu sendiri. Corder (1981:7) menyatakan bahwa efektivitas pengajaran bahasa lebih baik berjalan seiring dengan proses alamiah pemerolehan bahasa. Pernyataan ini didasari oleh prinsip bahwa mendorong kemajuan belajar lebih baik daripada menghambatnya. Hal itu dapat dilakukan apabila kita memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang proses pemerolehan bahasa kedua tersebut.
Guru sebagai pengajar menduduki posisi sentral. Guru mewadahi dua komponen, yaitu bahasa/budaya dan pembelajar/kegiatan belajar. Pada umumnya telah dianggap sesuatu yang benar apabila kuputusan-keputusan yang diambil oleh guru sehubungan dengan proses belajar-mengajar didasarkan atas pertimbangan yang bersumber dari bahan pengajaran yang hendak diajarkan, yaitu bahasa dan budaya, dan pihak yang akan menerima pelajaran. Kedua komponen yang menduduki garis yang berada di dasar segitiga itulah yang akan mendominasi ruang lingkup studi bahasa kedua.
Pemahaman seorang guru terhadap bahan pelajaran yang akan diajarkan dan siswa yang hendak diajarnya sebaiknya selalu diperbaharui. Karenanya, studi bahasa kedua paling tidak harus dapat memberikan informasi tentang apa yang terjadi pada diri siswa bahasa dalam proses pemerolehan bahasa dan apa yang mereka peroleh dan proses pemerolehan tersebut. Jika dengan studi ini guru menjadi mampu memahami proses belajar bahasa, mampu lebih jelas melihat proses kejiwaan pembelajaran bahasa, dan mengetahui lebih banyak tentang faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa, maka untuk sementara hasil yang demikian sudah cukup memadai.
Idealnya, studi pemerolehan bahasa kedua ini pun dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu yang lain. Larsen-Freeman dan Long (1994:3-4) menyebutkan beberapa sumbangan yang dapat diberikan oleh hasil studi ini terhadap disiplin ilmu lain. Hasil studi pemerolehan bahasa kedua dapat menjadi ladang pembuktian pernyataan ahli bahasa bahwa pemerolehan bahasa merupakan fenomena alamiah yang terjadi secara universal.
Bagi para ahli yang mendalami ilmu jiwa, studi ini dapat memberikan sumbangan informasi tentang adanya perbedaan gaya belajar (learning style). Selain itu, studi pemerolehan bahasa kedua juga dapat memberikan sumbangan terhadap ahli antropologi, yakni dalam hal memahami kesemestaan budaya, khususnya dalam hal ini adalah bahasa dan penggunaannya di dalam masyarakat. Bagi seseorang yang mendalami sosiologi, studi pemerolehan bahasa kedua dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman pemilihan gaya berbahasa dan peristiwa yang tepat bagi pemakaian gaya tertentu. Untuk sesorang yang berkecimpung dalam pemahaman fungsi otak di dalam proses berbahasa, ia akan mendapatkan tambahan ilmu tentang perkembangan bahasa seorang anak. Teori perkembangan bahasa yang perlu mendapat perhatian serius dari para neurolinguistik adalah critical hypothesis yang sampai sekarang masih menarik perhatian peneliti (Boswell, 1993). Pembelajar bahasa akan mengalami kesulitan untuk benar-benar menguasai bahasa yang dipelajarinya apabila ia mempelajari bahasa tersebut pada saat usianya telah melewati periode kritis (Larsen-Freeman dan Long, 1994). Temuan ini perlu mendapatkan perhatian dan pengujian dari pihak-pihak yang berkecimpung dalam neurolinguistik.
2. Fakta-fakta yang Berhubungan dengan Belajar Bahasa
Ghazali (2000:13) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada tiga fakta belajar bahasa yang tidak bisa kita tolak kebenarannya. Pertama, semua anak bayi yang dilahirkan normal akan menguasai bahasa yang dipergunakan oleh lingkungannya. Ini terjadi tanpa melihat di mana bayi itu dilahirkan, siapa yang melahirkan, bagaimana ia dilahirkan. Pemerolehan bahasa ini tumbuh secara bertahap, yaitu mulai dari penguasaan bunyi-bunyi prabahasa, kemudian disusul dengan kata-kata yang di dalam teori pemerolehan bahasa dikenal dengan istilah ‘kalimat satu kata’ (one ward-sentence). Selanjutnya, muncul ‘kalimat dua kata’, kalimat sederhana, kemudian kalimat-kalimat yang strukturnya lebih kompleks.
Menyuk (1988:24) menyatakan pandangannya tentang pertumbuhan kemampan bahasa anak itu seperti berikut, “Language development takes place in a set of sequence and that this sequence is universal.” Anak bayi di seluruh dunia belajar menguasai beberapa aspek bahasa yang lebih kompleks. Misalnya, ia belajar mengucapkan bunyi-bunyi vocal terlebih dahulu sebelum ia belajar mengucapkan konsonan, berusaha mengucapkan bunyi terlebih dahulu sebelum ia bisa mengucapkan kata-kata, belajar mengucapkan kata seperti papa, mama, kaka sebelum ia mampu menggunakan rangkaian kara dalam bentuk kalimat sederhana seperti papa datang, mama duduk, atau kaka membaca buku.
Kedua, waktu yang dipergunakan oleh anak untuk menguasai kaidah bahasa yang sangat kompleks. Peristiwa belajar bahasa pada masa kanak-kanak itu terjadi pada waktu yang relatif singkat dan sangat menakjubkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa belajar bahasa itu seakan-akan dialami oleh anak tanpa kesulitan apa pun. Fenomena belajar bahasa ini bersifat semesta tanpa ada pihak-pihak tertentu yang secara khusus memberikan pelajaran kepadanya. Dengan pernyataan filosofis, Boswel (1993:9) menyarakan bahwa peristiwa belajar bahasa pertama yang dialami seorang anak adalah conditio sine qua non yang terjadi pada saat anak tumbuh secara alamiah. Karenanya, peristiwa yang menjadi tanda tanya besar di kalangan filosof, ilmuwan, dan para orang tua ini mudah disikapi sebagai hal yang biasa. Banyak orang menganggap bahwa kemampuan berbahasa itu sebagai kehendak alam yang memang seharusnya demikian tanpa ada seorang pun yang dapat mencegahnya. Hal yang menakjubkan ini oleh Menyuk (1988:25) diungkapkan seperti berikut, “…a great deal of knowledge about language is acquired over a fairly short period of time.”
Ketiga, fakta yang membuat peneliti perkembangan bahasa anak tercengang adalah kemampuan anak menyimpulkan kaidah, membuat kategorisasi kata, memilah-milah morfem-morfem yang menjadi penanda kata, jenis kelamin, jumlah, dan sebagainya. Padahal, dalam kenyataan, kita melihat bahwa masukan bahasa (input) yang ditrerima oleh anak ketika anak belajar bahasa sangatlah bervariasi. Di dalam masukan bahasa itu pun tidak pernah ada pemilahan bahwa ini kalimat yang salah dan ini kalimat yang benar menurut kaidah, ini kalimat yang diucapkan tidak secara lengkap karena penuturnya menganggap hal itu tidak perlu diungkapkan secara lengkap. Namun, fakta menyatakan bahwa urutan pemerolehan bahasa pada tahap awal seakan-akan ditetapkan waktunya. Karena itu, Menyuk (1988:25) mengatakan bahwa ”a children hear language that is highly variable, takes place in time a connected sequence, and then disappears.”
Di dalam peristiwa belajar bahasa ini terdapat persoalan yang menjadi pertanyaan besar bagi peneliti perkembangan anak (Romaine, 1984; Foster, 1990). Para peneliti tidak berhenti melakukan penelitian agar mereka mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka, misalnya: apa mekanisme yang mendasari perkembangan bahasa anak sehingga penggunaan bahasanya berkembang dari satu tingkat ke tingkatan yang lain, apakah anak juga memainkan peran utama di dalam proses pemerolehan bahasa ibunya, apakah lingkungan sosial juga mempunyai peran dalam proses pembentukan kemampuan bahasa anak, mengapa anak mempunyai kemampuan untuk menghasilkan kalimat yang bahkan belum pernah didengar sekalipun.
Ada cara pandang yang berbeda dalam melihat fenomena pemerolehan bahasa. Di satu pihak, ada yang beranggapan bahwa anak mempunyai peran pasif dalam proses pemerolehan bahasa tersebut. Wundt (1900), sebagaimana dikutip oleh Deutsch (1981:1) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. “Child language is a product of the child’s environment. During this process the child basically integrates language in a passive way.” Pandangan Wundt di atas tidak memberikan tempat bagi adanya peran aktif anak dalam proses pemerolehan bahasa. Pandangan ini beranggapan bahwa kekuatan luarlah yang berperan membentuk kemampuan bahasa anak dalam proses pemerolehan bahasanya.
Di pihak lain, Ament (dalam Deutsch, 1981:2), beranggapan bahwa proses pemerolehan bahasa suatu proses kreasi atau penemuan kembali (reinvention). Pendukung pandangan ini berpikir bahwa anak mempunyai peran aktif dalam proses pemerolehan bahasa. Ament menyatakan bahwa …in language acquisition the child is not imitating the adult’s language, but the contrary holds, namely the adult is imitating the child.” Menurut Ament, anak tidak meniru bahasa anak-anak. Dengan demikian, Ament mengakui bahwa anak mempunyai peran yang cukup besar dalam proses pemerolehan bahasa.
Kontroversi pandangan aktif dan pasif dalam proses pemerolehan bahasa ini berjalan berabad-abad lamanya. Keadaan yang demikian ini menurut Stern dan Stern (1907) dalam bukunya “Die Kinder Sprache” tidak dapat dibenarkan baik secara teoritik maupun empirik. Lebih jauh kedua ahli ini menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa melibatkan dua piranti dasar. Pertama, proses pemerolehan bahasa merupakan proses mendekati bahasa orang dewasa (approximation) yang melibatkan anak di dalam kegiatan menguasai bentuk-bentuk konvensional yang terdalam di dalam system bahasa yang dipelajarinya. Kedua, proses pemerolehan bahasa dianggap sebagai proses konstruktif. Dalam hal ini, anak yang sedang belajar bahasa dipandang selalau menyusun hipotesis tentang hubungan antara bentuk, isi, dan fungsi system bahasa yang dipelajarinya. Proses pemerolehan bahasa adalah proses konvergen, yakni sebuah proses berinteraksinya kekuartan luar dalam secara ajek.
B.F. Skinner berpandangan bahwa belajar dapat terjadi dalam proses operant-conditioning yang dilaksanakan melalui program penguatan (reinforcement) bertahap. Namun, psikologi behavioristik yang sangat menekankan pada pengamatan empirik sebagai metode ilmiah ini dianggap belum berhasil menyingkap rahasia keberhasilan anak menguasai bahasa ibunya dalam waktu yang relatif singkat. Dalam banyak bukti penelitian, ditemukan bahwa seorang anak yang mempelajari bahasa ibunya menghasilkan ujaran yang tidak sama dengan bahasa orang tuanya. Braine (1963) berhasil mengumpulkan sejumlah bukti bahwa anak mempunyai kaidah tata bahasa yang berbeda dengan bahasa orang dewasa. Jika teori Skinner benar, tentunya anak tidak akan menghasilkan ujaran yang menurut orang dewasa tidak gramatikal dan tidak berterima. Bukti yang didapat oleh peneliti-peneliti di bidang pemerolehan bahasa itu mendorong mereka untuk melakukan penelitian. Di antara pertanyaan yang muncul dan mereka buktikan dalam penelitian adalah mengapa terjadi ujaran anak yang tidak sesuai dengan kaidah gramatikal orang dewasa, mengapa anak menerapkan kaidah sintaksis yang berbeda dengan ujaran orang dewasa, apakah kaidah sintaksis itu memang diperoleh secara bertahap sehingga sampai pada tahap tertentu ada beberapa kaidah yang belum diperoleh dan belum dikuasai dengan baik oleh anak. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa proses anak menguasai kaidah bahasa yang rumit dalam waktu yang relatif singkat tetap menjadi persoalan penting bagi peneliti pemerolehan bahasa. Sebagai hasil, penelitian itu membuahkan beberapa teori utama pemerolehan bahasa.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian Pembelajaran Bahasa Arab berbasis portofolio di Program Khusus Pembelajaran Bahasa Arab (PKPBA) UIN Malang ini merupakan penelitian deskriptif atau kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan (action research). Dikatakan demikian karena penelitian ini memiliki karakteristik penelitian kualitataif sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1982) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri (1) menggunakan setting alamiah sebagi sumber data dan peneliti sebagai instrumen inti, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih mementingkan proses daripada hasil, (4) menganalisis data secara induktif, dan (5) makna menjadi perhatian utama.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian tindakan (action research), yakni suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemampuan rasional dari tindakan–tindakan sebelumnya, serta untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi di kelas. Menurut Elliott (1992:54), penelitian tindakan merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas. Penelitian tindakan ini mengintegrasikan antara mengajar, mengembangkan pengajaran, mengembangkan kurikulum, evaluasi, penelitian, dan refleksi ke dalam praktik pembelajaran.
Joni (1998) memberikan gambaran bahwa penelitian tindakan kelas merupakan satu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan rasional dari tindakan yang dipilih untuk memperbaiki kondisi-kondisi praktek pembelajaran yang selama ini dilaksanakan. Penelitian tindakan bertujuan untuk (1) memperbaiki, jika ditemukan masalah pada situasi khusus, (2) memberikan pelatihan dengan keterampilan dan metode baru, (3) memberikan inovasi dan pendekatan dalam pembelajaran, (4) memperbarui hubungan antara dosen sebagai praktisi dengan peneliti, dan (5) memberikan alternatif pemecahan masalah di dalam kelas.
Cohen dan Manion (1980) menyatakan bahwa sifat penelitian tindakan adalah situasional, kolaboratif, partisipatori, dan evaluasi diri. Sudarsono (2001), mengemukakan lebih lanjut mengenai karakteristik penelitian tindakan berikut ini.
(1) Situasional, artinya berkaitan langsung dengan kondisi konkret yang dihadapi dosen sehari-hari.
(2) Kontekstual artinya pemecahan yang berupa model dan prosedur tindakan yang tidak lepas dari konteksnya; baik itu konteks sekolah, dan masyarakat tempat proses pembelajaran berlangsung. Seperti halnya di dalam penelitian ini pembagian kelompok juga memperhatikan jenis kelamin mahasiswa, artinya setiap kelompok terdiri dari mahasiswa dan mahasiswi. Hal ini mengingat konteks lokasi penelitian di UIN Malang untuk melatih mahasiswa untuk mampu bekerjasama dengan mahasiswi karena kampus merupakan miniatur masayarakat dimana laki-laki dan perempuan saling bekerjasama.
(3) Kolaboratif, artinya selalu ada partisipasi antara mahasiswa, dosen dan peneliti untuk mencapai tujuan secara bersama-sama.
(4) Refleksi diri dan evaluasi diri, pelaksana tindakan serta objek yang dikenai tindakan melakukan refleksi dan evaluasi diri terhadap kemajuan yang telah dicapai.
(5) Fleksibel, dalam penelitian ini memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan kaidah metodologi tanpa meninggalkan prinsip-prinsipnya. Misalnya tanpa ada prosedur pengambilan sampel dan pengumpulan data lebih bersifat reflektif.
Penelitian ini melibatkan dosen sebagai praktisi dan peneliti, baik dalam proses perencanaan maupun pada pelaksanaan tindakan. Hubungan antara peneliti dan dosen bersifat kemitraan atau kolaboratif. Peneliti dan dosen duduk bersama untuk mendiskusikan rencana tindakan dan merefleksi tindakan yang telah dilaksanakan. Hal inilah yang disarankan oleh Tikunof dkk. (dalam Oja dan Smulyan, 1989) bahwa untuk melakukan penelitian tindakan di kelas, dosen dan peneliti harus sudah bekerja bersama sejak identifikasi masalah, merumuskan masalah, menentukan tindakan yang akan diambil sampai pada pelaksanaan tindakan. Pernyataan yang lebih menguatkan disampaikan oleh James dkk. (dalam Oja dan Smulyan, 1989) bahwa penelitian tindakan tidak mungkin dilakukan tanpa ada dukungan dari dosen, sekolah dan administrasi sekolah.
Penelitian tindakan ini dilakukan dengan menggunakan prosedur perencanaan penelitian tindakan menurut Kemmis dan Taggart (dalam Sudarsono, 2001), yakni terdiri atas perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dosen dan peneliti mengambil tindakan. Tindakan yang telah ditetapkan akan dilakukan melalui siklus-siklus. Di dalam penelitian ini dilakukan sebanyak tiga siklus. Hubungan siklus pertama dan siklus selanjutnya bersifat perbaikan. Pelaksanaan tindakan di siklus pertama akan diamati, dianalisis dan direfleksikan bersama-sama oleh dosen maupun peneliti. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar pemilihan tindakan di siklus kedua. Selanjutnya, pelaksanaan tindakan di siklus kedua diamati, dianalisis dan direfleksikan oleh dosen dan peneliti. Hasil refleksi tersebut digunakan sebagai dasar pemilihan tindakan di siklus ketiga. Apabila pelaksanaan tindakan di siklus pertama sudah mampu menunjukkan bahwa tindakan yang dipilih sudah tepat, kemudian diambil kesimpulan. Tetapi, apabila tindakan yang diambil belum tepat penelitian dilanjutkan dengan tindakan siklus kedua. Apabila di siklus kedua sudah mampu menunjukkan bahwa tindakan yang dipilih sudah tepat, akan diambil kesimpulan. Tetapi, apabila masih perlu perbaikan, maka penelitian akan dilanjutkan ke siklus berikutnya sampai terjadi kondisi kelas yang diharapkan.
Studi pendahuluan dalam penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 21 dan 28 November 2003. Dari studi pendahuluan ini peneliti dan dosen bersama-sama merumuskan permasalahan yang dirasakan di dalam kelas, yaitu kondisi kelas yang kurang kondusif yang ditandai dengan adanya beberapa mahasiswa yang sering menunjukkan sikap kurang peduli terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh dosen bahkan ada mahasiswa yang bermain-main di dalam kelas sementara dosen sedang melaksanakan pembelajaran. Selain itu, di dalam pembelajaran menulis dosen belum sepenuhnya memperhatikan tahap-tahap menulis, baik kegiatan pramenulis, saat menulis, maupun pascamenulis.
Dosen dan peneliti menetapkan tindakan yang akan dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan di kelas demi peningkatan kualitas pembelajaran. Tindakan yang dipilih adalah menerapkan portofolio dalam pembelajaran menulis. Menulis mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi mahasiswa dan merupakan salah satu kunci untuk menguasai ilmu pengetahuan. Strategi belajar portofolio dipilih karena dengan strategi ini akan terjadi peer teaching (saling mengajar antarteman), sehingga peran dosen untuk melayani kebutuhan belajar mahasiswa akan terbantu walaupun jumlah mahasiswa di dalam kelas cukup banyak.
Untuk melaksanakan tindakan yang telah ditetapkan tadi, mahasiswa di dalam kelas dibentuk menjadi kelompok-kelompok. Anggota kelompok ditentukan oleh dosen dengan mempertimbangkan keheterogenan kemampuan mahasiswa. Setiap kelompok terdiri dari satu mahasiswa berkemampuan tinggi, dua atau tiga berkemampuan sedang dan satu atau dua orang mahasiswa berkemampuan rendah. Setelah terbentuk kelompok, mahasiswa akan bersama-sama secara kooperatif memahami bahan tulisan yang telah ditetapkan. Dengan strategi ini diharapkan pembelajaran lebih efektif, menarik dan suasana kelas lebih dinamis.
1. Perencanaan Tindakan
Sebelum melakukan pembelajaran dengan strategi belajar kooperatif di kelas, dosen bersama-sama dengan peneliti terlebih dahulu menyusun rencana tindakan. Rencana tindakan tersebut dapat dijabarkan berikut ini.
(1) Menyusun rencana umum pelaksanaan pembelajaran menulis, berupa kegiatan yang akan diterapkan di kelas yang diteliti, yaitu kegiatan untuk mendiskripsikan tema yang diberikan dosen.
(2) Menentukan prosedur portofolio dalam menulis, yaitu membentuk kelompok, menentukan tugas kelompok, dan menentukan peran tutor teman sekelompok. Jumlah anggota tiap kelompok ditetapkan 6-8 anggota, dari jumlah keseluruhan mahasiswa di kelas yang diteliti sebanyak 40 orang, maka di kelas yang diteliti akan terbentuk 6 kelompok. Tugas tiap kelompok akan disesuaikan dengan kondisi di kelas yang diteliti berdasarkan skenario tindakan.
(3) Merancang skenario tindakan
Peneliti dan dosen bersama-sama merancang skenario tindakan mulai dari menentukan topik, menentukan jenis kegiatan, menetapkan waktu dan tahapan-tahapan yang akan dilakukan baik pada pramenulis, saat menulis dan pasca menulis. Skenario tindakan merupakan serangkaian rencana tindakan yang akan dilakukan selama proses belajar mengajar dengan menggunakan strategi portofolio. Skenario tindakan ini dirinci menjadi rencana setiap pertemuan di masing-masing siklus (lihat lampiran).
(4) Mempersiapkan dosen
Untuk mempersiapkan dosen menerapkan portofolio pada pembelajaran menulis, maka peneliti dan dosen terlebih dahulu mempelajari skenario tindakan yang akan dilaksanakan di kelas dan mengadakan latihan secukupnya, dengan harapan pada saat pelaksanaan di kelas dosen merasa lebih siap.
(5) Menyusun alat pengumpulan data dan analisis data
Peneliti mempersiapkan alat pengumpulan data berupa pedoman pencatatan lapangan, pedoman pengamatan (observasi), alat perekam dan pendokumentasian. Selanjutnya, peneliti menyusun alat untuk menganalisis data berupa rambu-rambu analisis yang disusun sesuai dengan sifat penelitian tindakan.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap ini, dosen melaksanakan tindakan pembelajaran berdasarkan skenario tindakan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan baik kegiatan dosen di kelas maupun kegiatan mahasiswa selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pedoman observasi. Selain menggunakan pedoman observasi peneliti juga mencatat kegiatan yang dilakukan dosen dalam merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran serta kegiatan mahasiswa selama di kelas dalam melaksanakan diskusi kelompok, melaksanakan tutorial antarteman (peer tutor) dan melaporkan hasil diskusi secara reflektif dengan menggunakan pedoman pencatatan lapangan.
Sebagai alat Bantu, alat perekam dan alat pendokumentasian digunakan untuk membantu mendukung hasil pengamatan dan catatan lapangan. Sedangkan untuk memudahkan observasi sekaligus mengevaluasi tindakan di kelas, peneliti menggunakan pedoman observasi.
3. Pemantauan atau Monitoring
Menurut Soedarsono (2001), monitoring dilakukan untuk mengikuti jalannya pembelajaran selama pembelajaran berlangsung. Pemantauan di dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) mengetahui kesesuaian pelaksanaan tindakan dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan peneliti dan dosen secara bersama-sama, (2) mendapatkan keterangan atau catatan tertentu yang sangat penting selama pembelajaran berlangsung, dan (3) mengetahui seberapa besar pelaksanaan tindakan yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan dan perubahan perilaku yang dilakukan dosen maupun mahasiswa.
4. Refleksi
Merefleksi berarti bercermin, maknanya adalah bercermin pada pengalaman belajar mengajar yang baru saja dilakukan. Merefleksi atau bercermin pada pengalaman belajar mengajar hendaknya merupakan upaya kelas yang kooperatif, seperti halnya pada saat mahasiswa bekerja menyelesaikan portofolio di kelas.
Refleksi dilakukan oleh peneliti dan dosen secara bersama-sama. Peneliti mengadakan refleksi berdasarkan data yang diperoleh selama pemantauan. Praktisi melakukan refleksi berdasarkan pengalaman selama melaksanakan pembelajaran baik hambatan, atau kekurangan yang ada. Apabila dari hasil refleksi terdapat banyak kekurangan atau bahkan terjadi penyimpangan dari tujuan yang telah ditetapkan maka dimungkinkan membuat perubahan rencana tindakan atau skenario untuk siklus selanjutnya sehingga penelitian tetap berada pada tujuan semula. Adapun alur penelitian tindakan dapat digambarkan dalam skema berikut ini.


B. Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Subjek penelitian lapangan ini adalah mahasiswa program khusus pembelajaran bahasa Arab (PKPBA) UIN Malang. Mengingat jumlah subjek penelitian cukup banyak, maka dalam hal ini penulis menggunakan teknik cluster sampling, yakni subjek penelitian ditentukan dengan mengambil salah satu kelas saja. Dalam hal ini kelas yang menjadi subjek penelitian adalah kelas yang diasuh oleh Bapak Drs. Moh. Mukhlas, M.Pd., yakni kelas F-3.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian ini berupa data proses dan data produk. Data proses merupakan data yang menunjukkan kegiatan mahasiswa dalam melaksanakan diskusi kelompok, melaksanakan tutorial antarteman dan melaksanakan pelaporan hasil diskusi kelompok selama pembelajaran. Data produk merupakan data yang menunjukkan hasil kerja kelompok maupun individu dalam menulis deskripsi tentang tema-tema yang diberikan.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa seluruh peristiwa yang terjadi dalam proses pembelajaran baik yang dilakukan dosen, maupun mahasiswa di kelas. Sedangkan sumber data sekunder berupa hasil kerja mahasiswa baik kelompok maupun individu dalam menulis deskripsi tentant tema-tema yang diberikan dosen.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri mengingat penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Instrumen penunjangnya adalah: (1) pedoman observasi untuk memudahkan pengamatan pada seluruh kegiatan dosen dan mahasiswa pada saat pelaksanaan portofolio dalam pembelajaran menulis bahasa Arab, (2) alat perekam (tape recorder) untuk merekam interview, dan (3) pendokumentasian untuk menunjang penginterpretasian data. Penelitian yang instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, menurut Bogdan dan Biklen (1982) termasuk penelitian kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat kualitatif.
E. Teknik Pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik, yakni observasi, interview, dan dokumentasi.


1. Observasi
Hadi (1993:136) mengatakan bahwa metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi yang dilakukan adalah pengamatan secara terlibat (participant observation). Peneliti hadir sebagai peneliti sekaligus sebagai dosen pembina mata kuliah. Tehnik observasi ini dilakukan untuk mendapatkan catatan lapangan (field note) tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan portofolio mata kuliah bahasa Arab yang diasuhnya. Catatan lapangan selanjutnya digunakan untuk memperjelas data yang diperoleh dengan teknik lain.
2. Interview (Wawancara)
Interview dalam penelitian ini digunakan sebagai metode untuk mencari data yang argumentative dan menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan portofolio mata kuliah bahasa Arab. Dalam proses ini, peneliti menerima kenyataan apa adanya dan seobjektif mungkin.
3. Dokumentasi
Sudiyono (1987:27) mengemukakan bahwa metode dokumentasi adalah suatu metode dalam penelitian dengan mengadakan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan pendidikan. Metode dokumentasi merupakan alat pengumpulan data dengan sumber data berupa catatan, transkrip, buku, majalah, jurnal, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen resmi yang berupa karya mahasiswa dari waktu ke waktu yang disimpan dalam sebuah file maupun yang di tampilkan dalam show case. Karya mahasiswa yang dimaksud berupa karya terbaik kelompok maupun individu.

F. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992). Analisis yang dilakukan terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi serta penarikan simpulan akhir.
Pada reduksi data dilakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul di lapangan. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan adalah menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa hingga dapat diambil simpulan.
Penyajian data merupakan suatu kumpulan informasi yang tersusun sehingga memberi kemungkinan adanya penarikan simpulan. Pada dasarnya dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti bergerak diantara keempat komponen tersebut yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Peneliti mula-mula melakukan pengamatan yang mendalam di kelas mencakup segala kegiatan dosen dalam membangkitkan skemata mahasiswa, menjelaskan topik dan tujuan di awal pembelajaran, memperkenalkan portofolio, menentukan kelompok, melakukan pendampingan dan pengarahan saat diskusi kelompok sampai pada peran dosen dalam tahap pelaporan hasil diskusi kelompok. Pada saat melakukan pengamatan tersebut, peneliti sekaligus memilih data yang akan dipakai, memusatkan perhatian pada data yang mendukung tujuan penelitian, dan menggolongkan data sesuai dengan tujuan penelitian. Di dalam proses tersebut peneliti juga melakukan pemberian makna atau interpretasi pada data yang muncul pada tiap-tiap tahap sehingga mudah dipahami pada tahap penyajian.
Setelah data cukup untuk disajikan, peneliti menarik simpulan sementara, kemudian melakukan triangulasi data berupa diskusi dengan dosen, diskusi dengan ahli. Setelah hasil simpulan sementara ditrianggulasikan (verifikasi), peneliti mengambil simpulan akhir.
BAB IV
LAPORAN PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan tentang (1) sekilas tentang Program Khusus Perkuliahan Bahasa Arab (PKPBA) UIN Malang, (2) pelaksanaan pembalajaran menulis bahasa Arab PKPBA UIN Malang, (3) evaluasi pembelajaran menulis bahasa Arab PKPBA UIN Malang, dan (4) kendala-kendala pembelajaran menulis bahasa Arab mahasiswa PKPBA UIN Malang. Secara rinci laporan penelitian ini dipaparkan sebagai berikut.
A. Sekilas tentang PKPBA UIN Malang
PKPBA UIN Malang merupakan program khusus perkuliahan bahasa Arab yang digagas langsung oleh Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku rektor UIN Malang. Program khusus ini diberi tanggungjawab untuk menangani perkuliahan bahasa Arab yang dikelola dengan suatu program khusus. Progran khusus ini, di samping ikut dalam merealisasikan tujuan UIN Malang, juga bertujuan untuk membangun kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab yang selanjutnya dijadikan sebagai alat kajian keislaman. Melalui pembelajaran bahasa secara intensif dan kreatif diharapkan mahasiswa mampu melakukan kajian terhadap literatur yang berbahasa Arab secara mandiri, sehingga harapan agar mahasiswa mampu mengembangkan keilmuan lebih lanjut dapat terwujud.
Untuk mengembangkan bahasa Arab, UIN Malang memformulasikan model pengembangan bahasa Arab secara intensif-kreatif. Adapun bentuk-bentuk operasionalnya adalah sebagai berikut:
• Program pengembangan bahasa Arab ini dilaksanakan selama satu tahun (12 bulan) secara intensif.
• Dalam proses belajar mengajar (dosen dan mahasiswa) diupayakan menggunakan bahasa Arab, terutama disiplin ilmu-ilmu agama.
• Waktu pelaksanaannya ditetapkan selama 5 jam/perhari, mulai hari Senin sampai dengan hari Jum’at.
• Materi/bahan perkuliahan dipilihkan yang berbabahasa Arab yang ditulis oleh penutur asli bahasa Arab.
• Program ini dibina langsung, secara intensif oleh tim pengembangan bahasa Arab yang terdiri atas tenaga-tenaga ahli dalam bidang bahasa Arab. Para instruktur ini ini diharuskan juga berkomunikasi secara intensif dengan menggunakan bahasa Arab sehingga akan tercipta lingkungan yang selalu berbahasa Arab.
• Untuk melaksanakan program ini dibentuk tim khusus yang bertugas mengatur program perkuliahan bahasa Arab secara intensif.
• Untuk mendukung program bahasa Arab intensif ini perlu diciptakan suasana yang kondusif di mana kemampuan berbahasa Arab para mahasiswa tidak hanya menjadi tanggung jawab dosen bahasa Arab, tetapi seluruh dosen UIN Malang. Oleh karena itu, para dosen bidang studi agama perlu memacu kemampuan bahasa Arab mahasiswa dengan memberikan materi perkuliahan yang tertulis dalam bahasa Arab.
• Untuk memberikan metode pengajaran yang tepat dengan kemampuan mahasiswa, maka perlu diadakan pengelompokan melalui placement test bahasa Arab.
• Jumlah peserta setiap kelompok antara 30-35 orang.
Kurikulum PKPBA UIN Malang sejak berdirinya enam tahun yang lalu mengalami beberapa perubahan. Dari buku al-Arabiyah li al-Nasyi’in secara utuh, buku pegangan bahasa Arab yang disusun oleh tim dengan memisahkan-misahkan empat keterampilan berbahasa (keterampilan menyimak, bebicara, membaca, dan keterampilan menulis), kemudian buku al-Arabiyah baina Yadaika. Dinamika ini dimaksudkan untuk menemukan format dan sistem yang sesuai dengan kondisi dan situasi peserta didik serta tuntutan perkembangan dalam pembelajaran bahasa Arab.
Bahan ajar dari buku al Arabiyah Baina Yadaika ini terdiri atas 3 jilid dan setiap jilid tercakup di dalamnya 4 (empat) keterampilan berbahasa (keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis). Buku Pertama dipergunakan untuk tingkat mubtadi’in (tingkat dasar/basic). Buku ini terdiri atas 16 wihdah (pokok bahasan). Buku kedua diperuntukkan bagi tingkat mutawasshithin (tingkat menengah/intermediate) yang juga terdiri atas 16 pokok bahasan. Sedangkan buku ketiga untuk tingkat al mutaqaddimin (tingkat tinggi/advanced) yang di dalamnya terdiri atas 16 pokok bahasan.
Untuk materi keterampilan menulis sesuai dengan fokus penelitian ini secara umum dipaparkan berikut ini.
(1) Marhalah al-mubtadi’in (tingkat dasar/basic)
Pada tahap ini keterampilan menulis yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah:
• Kemampuan menulis huruf dalam bahasa Arab secara benar dengan cara menirukan tulisan yang sudah ada sesuai dengan kaidah khat yang benar.
• Kemampuan menulis kata dalam bahasa Arab dengan cara menirukan tulisan yang sudah ada dan merangkai huruf menjadi kata baik kata yang terdiri atas tiga huruf maupun yang empat.



(2) Marhalah al-mutawassithin (tingkat menengah/intermediate)
Pada tingkat menengah ini, kemampuan menulis yang harus dikuasai peserta didik adalah kemampuan menulis karangan terstruktur (insya’ muwajjah), dengan bentuk-bentuk:
• Menyusun kata menjadi kalimat.
• Menyambungkan beberapa kata menjadi kalimat serta menggunakannya.
• Mendeskripsikan gambar.
• Menulis insya muwajjah dengan bantuan nash-nash.
• Menulis insya mueajjah dengan bantuan beberapa kata kunci.
• Menulis insya muwajjah dengan bantuan ide-ide pokok.
• Menulis insya muwajjah dengan ditentukan judul.
• Menulis insya muwajjah dengan ditentukan tema.
• Merubah bentuk hiwar (dialog) menjadi bentuk narasi/deskripsi.
(3) Marhalah al-mutaqaddimin (tingkat atas/advanced)
Kemampuan menulis pada tingkat atas¬/al-mutaqaddimin ini difokuskan pada menulis karangan yang tidak terikat. Adapun bentuk-bentuknya adalah sebagai berikut.
• Menulis karangan sesuai dengan hasil menyimak dari bacaan.
• Meringkas suatu bacaan dengan menggunakan ungkapan bahasa Arab sendiri.
• Merubah bentuk pentas (dialog) ke dalam bentuk narasi.
• Menulis suatu cerita.
B. Penerapan Pembelajaran Menulis Bahasa Arab Berbasis Portofolio di PKPBA UIN Malang
1. Implementasi Model
Model pembelajaran berbasis portofolio dapat dijadikan proyek belajar para mahasiswa yang sedang mempelajari bahasa Arab di perguruan tinggi. Proyek belajar ini dapat dilaksanakan setiap semester atau setiap tahun sekali, sebagai selingan proses belajar di dalam kelas. Esensinya bahwa melalui model ini lingkungan belajar, yakni keluarga dan masyarakat dijadikan laboratorium secara terpadu, yakni melibatkan keluarga dan masyarakat sebagai sumber belajar.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian dalam bidang proses pembelajaran diyakini bahwa untuk mempertahankan irama belajar mahasiswa agar tidak menurun harus terdapat variasi proses dan cara belajar. Belajar selama satu semester di dalam kelas tanpa adanya selingan, misalnya melakukan kerja lapangan, melakukan out bond, dan sebagainya tentu akan membosankan. Apabila mahasiswa sudah merasa bosan dalam belajar, karena tidak ada variasi dan selingan, maka irama belajar peserta didik akan menurun. Model protofolio dalam mempertahankan irama belajar mahasiswa dapat digambarkan sebagai berikut:







2. Langkah-langkah Pembelajaran
1) Identfikasi Masalah
Langkah awal yang dilakukan dalam identifikasi masalah adalah pembentukan kelompok kecil yang mendiskusikan masalah menulis dalam bahasa Arab. Untuk mengerjakan tugas ini, seluruh peserta didik diberi tugas menelaah materi pembelajaran bahasa Arab yang sudah diajarkan selanjutnya mendiskusikan poin-poin yang dianggapnya sulit dan perlu mendapatkan penanganan segera. Dosen/guru membagi peserta didik menjadi 5 (enam) kelompok, setiap kelompoknya terdiri atas 6 (enam) mahasiswa. Setiap kelompk diminta untuk mencari satu masalah lalu mendiskusikannya dalam kelompok kecil tersebut untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Tugas mahasiswa yang tengah mempelajari bahasa Arab, khususnya menulis adalah belajar memecahkannya dengan menggunakan konsep-konsep bahasa. Dari hasil diskusi kelompok, ditemukan 5 (lima) masalah yang secepatnya mendapatkan pemecahan atau penanggulangan. Kelima masalah menulis dalam bahasa Arab tersebut adalah: (1) merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya, (2) menyusun kata menjadi kalimat, (3) menyusun kalimat menjadi paragraf, (4) mendeskripsikan gambar dalam bentuk paragraf, dan (5) menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok-pokok pikiran.
Untuk dapat memecahkan masalah dengan baik, selanjutnya setiap mahasiswa diharuskan untuk mencari informasi yang sesuai dengan permasalahan kelompoknya. Pencarian informasi tersebut bisa dilakukan dengan cara membaca buku-buku yang berkatian dengan masalah yang akan dipecahkan, atau menanyakannya kepada para ahli, dalam hal ini para dosen yang berkompeten. Setelah mereka menemukan informasi yang cukup, mereka membawa bahan-bahan yang diperoleh ke kelas, selanjutnya memberikan bahan tersebut kepada dosen/guru dan teman sekelas untuk diperiksa dan dipertimbangkan. Dengan membawa bahan-bahan tersebut ke kelas akan mendatangkan keuntungan ganda. Pertama, bagi kawan-kawan lain akan menambah pengetahuan. Kedua, bagi mereka sendiri akan memperoleh tanggapan yang positif untuk lebih memahami masalah yang sedang dianalisis.
2) Memilih Masalah Untuk Kajian Kelas
Setelah kelas memiliki cukup informasi tentang masalah-masalah yang akan dikaji, maka langkah selanjutnya adalah membuat daftar masalah dan menentukan salah satu di antaranya untuk bahan kajian kelas. Setiap kelompok kecil yang telah selesai mengidentifikasi dan menganalisis masalah dengan dukungan informasi yang memadai, menetapkan satu masalah dan menuliskannya dalam daftar masalah. Dari lima kelompok kecil dapat diidentifikasi enam masalah dalam menulis bahasa Arab seperti terdapat pada tabel berikut ini.
Tabel: 4.1
Daftar Masalah Untuk Kajian Kelas
No MASALAH UNTUK KAJIAN KELAS
1 Merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya
2 Menyusun kata menjadi kalimat
3 Menyusun kalimat menjadi paragraf
4 Mendeskripsikan gambar
5 Menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok-pokok pikiran

Selanjutnya, setiap kelompok berkewajiban untuk mempresentasikan apa yang dihasilkannya di hadapan teman-teman dan dosen yang bersangkutan. Presentasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan konstruktif dari semua pihak, baik dari teman-teman maupun dari dosen pembina yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan evaluasi.
3. Pelaksaan Tindakan
Penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus. Siklus pertama dilakukan pada tanggal 20 Januari 2004 sampai dengan 20 Pebruari 2004. Siklus kedua dilakukan pada tanggal 26 Pebruari 2004 sampai dengan 20 April 2004. Hubungan antara siklus pertama dan kedua merupakan perbaikan. Hasil refleksi siklus pertama merupakan dasar bagi penentuan tindakan pada siklus kedua. Selanjutnya, peneliti paparkan hasil pengamatan dan wawancara secara mendalam di kelas terteliti.
1) Perancangan Pembelajaran

Dosen yang sekaligus peneliti membahas rancangan pembelajaran yang akan dilaksanakan untuk membantu peserta didik memahami masalah yang teridentifikasi. Masalah yang teridentifikasi adalah (1) merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya, (2) menyusun kata menjadi kalimat, (3) menyusun kalimat menjadi paragraf, (4) mendeskripsikan gambar dalam bentuk paragraf, dan (5) menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok-pokok pikiran. Masalah ini dipilih karena merupakan masalah menulis yang dianggap perlu dan merupakan dasar dari menulis karangan deskripsi, di samping memang masalah tersebut merupakan hasil identifikasi 5 kelompok yang dibentuk sebelumnya.
Setelah menetapkan masalah yang akan dikaji, dosen menyusun rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran yang tersusun dapat diuraikan berikut ini.
(1) Tujuan Pembelajaran Umum, setelah mengikuti pembelajaran peserta didik mampu menulis karangan deskripsi yang sederhana dalam bahasa Arab.
(2) Tujuan Khusus:
a. Setelah mengikuti pembelajaran peserta dapat merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya.
b. Setelah mengikuti pembelajaran peserta didik dapat menyusun kata menjadi kalimat.
c. Setelah mengikuti pembelajaran peserta didik dapat menyusun kalimat menjadi paragraf.
d. Setelah mengikuti pembelajaran peserta didik dapat mendeskripsikan gambar dalam bentuk paragraf.
e. Setelah mengikuti pembelajaran peserta didik dapat menulis karangan deskripsi terstruktur dalam berbahasa Arab dengan ditentukan pokok-pokok pikirannya.
f. Kegiatan yang akan dilaksanakan oleh dosen adalah (1) menjelaskan tujuan pembelajaran, (2) menjelaskan strategi pembelajaran yang akan digunakan, (3) menjelaskan kegiatan yang harus dilakukan peserta didik, (4) mempersiapkan tugas yang akan dikerjakan peserta didik yang berbentuk open ended, (5) membentuk kelompok yang masing-masing berjumlah 5-6 orang, dan (6) memantau dan mencatat jalannya kerja kelompok, dan pelaporan.
(3) Evaluasi, evaluasi yang digunakan adalah evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dilakukan dengan mengamati perkembangan perilaku peserta didik selama pembelajaran. Evaluasi hasil dilakukan dengan mengoreksi hasil tes, memberi catatan-catatan sebagai feedback, dan mengembalikan kepada mahasiswa sebagai bahan untuk tes selanjutnya.
2) Pelaksanaan Pembelajaran
Dosen membuka pelajaran dan melakukan pengecekan terhadap kehadiran peserta didik. Dosen menjelaskan masalah-masalah yang dikaji satu persatu. Selanjutnya, masalah-masalah yang teridentifikasi yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
(1) Pembelajaran tentang merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya
Dosen menjelaskan bahwa dalam menulis bahasa Arab biasanya digunakan dua bentuk kalimat (jumlah), kalimat nomina dan kalimat verba. Kalimat verba (jumlah fi’liyah) adalah kalimat yang tersusun minimal dari kata kerja (fi’il) dan subjek (fa’il), sedangkan kalimat nomina (jumlah ismiyah) adalah kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar. Dalam kalimat verba, kata kerja (fi’Il) selalu mengikuti subjek (fa’il)nya dalam bentuk mudzakkar (masculine) dan mu’annats (feminim)nya. Dalam kalimat nominal, khabar selalau mengikuti mubtada’nya dalam segala aspeknya, baik itu mudzakkar-mua’annatsnya, mufrad (tunggal), mutsanna (dua), jamak (banyak), maupun pemarkah (‘irab) yang menyertainya (rafa’, nasab, dan jar). Oleh karena itu, perubahan bentuk dari kalimat verba ke dalam kalimat nomina relatif lebih sulit.
Selanjutnya, dosen memberikan tugas kepada kelompok untuk dibahas. Tugas yang diberikan berupa perintah memberikan contoh dalam kehidupan sehar-hari yang menggunakan kalimat verba atau kalimat nomina. Dosen mengingatkan kepada para ketua kelompok untuk tidak menguasai jalannya kerja kelompok. Ketua kelompok harus memberi kesempatan kepada setiap anggota untuk menjawab pertanyaan dari dosen, karena penilaian akan dilakukan oleh dosen dengan cara melihat bagaimana mahasiswa menyelesaikan tugas.
(2) Pembelajaran tentang menyusun kata menjadi kalimat sempurna
Dosen menjelaskan tentang maksud menyusun kata menjadi kalimat. Kata-kata yang disediakan adalah kata-kata kerja, kata benda, kata sifat, dan juga kata keterangan. Dalam penyusunan kata menjadi kalimat perlu juga memperhatikan bentuk kalimat yang akan disusunya, apakah kalimat nomina atau kalimat verba, di samping mengenali makna-makna yang terkandung di dalam kata tersebut, sehingga kalimat yang dihasilkan adalah kalimat sempurna (jumlah mufidah).
Selanjutnya, dosen meminta mahasiswa untuk mencoba menyusun kata-kata yang telah tersedia dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah kalimat sempurna yang diawali dengan kata verba (kata kerja) dan bentuk kedua adalah kalimat sempurna yang diawali dengan kata nomina (kata benda). Dalam belajar kelompok setiap mahasiswa harus ikut berperan serta dalam menjawab tugas dari dosen. Pada saat mendiskusikan tugas yang diberikan dosen, setiap anggota harus menghormati pendapat orang lain dan tidak boleh bersikap menang sendiri, misalnya mengerjakan sendiri tugas yang ada tanpa bekerjasama dengan teman yang lain. Begitu juga sebaliknya, tidak ada anggota kelompok yang hanya mengandalkan pekerjan anggota lainya tanpa memiliki kontribusi apapun.
(3) Pembelajaran tentang menyusun kalimat menjadi paragraf
Dosen menjelaskan bagaimana menyusun kalimat menjadi paragraf yang baik dan benar. Menyusun kalimat menjadi paragraf merupakan kelanjutan dari menyusun kata menjadi kalimat. Dalam penyusunan paragraf di sini perlu diperhatikan kesesuaian antara satu kalimat dengan kalimat yang lain, kesistematisannya, dan juga kelogisan susunan kalimat tersebut.
Selanjutnya, dosen memberikan tugas yang harus diselesaikan oleh setiap kelompok mahasiswa untuk menyusun potongan kalimat-kalimat menjadi suatu paragraf yang utuh. Dosen berkeliling kelas melihat perkembangan yang terjadi di setiap kelompok. Dosen selalu mendorong agar anggota kelompok bisa bekerjasama dengan baik agar dapat menghasilkan paragraf yang baik dan benar.
(4) Pembelajaran tentang mendeskripsikan gambar
Dosen melanjutkan pembelajaran dengan menjelaskan cara mendeskripsikan gambar yang baik dan benar. Mendeskripsikan gambar merupakan bentuk menulis karangan deskripsi di mana mahasiswa dituntut untuk memahami gambar dengan jeli, memikirkan pilihan kata (diksi) yang sesuai, dan mengungkapkannya dalam bentuk tulisan sesuai dengan apa yang dipahaminya. Mendeskripsikan gambar bukan merupakan hal yang mudah, karena dibutuhkan kejelian dan ketelitian dalam memahami gambar, yang pada gilirannya dapat menghasilkan karangan deskripsi sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Pada tahap awal, dosen memberikan tugas kepada kelompok untuk mendeskripsikan gambar yang erat hubungannya dengan kejadian sehari-hari, seperti gambar seorang dosen, seorang petani, dan gambar mahasiswa. Namun seiring dengan perkembangan kemampuan mahasiswa, gambar-gambar yang diberikan mulai beragam dan lebih kompleks. Untuk memudahkan mahasiswa membuat tulisan, dosen memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan gambar. Misalnya:
- Siapa/apa yang ada dalam gambar?
- Apa yang dikerjakan?
- Kapan dan di mana Ia melakukan pekerjaan tersebut?
- Bagaimana ia melakukan pekerjaan tersebut?
- Mengapa ia melakukan pekerjaan tersebut?
- Dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di samping berfungsi sebagai pengarah juga digunakan sebagai media untuk mengembangkan gagasan dalam tulisan tersebut. Dosen berkeliling kelas memantau jalannya diskusi kelompok sambil memberikan bimbingan dan mencatat perkembangan yang terjadi.
(5) Pembelajaran tentang menulis karangan deskripsi tersturktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok-pokok pikiran
Dosen menjelaskan bagaimana menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan beberapa pokok pikiran, baik itu berupa kata, frasa, maupun kalimat. Pokok-pokok pikiran merupakan kata-kata kunci untuk mengembangkan gagasan dalam karangan deskripsi. Dengan adanya pokok-pokok pikiran, mahasiswa diharapkan akan lebih mudah mengembangkan gagasan, menggunakan kalimat efektif, dan menggunakan tatabahasa yang baik dan benar.
Selanjutnya, dosen memberikan tugas kepada kelompok untuk menyusun karangan deskripsi yang berhubugan dengan kegiatan sehar-hari. Untuk memudahkan mahasiswa mengerjakan tugas, dosen memberikan contoh karangan deskripsi untuk dipelajari oleh kelompok. Dosen berkeliling kelas untuk memantau kerjasama peserta didik sambil mencatat beberapa perkembangan yang terjadi dalam kelompok tersebut.
C. Penerapan Evaluasi Pembelajaran Menulis Bahasa Arab Berbasis Portofolio Mahasiswa PKPBA UIN Malang
Evaluasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran menulis bahasa Arab berbasis portofolio ini meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam evaluasi proses, dosen melaksanakan evaluasi dengan cara melihat perkembangan dan kemajuan baik yang bersifat individual maupun kelompok selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini dilakukan dengan cara mencatat perilaku, respon, dan aktivitas mahasiswa dari pertemuan pertama sampai pertemuan terakhir. Sedangkan evaluasi hasil dilakukan dengan cara memberikan tes kepada peserta didik tentang kelima masalah yang diidentifikasi, kemudian mengoreksi dengan memberikan catatan perbaikan sebagai feedback, selanjutnya mengembalikan hasil koresksian tersebut kepada peserta didik untuk dipelajari guna mempersiapkan tes berikutnya.
Penilaian menulis dalam pembelajaran bahasa Arab berbasis portofolio di PKPBA UIN Malang ini dilakukan dengan cara memberikan evaluasi atau tes kepada mahasiswa sesuai dengan masalah-masalah yang telah diidentifikasi oleh setiap kelompok di atas. Evaluasi untuk setiap masalah dilakukan minimal 2 kali. Hal ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan kemampuan mahasiswa dalam menulis dalam bahasa Arab dari waktu ke waktu.
Pada tes pertama, dosen mengoreksi hasil kerja peserta didik dan memberikan beberapa catatan yang perlu diperbaiki oleh peserta didik sekaligus sebagai feedback bagi mereka. Catatan-catatan tersebut dimaksudkan agar mahasiswa mengetahui kesalahan yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya pada tes berikutnya dalam masalah yang sama. Penilaian ini didasarkan pada acuan atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berikut ini dipaparkan hasil evalusi menulis bahasa Arab mahasiswa PKPBA UIN Malang yang dilakukan sebanyak dua kali.
(1) Merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya
Dari kedua tes yang dilakukan terhadap mahasiswa dapat dideskripsikan beberapa temuan berikut. Secara umum, kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam merubah bentuk dari kalimat verba ke dalam kalimat nomina atau sebaliknya adalah (1) pada tes pertama, sebanyak 20% dari mahasiswa melakukan kesalahan dalam merubah bentuk dari kalimat nomina ke dalam kalimat verba, dan sebanyak 18% dari mereka melakukan kesalahan dalam merubah bentuk dari kalimat verba ke dalam kalimat nomina, dan (2) pada tes kedua, sebanyak 15% mahasiswa melakukan kesalahan dalam merubah bentuk dari kalimat nomina ke dalam kalimat verba, dan sebanyak 14% dari mereka melakukan kesalahan dalam merubah bentuk dari kalimat verba ke dalam kalimat nomina. Kesalahan yang terjadi sebagian besar dalam bentuk jamak (plural) dan mutsanna (yang mennjukkan arti dua), baik itu perubahan dari kalimat nomina maupun kalimat verba.

Materi Tes Prosentase Kesalahan
Perkembangan
Tes I Tes II
Merubah bentuk jumlah ismiyah menjadi jumlah fi’liyah
Merubah bentuk jumlah fi’liyah menjadi jumlah ismiyah 20%


18%
15%


14% 5%


4%

Berikut ini contoh kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa:
يذهب المسلمون إلى المسجد خمس مرات فى اليوم seharusnya dirubah menjadi المسلمون يذهبون إلى المسجد خمس مرات فى اليوم, akan tetapi kebanyakan mahasiswa tidak merubah kata kerja tunggal (يذهب) menjadi jamak (يذهبون), sehingga yang ditulis mahasiswa adalah: المسلمون يذهبون إلى المسجد خمس مرات فى اليوم
Dari penurunan 4-5% kesalahan yang dilakukan mahasiswa menunjukan adanya perkembangan yang dialami oleh mereka dari tes pertama ke tes kedua, karena dosen memberikan beberapa catatan sebagai feedback. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam merubah bentuk bentuk dari kalimat nomina ke dalam kalimat verba atau sebaliknya cukup baik. Kesalahan tersebut diyakini akan berkurang lagi jika tes serupa diadakan lebih dari dua kali, karena setiap tes selalu diberikan catatan sebagai feedback-nya.
(2) Menyusun kata menjadi kalimat
Dasar yang digunakan dalam menyusun kata menjadi kalimat (tarkibu al kamilat li tusbiha jumlatan) adalah merubah bentuk yang diteskan pada tes pertama, yakni merubah dari bentuk verba ke dalam bentuk nomina atau sebaliknya. Peserta didik dalam menyusun kata menjadi kalimat ada yang memulai dari kata verba dan ada pula yang memulainya dengan kata nomina. Hal ini tergantung dari kalimat yang akan disusunnya. Dari kedua tes beserta catatan sebagai feedback-nya diketahui bahwa pada tes pertama, sebanyak 26% mahasiswa melakukan kesalahan dalam menyusun kata menjadi kalimat yang diawali dengan kata verba, sebanyak 20% dari mereka melakukan kesalahan dalam menyusun kata menjadi kalimat yang diawali dengan kata nomina. Sedangkan pada tes kedua, sebanyak 15% mahasiswa melakukan kesalahan dalam menyusun kata menjadi kalimat yang diawali dengan kata verba, dan sebanyak 10% dari mereka melakukan kesalahan dalam menyusun kata menjadi kalimat yang diawali dengan kata nomina.

Materi Tes Prosentase Kesalahan
Perkembangan
Tes I Tes II
Menyusun kata menjadi kalimat (verba) Menyusun kata menjadi kalimat (nomina) 26%

20% 15%

10% 11%

10%

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam menyusun kata menjadi kalimat dari tes pertama ke tes kedua mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini dapat diketahui dari berkurangnya prosentase kesalahan yang terjadi, yakni 5-10%, baik kesalahan dalam menyusun kata menjadi kalimat yang memulai dari kata verba maupun dari kata nomina. Kesalahan tersebut diyakini akan berkurang jika tes dilakukan lebih dari dua kali. Karena dengan mempelajari catatan sebagai feedback dari dosen, peserta didik dapat belajar dari kesalahan yang terjadi untuk tidak mengulanginya pada tes-tes berikutnya.
Berikut ini kesalahan yang banyak terjadi:
الطلاب – المدرسة – في – يذهب – العطلة – لم – إلى – يوم
Seharusnya disusun menjadi:
الطلاب إلى المدرسة يوم العطلة لم يذهب
akan tetapi banyak mahasiswa menyusunnya menjadi:
الطلاب لم يذهب إلى المدرسة يوم العطلة

Kesalahan tersebut dilakukan karena kekeliruan mahasiswa yang menganggap kata jamak (الطلاب) sebagai mufrad (singular), sehingga mereka tidak merubah kata kerjanya.
(3) Menyusun kalimat menjadi paragraf
Menyusun kalimat menjadi paragraf merupakan kelanjutan dari menyusun kata menjadi kalimat. Akan tetapi dalam tes menyusun kalimat menjadi paragraf sifanya lebih kompleks, karena peserta didik dituntut untuk memahami alur cerita setiap kalimat yang disajikan. Tes menyusun kalimat menjadi paragraf ini juga diteskan sebanyak dua kali. Dari hasil kedua tes dapat diketahui bahwa (1) pada tes pertama, sebanyak 12% mahasiswa melakukan kesalahan dalam menyusun kalimat tesebut dan (2) pada tes kedua, sebanyak 10 % mahasiswa melakukan kesalahan dalam menyusun kalimat menjadi paragraf yang baik. Dari kedua tes di atas dapat diketahui bahwa tingkat kesalahan yang terjadi pada tes kedua relatif lebih sedikit daripada kesalahan yang terjadi pada tes pertama, yakni sekitar 2%.

Materi Tes Prosentase Kesalahan
Perkembangan
Tes I Tes II
Menyusun kalimat menjadi paragraf 12% 10% 2%

Dengan melihat kesalahan yang terjadi pada tes pertama beserta catatan dari dosen, mahasiswa belajar untuk membenahinya pada tes selanjutnya dalam bentuk yang serupa. Sehingga kesalahan yang pernah terjadi tidak dilakukan pada tes selanjutnya, dan kesalahan tersebut diyakini akan berkurang jika dilakukan tes yang terus menerus dalam bentuk serupa meskipun materi yang diteskan berbeda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peserta didik telah mampu menyusun kalimat menjadi paragraf dengan lebih baik meskipun prosentase berkurangnya kesalahan hanya 2%.
(4) Mendeskripsikan gambar dalam bentuk paragraf
Untuk dapat mendeskripsikan gambar dengan baik diperlukan beberapa kemampuan, di antaranya adalah penguasaan beberapa kosa kata yang terkait langsung dengan gambar, pemilihan kata (diksi) yang sesuai dengan konteks gambar yang akan dideskripsikan, di samping juga kemampuan mengembangkan paragraf, menggunakan kalimat efektif, dan kemampuan di bidang gramatika atau tata bahasa Arab (qawa’id lughah Arabiyah).
Dari tes yang dilakukan dapat diketahui bahwa sebagian mahasiswa masih banyak yang menemukan kesulitan dalam memilih kata yang sesuai dan lemahnya di bidang tatabahasa. Hal ini disebabkan oleh minimnya kosa kata yang dimiliki dan faktor latar belakang peserta didik yang sangat beragam, yakni kebanyakan dari mereka bukan berasal dari sekolah yang bercirikan keagamaan (MA) atau pesantren yang mana bahasa Arab dan kaidahnya merupakan salah satu materi pelajaran yang harus ditempuh. Dengan faktor-faktor tersebut mengakibatkan pada hasil tulisan mendeskripsikan gambar mahasiswa masih banyak terdpat kesalahan gramatikal dan kurang sempurna dalam mengembangkan gagasan.
(5) Menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok-pokok pikiran
Menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok pikiran merupakan komulasi dari beberapa kemampuan terdahulu, yakni kemampuan merubah bentuk dari kalimat verba menjadi kalimat nomina atau sebaliknya, menyusun kata menjadi kalimat, menyusun kalimat menjadi paragraf, dan mendeskripsikan gambar. Kemampuan-kemampuan tersebut yang mendasari kemampuan mahasiswa menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah). Dari hasil tes yang dilakukan diketahui bahwa kemampuan mahasiswa dalam menulis karangan deskripsi tergolong lemah sebagaimana kemampuan mereka dalam mendeskripsikan gambar.
Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah minimnya kosakata bahasa Arab yang dimiliki peserta didik dan kemampuan mereka yang rendah di bidang tatabahasa, karena dengan kosa kata yang minim peserta didik kesulitan mengembangkan gagasannya dalam karangan tersebut. Akan tetapi, pada tes kedua terjadi sedikit perubahan dan peningkatan, khususnya di bidang tatabahasa. Sehingga dengan demikian, karangan deskripsi yang dihasilkan lebih mudah dipahami oleh pembaca.
Setelah menyelesaikan portofolio, mahasiswa membuat refleksi. Merefleksi berarti bercermin, maknanya adalah bercermin pada pengalaman belajar yang baru saja dilakukan oleh peserta didik baik perorangan maupun kelompok. Merefleksi atau bercermin pada pengalaman belajar hendaknya merupakan upaya kelas yang kooperatif, seperti halnya pada saat peserta didik bekerja menyelesaikan portofolio di kelas. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat menyajikan di depan kelas dapat membantu peserta didik untuk merefleksi pengalaman belajar dan portofolio yang dibuatnya. Refeksi setiap mahasiswa berbeda antara satu dengan lainnya. Namun secara umum dapat dikemukakan bahwa isi refleksi berkisar pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang saya pelajari darinya?
- Apa yang sudah saya kuasai dengan baik?
- Mengapa saya memilih karya ini untuk dimasukkan dalam portofolio?
- Apa yang ingin saya tingkatkan dalam masalah ini?
- Bagaimana perasaan saya tentang kemampuan saya?
- Apa yang masih menjadi masalah (sulit)?

D. Kendala-kendala Pengajaran Menulis Bahasa Arab Berbasis Portofolio di PKPBA UIN Malang
Dalam pengajaran dan evaluasi berbasis portofolio di PKPBA UIN Malang para dosen dan mahasiswa menemui beberapa kendala. Kendala-kendala dijelaskan sebagai berikut.
1. Memerlukan kerja keras dan alokasi waktu yang lama
Portofolio memerlukan waktu yang lama baik ketika tahap persiapan maupun pengecekan dan penilaian. Pada tahap persiapan, banyak guru yang mengeluhkan kesulitan merancang portofolio yang baik. Mereka merasa bahwa untuk membuat rancangan portofolio memerlukan kerja keras dan ketelitian ekstra.
Karena portofolio perlu dikoreksi dan diberikan feed back, maka pada tahap penilaian, portofolio juga memerlukan waktu dan ketelitian. Sementara sebagian besar dosen tidak hanya mengajar di satu kelas. Bahkan ada dosen yang juga mengajar di perguruan tinggi lain. Mereka banyak yang mengajar rangkap di sekolahan lain untuk mencari tambahan honor karena honor dosen PKPBA UIN Malang sangatlah kecil jika dibandingkan dengan kerja keras dan tanggung jawab mereka. Hal ini semakin membuat dosen merasa berat jika harus menerapkan portofolio secara konsekwen.
Meskipun demikian, para dosen masih setia menerapkan portofolio karena mereka merasa bahagia dengan respon yang diberikan oleh mahasiswa. Dengan portofolio mahasiswa merasa dilibatkan dalam proses belajar-mengajar sehingga meningkatkan motivasi belajar mereka. Hal ini membuat proses belajar-mengajar lebih mudah dan lancar. Kebahagiaan seperti itulah yang sulit didapatkan oleh dosen sekarang ini.
Jika merasa keberatan menerapkan portofolio di semua kelas yang diajar, para ahli menyarankan agar memilih beberapa kelas saja dalam satu semester. Untuk kelas-kelas lain dapat dilaksanakan pada semester berikutnya. Cara lain adalah dengan cara membatasi jumlah entri yang akan dikumpulkan dalam portofolio. Begitu juga dalam tahap persiapan, jika persiapan dilakukan dengan baik, dosen tidak perlu membuat persiapan lagi untuk tahun berikutnya karena bahan ajar yang telah dipersiapkan tersebut dapat digunakan untuk tahun berikutnya pada kelas yang berbeda.
2. Kelas yang heterogen
Setiap dosen menginginkan anak didik yang memiliki kemampuan yang merata karena lebih mudah dikelola. Namun sayang, tidak semua mahasiswa memeliki kemampuan yang sama. Hal ini dikarenakan latar belakang mahasiswa yang beragam. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mahsiswa PKPBA UIN Malang ada yang berlatar belakang pendidikan Madrasah Aliyah swasta dan pesantren, Madrasah Aliyah Negeri, dan SMU atau sederajat. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengelola kelas yang heterogen tersebut secara baik.
Portofolio sendiri akan lebih mudah diterapkan di kelas homogen, namun bukan berarti ia tidak cocok untuk kelas yang heterogen. Banyak pakar menyarankan agar portofolio diterapkan di kelas yang heterogen karena sifatnya yang terbuka (open-ended). Dengan sifat seperti ini, setiap mahasiswa memeiliki kesempatan untuk menunjukkan karya terbaiknya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian dosen lebih mudah mengamati kelebihan dan kekurangan setiap mahasiswanya. Dosen juga dapat selalu memonitor perkembangan setiap mahasiswanya. Mahasiswa yang memiliki kelebihan diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya sementara mahasiswa yang lemah diberi motivasi untuk mencapai prestasi yang maksimal. Karena itu, tidak ada portofolio yang sama persis karena kemampuan mahasiswa juga berbeda-beda.
3. Koreksi oleh mahasiswa terkadang kurang objektif
Dalam portofolio mahasiswa terkadang dilibatkan dalam pengoreksian. Masalah yang muncul adalah apakah hasil koreksi mahasiswa tersebut dapat diandalkan? Bahkan terkadang dijumpai mahasiswa yang menyalahkan karya temannya karena tidak tahu atau karena sengaja.
Perlu diingat bahwa keterlibatan mahasiswa dalam pengkoreksian dimaksudkan untuk membuat mahasiswa lebih memahami materi yang diberikan dan melatih tanggung jawab. Dengan demikian tidak ada hal yang harus dirisaukan. Yang harus dipersiapkan oleh dosen adalah memberi penjelasan secara detail kriteria-kriteria penilaian agar mahasiswa mampu menilai karya temannya sesuai dengan kriteria yang telah disepakati.
4. Kurangnya sarana
Dalam penerapan penilaian portofolio memerlukan sarana yang memadai. Salah satu di antaranya adalah rak penyimpan file para mahasiswa. Karya mahasiswa harus disimpan dengan baik agar tidak tercecer atau hilang. Setiap mahasiswa harus memiliki satu file yang berisi karya terbaiknya dari waktu ke waktu untuk disimpan dengan baik. Ini dimaksudkan agar karya mahasiswa tersebut dapat selalu dilihat dan dimonitor perkembangannya baik oleh dosen maupun mahasiswa sendiri. Untuk itu, perlu disediakan rak atau locker untuk menyimpannya.
Sarana lain yang perlu diperhatikan untuk menunjang pengjaran bahasa Arab berbasis portofolio adalah laboratorium bahasa. Selama ini PKPBA UIN Malang hanya memiliki sebuah laboratorium bahasa. Jumlah ini tentu sangat kurang jika dibanding dengan jumlah mahasiswa yang akan menggunakannya. Akibatnya, dalam satu semester ada beberapa kelas yang terpaksa tidak dapat menikmti fasilitas laboratorium karena tidak kebagian jadwal.
5. Terkadang sulit mengetahui karya asli mahasiswa
Karena tidak setiap karya mahasiswa dikerjakan di kelas, maka sulit rasanya bagi dosen untuk mengetahui apakah karya yang dikumpulkan dalan file itu karya pribadi atau karya orang lain. Terkadang mahasiswa tidak jujur terhadap dirinya sendiri, yakni minta tolong orang lain untuk mengerjakan tugasnya. Hal seperti ini juga menjadi kendala bagi dosen PKPBA UIN Malang.
Untuk menghindari kendala ini, dosen PKPBA UIN Malang hendaknya memberikan penjelasan secara detail tujuan portofolio agar mahasiswa mengerjakan tugasnya sendiri. Di samping itu, dosen juga hendaknya memberikan tugas yang harus selesai di kelas agar dosen mampu membedakan antara karya sendiri mahasiswa dan karya orang lain.
6. Kurangnya perhatian penyelenggara
Keberhasilan suatu program biasanya tidak terlepas dari orang yang memegang kendali kekuasaan. Dalam hal ini, tentu kepala pogram memiliki andil besar dalam suksesnya penerapan portofolio di PKPBA UIN Malang. Peranan ketua PKPBA UIN Malang untuk ikut menyedikan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan penerapan penilaian portofolio. Misalnya, mendukung usaha-usaha yang dilakukan dosen dengan mengusahakan locker, dan fasilitas lain seperti menambah laboratorium bahasa.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian pada bab IV dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Untuk mempertahankan irama belajar mahasiswa agar tidak menurun harus terdapat variasi proses dan cara belajar. Belajar selama satu semester di dalam kelas tanpa adanya selingan, misalnya melakukan kerja lapangan, melakukan out bond, dan sebagainya tentu akan membosankan. Apabila mahasiswa sudah merasa bosan dalam belajar, karena tidak ada variasi dan selingan, maka irama belajar peserta didik akan menurun. Model protofolio sangat efektif untuk mempertahankan irama belajar mahasiswa.
2. Langkah-langkah pembelajaran bahasa Arab berbasis portofolio di PKPBA UIN Malang meliputi; (1) identfikasi masalah, yakni (a) merubah bentuk dari kalimat verba (jumlah fi’liyah) ke dalam kalimat nomina (jumlah ismiyah) atau sebaliknya, (b) menyusun kata menjadi kalimat, (c) menyusun kalimat menjadi paragraf, (d) mendeskripsikan gambar dalam bentuk paragraf, dan (e) menulis karangan deskripsi terstruktur (insya muwajjah) dengan bantuan pokok-pokok pikiran; dan (2) memilih masalah untuk kajian kelas.
3. Evaluasi yang digunakan adalah evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dilakukan dengan mengamati perkembangan perilaku peserta didik selama pembelajaran. Evaluasi hasil dilakukan dengan mengoreksi hasil tes, memberi catatan-catatan sebagai feedback, dan mengembalikan kepada mahasiswa sebagai bahan untuk tes selanjutnya. Secara umum, kemampuan mahasiswa PKPBA UIN Malang meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari semakin kecilnya prosentase kesalahan yang dilakukan mahasiswa dari tes I dan Tes II, yakni sebesar 2% -11%. Jika diberikan tes lebih dari dua kali, peneliti yakin kesalahan-kesalahan yang terjadi akan semakin kecil, bahkan tidak tertutup kemungkinan tidak terjadi kesalahan sama sekali.
4. Kendala-kendala pengajaran menulis bahasa Arab berbasis portofolio di PKPBA UIN Malang di antaranya adalah: (1) memerlukan kerja keras dan alokasi waktu yang lama, (2) kelas yang heterogen, (3) koreksi oleh mahasiswa terkadang kurang objektif, (4) kurangnya sarana yang menunjang, (5) terkadang sulit mengetahui karya asli mahasiswa, (6) kurangnya perhatian penyelenggara, dalam hal ini ketua PKPBA UIN Malang.
B. Saran-saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran kepada beberapa pihak yang berkaitan dengan penerapan portofolio dalam pengajaran bahasa Arab di PKPBA UIN Malang. Pihak-pihak yang dimaksud adalah (1) rektor UIN Malang, (2) ketua PKPBA UIN Malang, (2) dosen, (3) mahasiswa, (4) pemerintah, dan (5) peneliti.
Kepada rektor UIN Malang hendaknya mampu menjadi pengayom, pembimbing, dan sekaligus kepanjangan tangan pemerintah dalam mendukung dengan sepenuh hati upaya-upaya yang dilakukan para dosen PKPBA UIN Malang dengan memberi dorongan moril maupun materiil untuk terselenggaranya model pembelajaran bahasa Arab berbasis portofolio. Dukungan terhadap program ini dapat diwujudkan dalam rencana kerja dengan merintis dana untuk pembiayaannya.
Kepada ketua PKPBA UIN Malang hendaknya melibatkan diri secara total dengan membuat model pembelajaran bahasa Arab berbasis portofolio ini menjadi program prioritas. Mengingat model pembelajaran seperti ini memerlukan dukungan dana dan sarana yang besar, hendaknya ketua PKPBA UIN Malang dapat mencari terobosan-terobosan tertentu untuk dapat mengupayakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dosen dan mahasiswa dalam menunjang terlaksananya penerapan pembelajaran berbasis portofolio.
Kepada para dosen PKPBA UIN Malang disarankan agar selalu mengembangkan penerapan portofolio dalam pengajaran bahasa Arab yang diasuhnya agar mampu membuat mahasiswa mencapai keberhasilan yang maksimal dan mampu menjadi contoh penerapan portofolio bagi dosen lainnya.
Kepada mahasiswa disarankan hendaknya mengikuti petunjuk dosen dengan sungguh-sungguh agar protofolio yang dikerjakan mencapai hasil yang maksimal. Mahasiswa hendaknya tidak malas-malasan untuk membuat karya terbaiknya, baik individu maupun kelompok, untuk dimasukkan dalam file portofolio.
Kepada pengambil kebijakan, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, hendaknya mendukung dengan sepenuh hati upaya-upaya yang dilakukan oleh dosen PKPBA UIN Malang dalam penerapan pembelajaran bahasa Arab berbasis portofolio. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan sarana dan prsarana yang dibutuhkan demi terselenggaranya model pembelajaran bahasa Arab berbasis portofolio tersebut.
Akhirnya kepada peneliti lain disarankan hendaknya mengadakan penelitian serupa di tempat-tempat lain agar hasil penelitiannya dapat dijadikan verifikasi dan pendukung terhadap temuan penelitian ini. Penelitian tersebut hendaknya dilakukan dengan teknik dan metode yang lebih terpercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar